Way #10 | Your Answer

16 2 0
                                    

Sebelum baca, alangkah lebih afdal kalo kalian klik dulu ☆ yang ada di bagian pojok kiri bawah supaya berubah jadi ★
Biar enggak kosong kayak hati(mu), hehe

Terima kasih😊


💘


DAHI Nara berkerut dalam tatkala memergoki Sakra yang tiba-tiba tertawa. "Kok, malah ketawa? Apa yang lucu?"

Alih-alih menjawab, Sakra malah meraih gelas berisi teh dan menyesap isinya, tidak menghiraukan pertanyaan Nara.

"Kamu ketawa karena apa, sih, Sak?"

"Sesuatu."

"Tentang?"

Sakra menatap Nara tepat di mata dan tersenyum. "Tentang masa kecil kita."

Nara tercenung mendengar pernyataan Sakra. Kita? batinnya. Entahlah, Nara mendadak jadi salah tingkah mendengar kata rujukan tersebut yang meluncur mulus dari mulut Sakra.

"Kamu pasti masih inget, 'kan, waktu kita disuruh nyebutin tokoh idola---"

"Ah, kenapa itu lagi, sih, yang dibahas?" sela Nara dengan gemas. Raut mukanya seketika berubah kusut. Ia kira, momen masa lalunya yang "itu" tidak akan dibahas lagi. Nahas, perkiraannya salah.

Sakra tertawa geli melihat ekspresi Nara saat ini. "Kenapa, sih? Kok, kayak enggak seneng kalo bahas kejadian itu?"

"Jelas enggak seneng, lah, Sak. Aku waktu itu keliatan bodoh banget. Telmi, telat mikir."

Lagi-lagi, Sakra tertawa.

Nara menatap sinis Sakra. "Tuh, kan, kamu ngetawain aku," sungutnya dengan bibir mengerucut.

"Eh, enggak. Aku bukannya ngetawain kamu." Sakra berdeham, lalu lanjut berkata, "Kamu enggak bodoh, kok, waktu itu, Na. Kamu cuma berpikir out of the box, berpikir di luar kebiasaan orang-orang. Itu kreatif, Na."

Nara hanya diam mendengar perkataan Sakra. Emosinya sudah sedikit mereka, tetapi raut muka perempuan tetap kusut.

"Aku tiba-tiba bahas momen itu lagi karena ...."

Nara melirik Sakra, merasa tertarik dengan apa yang akan dikatakan teman dekatnya sewaktu SD itu. Ia memperhatikan Sakra yang duduk di sebelah kanannya dengan raut penasaran.

Sakra membalas tatapan Nara dan tersenyum. "Kemarin waktu beres-beres kamar, aku enggak sengaja nemu kertas lipat yang dulu dipake buat nulis tokoh pahlawan idola, tugas dari guru kita, ayah kamu."

"Terus?" respons Nara.

"Aku enggak nyangka kalo ternyata kertas itu masih ada. Terus ...." Sakra menatap Nara, lalu menggaruk kepala sambil tertawa geli. "Aku ... baru inget sama jawabanku sendiri waktu itu," lanjutnya.

"Emangnya apa jawaban kamu waktu itu?" Nara bertanya seperti itu karena dulu ia sama sekali tidak tahu tokoh pahlawan idola yang Sakra tulis. Selain karena teman SD-nya itu tidak maju ke depan kelas untuk presentasi, Nara juga tidak kepikiran bertanya karena kadung merasa malu terhadap tingkah lugunya sendiri.

"Kamu mau tau?" Sakra bertanya.

Nara refleks mengelus-elus kedua lutut. "Ya ... terserah kamu, sih. Kalo mau ngasih tau silakan, kalo enggak juga enggak masalah. Lagian, apa pentingnya buat aku? Toh, itu cuma masa lalu."

Perkataan Nara baru saja membuat Sakra tercenung. Raut ceria yang terpancar dari wajah laki-laki itu perlahan berubah sendu. Tak bisa ditampik jika ada sisi hatinya yang sedikit tersinggung oleh kata-kata Nara.

Way of Love | @penaka_Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang