Way #9 | Want You Know Something?

16 2 0
                                    

Sebelum baca, alangkah lebih afdal kalo kalian klik dulu ☆ yang ada di bagian pojok kiri bawah supaya berubah jadi ★
Biar enggak kosong kayak hati(mu), hehe

Terima kasih😊

💘


NARA tampak bahagia sekali karena hari ini ia bisa pulang kantor lebih awal dari biasanya. Sungguh, seperti keajaiban! Mungkin, momen tersebut dapat terjadi berkat manajemen waktu yang baik juga suasana hati yang baik.

"Huh, kenapa enggak dari dulu aja aku kayak gini, ya? Aku enggak akan gampang stres jadinya," gumam Nara begitu memasuki area rumah.

"Kakak?"

Nara berbalik badan dan bertemu pandang dengan Rayi. "Ray? Dari mana kamu?" Ia memperhatikan penampilan Rayi dari atas ke bawah. Adiknya itu mengenakan pakaian santai berupa kaos pendek hitam dan celana pendek berwarna senada. "Habis main, ya?" tebaknya dengan mata memicing.

"Enak aja!" sewot Rayi. "Rayi, tuh, habis dari warung. Beli gula." Laki-laki itu memperlihatkan kantung plastik yang dibawanya pada Nara.

"Oh," balas Nara singkat. Ia lantas berjalan ke arah pintu utama rumah, lalu melepas sepatu.

"Kakak sendiri kenapa udah pulang? Tumben banget."

"Iya, dong, soalnya Kakak baru aja nyiptain keajaiban," ujar Nara dengan bangga.

"Keajaiban? Kakak ngapain emang? Makan sambil kayang?"

"Lebih dari itu, Ray. Kakak bisa nyelesain kerja kantor tepat waktu. Itu keajaibannya."

Rayi tersenyum mencibir. "Apa ajaibnya, sih? B aja buat Ray, mah."

"Sayangnya, Kakak enggak peduli sama perasaan kamu," balas Nara sambil menjulurkan lidah, mengejek Rayi. "Eh, kamu hari ini les, 'kan?"

"Iya. Oh, Ray tau sekarang. Kakak pulang cepet karena mau ketemu Kak Dipta, 'kan? Dasar, ada udang di balik bakwan. Diem-diem Kakak genit juga, ya, sama cowok."

"Eh, eh, eh. Kalo ngomong sembarangan aja. Udah, ah. Kakak mau mandi. Males ngeladenin kamu yang sok tau."

"Dih, yang caper. Biasanya juga enggak mandi kalo habis pulang kerja."

Nara tidak menggubris ejekan Rayi dan memilih masuk rumah. Di ruang keluarga, Nara berpapasan dengan Amarta dan Febian, bunda dan ayahnya. Keduanya sama-sama berpenampilan rapi.

"Bunda sama Ayah mau pergi, ya? Ke mana?" tanya Nara setelah menyalami tangan Amarta dan Febian secara bergantian.

"Bunda sama Ayah mau pergi ke apartemen Kakak kamu. Ada urusan," jawab Febian.

"Urusan apa?"

"Kakak kamu, kan, lagi sakit. Jadi, kita berdua mau nengok. Kasian dia, enggak ada yang ngurus. Dia, kan, tinggal sendirian di apartemen."

"Iya, Nara. Kemarin Kakak kamu ngeluh enggak ada perubahan apa-apa dari kondisi terakhir. Jadi, sekalian nanti kita mau bawa dia ke dokter," imbuh Febian.

"Kalo gitu, Nara ikut, ya?"

"Enggak usah," cegah Amarta.

Senyum di wajah Nara seketika memudar. "Kenapa?"

"Kamu di rumah aja. Awasin adik kamu biar les yang bener. Ya?"

Nara mengerucutkan bibir mendengar amanah dari bundanya. Ia agak kecewa, padahal ia ingin sekali ikut membantu kakaknya yang tengah sakit. Akan tetapi, ia tidak ingin menjadi anak pembangkang. Cukup Rayi saja yang suka membangkang ketika disuruh belajar dan lebih memilih bermain game.

Way of Love | @penaka_Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang