Bagian Sepuluh

318 47 0
                                    

Nay sudah tahu semuanya sekarang. Wajahnya mendadak tidak berekspresi sama sekali saat Laela bercerita siapa perempuan yang baru saja menemuiku. Dia menatap aku cukup lama dan hanya diam saja, membuat aku dan Laela tidak tahu harus berbuat apa. Kami bertiga akhirnya menjadi hening di antara obrolan seputar coding, kalkulus, dan seminar milik anak-anak Fakultas Teknik.

"Nay, aku---"

"Sekarang kamu mau apa, La?"

"Maksudnya?" Aku tak mengerti dengan pertanyaan Nay barusan.

"Kamu butuh apa? Aku pasti bantu kamu."

Sungguh, kelopak mataku mendadak panas saat mendengar kalimatnya. Dia bukan siapa-siapa, hanya seorang teman kelas yang ketika berada satu kelompok denganku, dia banyak bertanya dan paling semangat mencari buku referensi. Babah benar, salah satu hal yang teramat harus kita syukuri di dunia ini adalah teman yang tidak pernah meninggalkanmu walau kau pernah membuatnya bersedih.

Aku menghela napas lega untuk hari ini. Hari Senin yang seringnya mendapat julukan monsterday dari anak-anak kampus, sepertinya menjadi Senin yang paling melegakan bagiku setidaknya buat saat ini. Tugasku berkurang banyak untuk mengukuhkan rumah tanggaku. Semoga, ya semoga saja pernikahan ini menjadi bahtera seperti yang kuidam-idamkan dan Kak Firaz adalah teman sejatiku sampai ujung masa. Sebab, seseorang pernah berkata bahwa teman sejati itu tidak lain tidak bukan adalah pasangan kita sendiri.

"Jadi kamu yang namanya Laela, temen dekat Lula sejak di kampung." Sekarang Nay menatap Laela seolah-olah hendak menjahilinya.

"Oo ... jadi kamu yang namanya Nay, yang kalau udah maraton nonton bisa sampai lupa makan, lupa mandi, lupa---"

"Lulaaa ... ." Nay merengek kepadaku dan menyela ucapan Laela.

Aku tak tahan untuk tertawa saat ini. Begitupun Laela yang tergelak lancar menanggapi rajukan Nay yang seperti anak kecil. Meja kami pun mendadak jadi pusat perhatian. Dan bukannya menunduk malu, Laela malah berkata, "Kenapa, Bang? Enggak pernah lihat cewek cantik ketawa? Makin cantik, kan?" 

Astagfirullah. Aku segera menghindari tatapan mahasiswa yang rata-rata lelaki itu menggunakan telapak tangan. Gegas aku bangkit dan mengajak Nay pergi kemudian. Jika mengikuti alur yang dibuat Laela, bisa-bisa namaku dan Nay menyebar begitu saja.

Aku masih ingat saat baru pertama kali pergi jalan-jalan di kota bersama Laela. Dia membawaku ke tempat makan yang harus bayar dulu baru dapat makanan yang dipesan. Makannya pun menggunakan garpu dan pisau. Kata Laela, makanan itu namanya steak. Aku baru pertama kali memakannya. Di sana, empat orang lelaki dan dua perempuan muda entah bagaimana bisa mengobrol dengannya. Dan beberapa saat kemudian, mereka tahu namaku serta meminta nomor ponselku. Ah, Laela mungkin tidak masalah dengan itu, tapi rasanya aku ingin kembali menyusuri jalanan saja di boncengannya.

Nay masih cemberut saat aku menggandengnya menuju gedung lab komputer, tempat dia menungguku tadi. Sementara itu, kudengar Laela memanggil namaku. Suaranya semakin jelas saat aku berhenti di sisi gedung dan duduk di terasnya.

"Kalian kok pergi, sih?" tanya Laela di antara napasnya yang tersengal.

"Engkau macam tak tau aku je."

"Issh, engkau ni, kan. Daripada dulu ... lagi, tak bosan ke jadi introvert?"

"Engkau pun satu, tak bosan ke jadi ekstrovert?" Aku menirukan gaya dan nada bicara Laela dan kemudian Nay tergelak.

"Kalian lucu banget, kayak Upin-Ipin." Lagi, Nay terbahak sampai buku yang dia letakkan di sampingnya terjatuh sebagian.

"Iyelah tu ... ." Tidak disangka, aku dan Laela berujar secara bersamaan.

Nay pun semakin terbahak dibuatnya hingga aku tak kuasa untuk tidak tertawa bersama. Sedetik kemudian, Laela menambah riuh tawa kami.

🌵🌵🌵

Di sore harinya, sepulang dari mengajar privat, aku melihat ada sebuah mobil yang terparkir di depan rumah Mbak Ines. Di bagian belakangnya tertulis kata "Fortuner". Aku baru pertama kali melihat mobil hitam itu sejak tinggal di sini. Apa mungkin itu keluarganya Mbak Ines?

Pertanyaanku terjawab saat seorang lelaki dengan setelan kantoran keluar dari rumah tetanggaku itu dengan masih menggunakan sepatu pantofelnya. Wajahnya tampak kesal dan dia tidak sengaja menjatuhkan sesuatu. Aku tidak berani mengingatkannya karena sepertinya lelaki itu sedang buru-buru. Begitu keluar rumah, langkah lebarnya segera membawanya masuk ke mobil dan beberapa saat kemudian kendaraan mewah itu pergi. Lalu, aku baru melihat dengan jelas benda apa yang terjatuh tadi. Itu mainan mobil polisi berwarna biru yang memiliki wajah, seperti salah satu karakter dari kartun anak-anak.

Entah mengapa hatiku tergerak untuk mengambil dan mengembalikannya. Mungkin itu milik salah satu anak Mbak Ines. Sebab nampaknya mainan itu bukan mainan baru. Namun, saat aku tiba di depan pintu, Mbak Ines baru saja hendak menutup pintu.

"Maaf, Mbak, ini kayaknya mainan si adek. Tadi jatuh di situ." Buru-buru aku menyerahkan mainan itu kepadanya. Mbak Ines terlihat tirus dan matanya sembab, serta sudut bibirnya terlihat ada goresan.

"Makasih." Mbak Ines segera menutup pintu.

Entah apa yang terjadi, entah siapa lelaki tadi, dan entah apa yang aku pikirkan saat ini. Padahal aku ingin sekali bertanya tentang apa yang dikatakannya kepada Natta sampai-sampai perempuan itu memutuskan berpisah dari Kak Firaz, tapi sepertinya Mbak Ines sedang ingin sendiri. Tidak biasanya dia cuek denganku. Tapi goresan di sudut bibirnya entah kenapa membuat dadaku berdesir. Aneh sekali.

Aku menatap pintu rumah Mbak Ines sekali lagi sebelum masuk ke rumah. Jendela kamarnya masih terbuka, padahal biasanya sudah ditutup sebelum langit meredup seperti sekarang ini. Siapa sebenarnya Mbak Ines, tetangga depan rumah yang selalunya punya banyak pertanyaan, dan seperti mengetahui apa-apa yang terjadi denganku?

Selepas magrib, Kak Firaz pulang. Dia terlihat berantakan dan kurang bersemangat. Dan seperti biasa, saat aku menanyakan apa yang ingin dia minum atau makan, tubuhnya akan menghilang dari balik pintu.

"Kak, Lula udah bikinin kopi. Ada martabak telur juga di meja. Jangan lupa dimakan, ya," ungkapku setelah mengetuk pintu kamarnya tiga kali.

Tidak ada jawaban. Bahkan setelah beberapa menit menunggu, dia tidak keluar. Aku pun memutuskan untuk menyelesaikan tugas kuliah di kamar. Selain makalah yang harus diketik, ada beberapa soal yang harus aku selesaikan untuk dikumpul besok. Belum lagi aku harus mempelajari sistem yang diinginkan Pak Dirka sebagai metode untuk mengajar adiknya. Bukan sesuatu yang baru, tapi aku belum pernah menggunakan metode itu sebelumnya. Syukur saja Bu Mita memberiku beberapa referensi untuk dipelajari.

Sekitar sepuluh menit setelahnya, aku dengar Kak Firaz keluar dan masuk ke kamar mandi. Pintu kamarku yang tidak ditutup rapat menyisakan sedikit celah hingga dapat melihat suamiku itu jika akan kembali ke kamarnya. Bahkan dari sudut ini aku bisa melihat meja makan dengan jelas. Dan betapa bahagianya aku ketika dia membawa kopi buatanku itu ke dalam kamarnya. Rasanya seperti mendapat nilai A di mata kuliah yang terkenal sulit. Walau seiring martabak itu tidak disentuhnya, tapi aku tetap bersyukur. Itu adalah kali pertama Kak Firaz menyentuh sesuatu yang aku buat.

Allah, mudahkanlah, lancarkanlah. Semoga Engkau melunakkan hati suami hamba itu.

Namun, baru saja aku hendak melanjutkan mengetik makalah dengan hati yang ringan dan senyum yang tak kuasa aku tahan, tiba-tiba terdengar suara benda kaca pecah dari arah depan. Sontak aku bergegas melihat rumah Mbak Ines lewat jendela kamar. Hanya saja, kenapa rumahnya gelap? Cahaya lampu jalan bahkan tampak seperti menerangi teras rumahnya. Dan ... jendela kamarnya masih terbuka.

.
.
.
#TBC

UTUH - Wanita yang Tak Tersentuh | Complete ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang