Sebelum baca, alangkah lebih afdal kalo kalian klik dulu ☆ yang ada di bagian pojok kiri bawah supaya berubah jadi ★
Biar enggak kosong kayak hati(mu), heheTerima kasih😊
💘
NARA akhirnya bisa bernapas lega. Perempuan muda itu memejamkan mata sejenak sambil mengentak-entakkan kaki dengan gemas. Rasa hangat perlahan menjalar di permukaan kedua pipinya. Ya ampun! Itu beneran dia! Itu beneran Sakra! batinnya berteriak histeris. Nara membuka mata, lalu menangkup kedua pipi yang masih terasa hangat. "Kenapa aku salting gini, ya?" gumamnya.
"Salting kenapa, Ra?"
Nara terkesiap dan langsung menurunkan tangan yang semula menangkup pipi. Ia segera menggeleng. "Eng-enggak. Enggak salting, kok, Bun," kilahnya.
Bunda mengamati gelagat Nara selama beberapa saat. Diamati seperti itu membuat Nara merasa terintimidasi. Ia memilih menunduk kemudian.
Bunda mengembuskan napas pelan. Ia lantas berjalan menuju pintu utama rumah dan menutupnya. "Ayo, masuk. Kita makan malem bareng," ajak Bunda dengan lembut. Bahkan, wanita paruh baya itu menyunggingkan selarik senyum tipis pada Nara.
Nara mengerjap tak percaya karena pemandangan tersebut. Pasalnya, baru beberapa menit lalu bundanya marah karena ia tidak becus mencari Rayi. Ah, iya, Nara ingat sekarang. Suasana hati bundanya itu memang mudah sekali berubah. Pantas saja sekarang ke mode "kalem".
"Ayo, Ra. Malah diem aja."
Nara tersadar dari lamunan. Perempuan muda itu segera mengangguk dan mengikuti Bunda menuju ruang makan.
Tiba di ruang makan, Nara langsung disuguhi pemandangan tak pantas hingga sukses membuat Nara melongo. Bagaimana tidak? Seorang remaja laki-laki dengan "sangat" santainya makan dengan posisi kaki kanan menekuk dan diangkat ke kursi, sementara kaki yang lain tetap di bawah---posisi normal. Tak hanya itu, remaja laki-laki tersebut ternyata masih mengenakan seragam sekolah putih biru.
"Ih, jijik banget kamu, Ray! Enggak bersih-bersih dulu, ha?" cibir Nara.
"Enggak. Entar keburu ayamnya dihabisin sama Kakak," jawab Rayi dengan mulut penuh makanan.
Melihat tingkah adiknya itu, Nara hanya geleng-geleng tak menyangka. Sudah membuat orang panik, sekarang Rayi makan dengan seenak perut, seolah tidak ada rasa salah sedikit pun. Sudah hilang akhlak sepertinya remaja itu.
Nara berdecak pelan dan berkata, "Ya udah. Siap-siap aja tubuh kamu didatengi kuman sama bakteri entar." Ia lanjut berjalan menuju kamar mandi di dekat ruang makan untuk cuci muka, tangan, dan kaki.
"EGP, emang gue pikirin? Lagian, kuman sama bakteri yang bakal takut sama Rayi, Kak. Rayi, kok, dilawan. Di---"
"Diem, dong!" Bunda menjitak pelan dahi anak bungsunya yang membuat si empunya dahi mengaduh. Rayi berlagak memasang wajah memelas, seolah dia adalah orang paling tersakiti di dunia ini. "Enggak ada capeknya, deh, kamu ngusilin Kakak," kata Bunda sambil menyendok nasi.
Rayi hanya cengengesan menanggapinya.
Tak lama kemudian, Nara kembali ke ruang makan dan duduk di sebelah kiri Bunda. Ia mengucap "terima kasih" setelah menerima piring berisi nasi dari Bunda.
"Ih, Kakak enggak mandi dulu? Jijik, ih. Bau asem!" Rayi balik mencibir sang kakak.
Nara menatap tajam Rayi. "Minimal Kakak udah cuci muka, tangan, sama kaki, ya, sebeleum makan. Enggak kayak kamu!" balasnya. Bibirnya mengerucut sebal setelah adu sindir dengan Rayi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Way of Love | @penaka_
Romance[Romance] - [Tamat] Nara dipertemukan kembali dengan Sakra, cinta pertamanya yang tak tergapai sewaktu SD. Pertemuan yang mengejutkan sekaligus menyenangkan bagi Nara. Apalagi, hingga benar-benar dapat menjalin hubungan asmara dengan Sakra setelah 1...