Bagian Dua

455 64 4
                                    

Jika saja kebahagiaan bisa dibeli, mungkin banyak yang rela menghabiskan hartanya hanya untuk membeli sepotong kebahagiaan. Namun, kenyataannya hal itu mustahil. Bahagia adalah sebuah rasa yang tercipta akan sesuatu yang membuat kita merasa tenang, nyaman, dan tidak mengkhawatirkan apa pun. Hanya saja, nyatanya itu sulit untukku.

Setiap detik setelah ucapan Kak Firaz malam itu, aku tak henti-hentinya memikirkan masa depan rumah tanggaku. Walau aku tahu itu bukan kehendakku, tapi rasanya aku ingin berharap sesuatu. Dicintai suami sebagaimana Babah mencintai Amak hingga akhir hayatnya.

Aku dan Kak Firaz diantar oleh Ibu ke kota, dua hari setelah pernikahan kami. Kak Firaz berkata, dia harus menemui dosen pembimbingnya yang sudah dijadwalkan sebelumnya. Mau tak mau, kami harus kembali ke kota beberapa hari sebelum jadwal kuliah yang telah ditetapkan pihak kampus. Aku tak mengapa, hanya saja, apa yang akan terjadi setelah ini terus menjadi tanda tanya besar di benakku.

"Lula, kita sekalian ambil barang-barang kamu di kos, ya?" ucap Ibu saat mobil yang kami tumpangi telah melewati perbatasan kota.

"Besok-besok kan bisa, Bu. Emang mau pindahan sekarang? Nanti Ibu capek." Kak Firaz tampak seperti tidak menyukai keputusan Ibu.

"Ya sekarang aja. Kalian kan udah menikah, udah sah untuk tinggal serumah. Lagian daripada harus bayar uang kos lagi, toh udah ada rumah sendiri."

Sejujurnya, aku tidak tahu harus menyepakati keputusan siapa. Apakah ibu mertua atau suamiku?

"Bu ... Firaz harus ketemu dosen, jadi ada yang mau Firaz selesaikan dulu buat besok."

"Ya sudah, kamu selesaikan saja dulu. Nanti biar Ibu sama Pak Jun yang bantu beres-beres barangnya Lula. Kalau urusan kamu udah selesai, langsung pulang. Kamu tahu kan rumah yang Ibu maksud?"

Terdengar suara helaan Napas Kak Firaz. Dia tampak mengalah dengan menyudahi obrolan dengan Ibu dan mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Dia yang duduk di samping kemudi, tepat di depanku, tampak menutup mata. Apakah dia sedang menahan amarahnya?

"Lula?"

"Eh, iya, Bu."

"Kok, bengong? Maaf, ya, Ibu jadi banyak ngomong sama Firaz terus. Kamu enggak apa-apa kalau pindah hari ini, kan?"

Aku melirik sosok yang duduk di depanku. Tampak dia sudah membuka mata, tetapi wajahnya tak beralih posisi sama sekali. "I-iya, Bu." Hanya kata itu yang mampu aku ucapkan walau sebenarnya ragu.

🌵🌵🌵

Malam ini aku tidak bisa tidur. Selain karena berada di tempat baru, suara Ibu yang mengomel setiap setengah jam sekali membuat hatiku was-was. Bukan, Ibu bukanlah tipe mertua yang galak atau cerewet. Ibu mengomel karena Kak Firaz tak kunjung pulang dan ponselnya tak dapat dihubungi. Ibu khawatir bila terjadi sesuatu dengan putra semata wayangnya itu.

Aku sendiri bingung. Apakah pantas bila aku mengkhawatirkan suamiku yang jelas-jelas menolakku? Apakah aku diizinkan untuk menanti kepulangannya?

Babah, Lula kangen sama Babah.

Saat ini jarum jam sudah menunjukkan pukul 22:26. Dengan tubuh yang sangat lelah, biasanya aku sudah tertidur sejak satu jam yang lalu. Namun, mendengar kerisauan Ibu di luar kamar membuatku semakin tak dapat tidur. Walau sejak tadi Ibu sudah menyuruhku tidur lebih dulu, tapi rasanya seperti ada yang salah. Posisiku di sini adalah istri Kak Firaz.

Setelah satu jam, akhirnya Kak Firaz pulang. Suara ketukan di pintu depan membuatku bergegas untuk membukanya. Ibu sudah tertidur sekitar setengah jam yang lalu. Aku meminta beliau untuk istirahat saja dan aku yang menggantikannya menunggu Kak Firaz. Namun ...

"Ibu mana?" tanya Kak Firaz tanpa menerima uluran tanganku yang menggantung di udara, hendak menyalaminya.

"Ada di kamar, Kak. Udah tidur."

Kak Firaz berjalan melewatiku tanpa memandang wajahku barang sedetik. Padahal aku tidak mengenakan hijab seperti sebelumnya, tapi dia tidak tertarik sedikit pun. Apakah kesempatan untuk dicintai oleh suami sendiri itu tidak ada?

Aku mengikuti Kak Firaz. Dia terlihat seperti mencari sesuatu di antara koper-koper kami. Namun, baru saja aku hendak menawarkan bantuan, dia melengos pergi meninggalkanku.

Aku kuat, aku bisa menghadapi ini. Aku yakin aku bisa meluluhkan hati Kak Firaz. Lula, kamu pasti bisa!

Segera aku mengikuti langkah Kak Firaz. Hanya saja, dia tidak ada di ruang tengah. Rumah ini tidaklah besar. Hanya ada dua kamar dengan satu kamar mandi. Mungkinkah dia sedang ada di kamar mandi? Aku pun menunggunya, hendak menawarkan minum.

"Kak, mau minum apa?" Gegas aku bertanya saat pintu kamar mandi terbuka dan dia sudah berganti pakaian.

Kak Firaz tidak menjawab. Dia berjalan melewatiku, menuju ruang tamu. Di sana masih kosong, hanya ada karpet yang terbentang dengan beberapa kardus berisi buku-buku serta barang-barangku. Tanpa menoleh ke arahku, Kak Firaz membaringkan tubuhnya dengan berbantal tangannya sendiri.

Jujur, ini membuktikan bahwa aku benar-benar tidak diterima olehnya. Namun, aku sudah berjanji kepada diri sendiri agar terus bertahan dan akan meluluhkan hatinya. Tidak mengapa kalau hari ini sulit, besok aku akan lebih berusaha lagi.

Lula, kamu pasti bisa!

Aku mengambil bantal dan selimut untuk diberikan kepada Kak Firaz. Walau tidak mendapat respon sama sekali darinya, aku tetap meletakkan bantal itu di dekatnya.

"Selamat tidur, Kak."

Hening. Kak Firaz tidak menyahut sama sekali.

"Kak, Lula---"

"Kamu bisa diam enggak?!" Suaranya tertahan, tapi sorot matanya seketika membuatku  bergidik. "Udah aku bilang, aku hanya menuruti keinginan ibuku. Kamu enggak akan pernah bisa masuk ke sini," tambah Kak Firaz sembari menunjuk dadanya sendiri.

🌵🌵🌵

"Ibu pamit dulu. Lula anak Ibu baik-baik di sini, ya? Kalau ada apa-apa, jangan lupa buat telepon Ibu."

Aku mengangguk sebagai jawaban. Ibu akan kembali ke kampung pagi ini juga. Tidak ada yang terjadi pagi ini selain Ibu memberi nasihat kepada Kak Firaz karena pulang larut malam. Pagi tadi, beberapa belas menit sebelum azan subuh, Kak Firaz masuk ke kamar dan meletakkan bantal serta selimut. Setelahnya, kudengar dia mandi dan tak lama kemudian suara Ibu menyebut namanya juga ikut terdengar.

Entah apa yang akan terjadi setelah ini. Kak Firaz masih sering diam dan tak menjawab pertanyaanku. Bahkan di depan Ibu, dia tidak sungkan menolak tawaranku untuk mengambilkannya nasi dan lauk.

Aku pikir setelah menikah kehidupanku akan berubah, paling tidak sedikit lebih indah daripada sebelumnya. Memiliki tempat bersandar, berbagi cerita, atau orang yang bisa aku peluk erat-erat saat rindu datang menyapa. Benar, hidupku benar-benar berubah setelah menikah. Namun, entah bagaimana caranya agar aku bisa mensyukuri apa yang telah Allah gariskan untukku saat ini.

"Saya tidak pulang hari ini. Kamu pandai-pandai saja sendiri," ucap Kak Firaz setelah menggunakan helm dan kemudian meninggalkan pelataran. Dia pergi setelah beberapa menit mobil yang ditumpangi Ibu menghilang di pembelokan komplek.

Apakah surga sesulit itu untuk digapai? Mengapa surgaku meninggalkan aku seperti ini?
.
.
.
#TBC

Assalamu’alaikum.
Makin nyesek enggak sih jadi Lula? Kira-kira si Firaz ini bisa enggak ya berubah? Menurut kalian gimana?

Story ini akan tayang dua kali seminggu, ya. InsyaAllah tayang di hari Senin dan Kamis.

See you ~

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang