Way #18 | Sibling, Aren't We?

10 1 0
                                    

Sebelum baca, alangkah lebih afdal kalo kalian klik dulu ☆ yang ada di bagian pojok kiri bawah supaya berubah jadi ★Biar enggak kosong kayak hati(mu), hehe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebelum baca, alangkah lebih afdal kalo kalian klik dulu ☆ yang ada di bagian pojok kiri bawah supaya berubah jadi ★
Biar enggak kosong kayak hati(mu), hehe

Terima kasih😊


💘


NARA menyerahkan kembali helm pada pengendara ojek daring dengan lesu. "Ini uangnya, Pak." Bukan hanya tindakan, perkataannya juga terkesan lesu.

"Oh, ya. Terima kasih, Mbak. Astaga!" Tiba-tiba saja, pengendara ojek daring berseru kaget saat melihat wajah Nara. "Mbak, mukanya kenapa itu? Mbak nangis tinta atau gimana?" tanyanya sambil menuding wajah Nara.

Nara segera mengusap sisa air mata di wajah. Ia menatap tangan dan menemukan noda hitam samar di sana. Tanpa permisi, ia memajukan wajah ke arah spion sepeda motor. Ia berkaca dan mendapati wajahnya yang tidak seperti rupa manusia. Mata sembap, maskara yang luntur, wajah kuyu, dan bibir pucat.

"Mbak ... bukan zombi, 'kan?"

Nara langsung melirik tajam pengendara ojek daring. "Kalo saya zombi, harusnya udah dari tadi Bapak saya gigit," ujarnya datar.

Pengendara ojek daring tertawa mendengar celetukan Nara. "Mbak-nya, bisa aja bercandanya. Eh, jangan panggil saya 'Pak', Mbak. Saya ... masih muda, lho," ujarnya sambil menyisir-nyisir rambut dengan tangan. Tak lupa, ia juga tersenyum. Sejenis senyum ala tebar pesona.

Nara yang melihat tingkah pengendara ojek daring hanya bisa geleng-geleng pelan. Perempuan itu langsung masuk area rumah, tidak peduli dengan si pengendara ojek daring yang sedang asyik melantur.

"Mbak-nya udah ada yang punya belum, ya? Kalo belum, saya bisa, kok, Mbak. Bisa jadi apaaa aja yang Mbak ...." Perkataan pengendara ojek terhenti begitu saja begitu ia sadar bahwa Nara sudah tidak ada di sekitar. Ia celingak-celinguk mencari keberadaan Nara. Ia mendengkus pelan, lalu memukul spidometer sepeda motor. "Malah ditinggal pas lagi semangat-semangatnya usaha," sungutnya. "Piye, to, Mbak, Mbak. Huh."

Sementara itu, selesai melepas sepatu berhak dan menaruhnya di rak dekat pintu, Nara segera masuk rumah. Keadaan rumahnya terasa sepi. Cukup aneh karena biasanya, setelah pulang dari kantor, Nara langsung dapat mendengar suara Rayi yang sedang heboh bermain game online di ruang tamu. Namun, kali ini tidak.

Nara awalnya berniat akan langsung ke kamar saja karena merasa lelah, apalagi setelah meluapkan kemarahannya terhadap Sakra. Namun, saat mendengar suara dari arah dapur, ia mengurungkan niat tersebut. Dahinya berkerut samar dengan mata memicing. Tatapannya tertuju ke arah dapur. Siapa yang lagi di dapur, ya? batinnya dengan rasa penasaran.

Nara lantas memutuskan untuk berjalan menuju dapur, memastikan siapa yang sedang berada di ruangan tersebut. "Bunda?" panggil Nara dengan suara serak, efek menangis di perjalanan pulang tadi. Ia asal menebak saja jika bundanya yang ada di dapur. Mana tahu memang bundanya sedang memasak untuk makan malam nanti.

Way of Love | @penaka_Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang