Way #25 | Get Better

17 1 0
                                    

Sebelum baca, alangkah lebih afdal kalo kalian klik dulu ☆ yang ada di bagian pojok kiri bawah supaya berubah jadi ★Biar enggak kosong kayak hati(mu), hehe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebelum baca, alangkah lebih afdal kalo kalian klik dulu ☆ yang ada di bagian pojok kiri bawah supaya berubah jadi ★
Biar enggak kosong kayak hati(mu), hehe


Terima kasih😊


💘


DERAP langkah terdengar di sepanjang lorong rumah sakit. Napas Nara sedikit tersengal, tetapi ia tidak peduli. Fokusnya hanya satu, bertemu dengan ayahnya yang tengah sakit. Selama perjalanan menuju rumah sakit tadi, perempuan itu terus merutuki diri yang sudah kelewat egois, tidak peduli pada orang-orang terdekat yang mengkhawatirkan keadaannya. Parahnya lagi, ia tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri dan berujung merepotkan Lata. Kata-kata ibunya dahulu sepertinya benar jika ia tidak becus dalam mengatasi sesuatu.

Nara berhenti melangkah. Ia menatap pintu kamar rawat di depannya sambil mengatur napas agar lebih tenang. Perempuan itu menengok ke kanan dan bertemu tatap dengan Sakra, Lata, lalu Meghana. Ia kembali menatap depan dan memberanikan diri meraih gagang pintu, mendorongnya pelan. "Ayah?" panggilnya. Namun, raut Nara seketika berubah tegang begitu melihat isi ruangan. Ia langsung membekap mulut dengan mata berlinang. "A-ayah ...."

Tubuh Nara seketika lemas. Ia berlutut di lantai rumah sakit yang dingin. Air matanya mulai meleleh. Rasa sesak menyeruak dalam dada. Enggak mungkin. Ini ... enggak mungkin, 'kan?

"Nara." Seseorang memanggil Nara dari belakang perempuan itu. Akan tetapi, yang dipanggil tidak menggubris. "Nara, ruangannya bukan di sini. Ini ruang jenazah. Ruangan ayah masih lurus lagi."

Mendengar perkataan tersebut, kedua mata Nara terbuka lebar. Ia buru-buru berdiri, lalu berbalik badan seraya menyeka air mata. "B-bukan di sini? Kakak kenapa enggak bilang?" kesalnya dengan air mata yang kembali mengalir.

"Ck! Kakak udah mau bilang, tapi kamunya keburu buka pintu ruang jenazah. Ayo, pergi. Tutup lagi pintunya. Malu, tuh, diliatin jenazah-jenazah."

"Kakak!" tegur Nara. Ia buru-buru menutup kembali pintu ruang jenazah. Untuk ke sekian kali, Nara merutuki diri sendiri. Saking paniknya memikirkan keadaan sang ayah, ia sampai tidak fokus dan salah ruangan. Hampir saja ia berpikir yang tidak-tidak tentang ayahnya.

Nara melanjutkan perjalanan. Kali ini, ia berjalan di belakang Meghana, menghindari salah ruang lagi. Akan sangat memalukan jika kejadian itu terulang kembali.

"Cie, yang salah ruangan," goda Lata sambil mencolek lengan Nara dari belakang.

Nara menengok dengan tatapan tajam.

Lata langsung menutup mulut rapat-rapat, sadar kalau sekarang bukan waktu yang tepat untuk bercanda, apalagi menggoda temannya.

Sebelum kembali menatap depan, Nara sempat bertemu pandang dengan Sakra yang berjalan berdampingan bersama Lata. Namun, ia segera memutus kontak mata dengan laki-laki itu. Sejak tadi, ia belum berinteraksi kembali dengan Sakra. Nara sebenarnya tidak dendam pada Sakra, tetapi entah mengapa, ia malas berhadapan dengan laki-laki yang menjabat sebagai pacarnya itu.

Way of Love | @penaka_Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang