Sebelum baca, alangkah lebih afdal kalo kalian klik dulu ☆ yang ada di bagian pojok kiri bawah supaya berubah jadi ★
Biar enggak kosong kayak hati(mu), heheTerima kasih😊
💘
NARA sepertinya dalam bahaya. Tangan dan kaki perempuan itu terus gemetaran. Jantungnya pun tak bosan-bosannya berdetak kencang. Ketidaktenangan itu terjadi sejak ia dan Sakra masuk bianglala. Makin menjadi saat bianglala mulai bergerak naik secara perlahan.Mati aku! batin Nara sambil memejamkan mata. Andai tadi Sakra memberinya kesempatan untuk berbicara, momen ini pasti tidak akan terjadi. Momen di mana Nara harus bergelut dengan ketakutannya terhadap ketinggian. Ya, akrofobia.
"Na, liat pemandangannya. Bagus banget! Kota tempat kita tinggal keliatan dari atas sini. Coba liat, deh."
Pemandangannya mungkin bagus, tapi enggak bagus buat mental aku, Sakra! sungut Nara dalam hati. Perempuan itu menautkan jari-jari tangan dengan kuat. Berhubung enggak ada yang nguatin aku, jadi aku nguatin diri sendiri aja. Tapi, tetep aja enggak bisa tenang!
Sakra mengalihkan perhatian dari pemandangan luar bianglala menuju Nara. Dahinya berkerut samar kala menyadari ekspresi perempuan yang duduk di seberangnya. "Na, kamu kenapa?" tanyanya penasaran.
Nara hanya diam. Matanya masih terpejam rapat. Jika ia nekat membuka mata, ia khawatir akan berada di dimensi lain. Tidak sadar maksudnya alias pingsan.
"Na?" Sakra memperhatikan ekspresi Nara dalam-dalam. Ia lantas menatap tangan teman semasa SD-nya itu yang bergetar. Ia juga baru sadar jika bibir Nara tampak pucat, berbeda sekali saat sedang berfoto-foto tadi. "Na, kamu kenapa?" tanyanya lagi. Laki-laki itu berpindah duduk lebih dekat dengan Nara.
Sakra merasakan kejanggalan, tetapi tidak tahu apa itu. Ia benar-benar bingung, apalagi Nara sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Jangankan menjawab, menatapnya saja tidak.
Laki-laki itu lantas memegang pundak Nara dan merasakan tubuh perempuan itu yang bergetar samar. Sakra terdiam saat sebuah pemikiran muncul di kepala. "Na, kamu ... kedinginan?
Nara menggeleng.
"Kebelet?"
Lagi, Nara menggeleng.
"Oh, aku tau!" seru Sakra. "Kamu lagi lagi parodiin adegan iklan, ya?"
"Ih, bukan itu, Sakra!" Terpaksa, Nara meluapkan kekesalannya. "Aku, tuh, takut ketinggian," akunya dengan suara bergetar.
Sakra terdiam. Ia tidak menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya. "A-apa? Kamu takut ketinggian?"
"Iya! Dari tadi aku udah mau ngomong, tapi kamu ...." Nara tidak sanggup melanjutkan kalimat. Ia menunduk dalam dan mulai terisak pelan.
Sakra menelan ludah dengan berat. Rasa bersalah menyelimuti diri laki-laki itu. Ia menatap luar bianglala dan mengembuskan napas berat. Gimana ini? Enggak mungkin minta turun pas lagi di puncak-puncaknya gini. Lagi berhenti pula, batinnya.
Nara menggigit bibir bawah dengan kuat. Air mata masih mengalir, tetapi ia masih tidak mau membuka mata. Andai Nara memiliki kekuatan ajaib untuk berteleportasi, pasti sudah ia lakukan sejak tadi. Sayangnya, seperti yang pernah dikatakan salah satu band kenamaan Indonesia, Nara hanyalah manusia biasa yang tak sempurna dan kadang salah.
"Nara, kamu ... bisa denger aku, 'kan?"
Nara tidak menjawab. Ia telanjur kecewa pada Sakra yang kurang peka. Nara hanya bisa lebih mengandalkan diri sendiri. Ia mencoba untuk berpikir positif bahwa semua akan baik-baik saja. Ya, ia yakin itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Way of Love | @penaka_
Romance[Romance] - [Tamat] Nara dipertemukan kembali dengan Sakra, cinta pertamanya yang tak tergapai sewaktu SD. Pertemuan yang mengejutkan sekaligus menyenangkan bagi Nara. Apalagi, hingga benar-benar dapat menjalin hubungan asmara dengan Sakra setelah 1...