Sebelum baca, alangkah lebih afdal kalo kalian klik dulu ☆ yang ada di bagian pojok kiri bawah supaya berubah jadi ★
Biar enggak kosong kayak hati(mu), heheTerima kasih😊
💘
"KENAPA, Na? Kok, diem aja? Kamu ... enggak suka makan di sini, ya?" Sakra bertanya karena Nara hanya diam dengan tatapan nanar sejak tadi.Nara segera menguasai diri dan menggeleng. Perempuan itu tersenyum tipis dan mulai mengambil sendok serta garpu. "Enggak, kok. Mana mungkin aku enggak suka. Bakso aja makanan kesukaan aku," ujarnya diakhiri tawa kecil. Ia lantas menyendok kuah bakso dan melahapnya. Rasa gurih langsung menyebar rata di lidah. Hangat pun perlahan mulai Nara rasakan. Sensasi inilah yang membuat Nara menobatkan bakso sebagai makanan favoritnya.
Sakra tersenyum lega begitu mendengar perkataan Nara. Melihat ekspresi sendu Nara tadi membuatnya sempat berpikir negatif jika perempuan itu tidak suka makan di pinggir jalan, apalagi dengan menu bakso. Namun, pemikiran tersebut akhirnya pupus setelah mendengar jawaban yang sebenarnya. "Terus, kamu tadi diem karena apa?" tanya Sakra, masih penasaran.
Nara menggeleng pelan, lalu menyahut, "Bukan karena apa-apa, kok. Emang ... lagi enak aja tadi ngelamunnya."
Sakra tersenyum geli mendengar jawaban Nara. "Ngelamunin apa emang? Ngelamunin aku?" celetuknya.
Nara langsung tersedak. Ia batuk beberapa kali untuk meredakan tenggorokan. Duh, enggak enak banget keselek kuah bakso. Ada minyaknya, pedes pula, keluhnya dalam hati.
Tangan Nara hendak meraih gelas berisi teh hangat. Namun, tanpa ia sadari, ada tangan lain juga yang menuju gelas tersebut. Sentuhan kulit pun tak terhindarkan. Bagai tersengat, tubuh Nara terasa tegang dengan jantung berdegup kencang. Matanya melirik kikuk pemilik tangan lain tersebut yang ternyata adalah Sakra. Bahaya banget, nih, deket-deket Sakra. Salting mulu bawaannya, batinnya.
Sakra menggeser gelas berisi teh hangat ke arah Nara. "Santai aja makannya, Na," katanya dengan senyum tipis. "Minum dulu, tuh."
Nara mengerjap beberapa kali. Ia mengangguk kikuk, lalu buru-buru meraih gelas berisi teh hangat dan menyesap pelan isinya.
"Enggak usah serius juga sama candaan aku tadi, Na." Sakra tertawa kecil di akhir kalimat sebelum kembali menikmati bakso.
Nara terpaku sejenak. Padahal, emang bener kalo aku ngelamun karena kamu, Sak. Sayangnya, Nara hanya bisa mengungkapkan hal tersebut dalam hati. Perempuan itu menyesap lagi teh hangat hingga tenggorokannya terasa lega.
"Oh, ya. Rayi, tuh, suka banget main game, ya?" Sakra bertanya dengan topik yang berbeda.
Nara menjawab dengan anggukan pelan.
Sakra manggut-manggut. "Pantesan," katanya pelan.
"Pantesan kenapa?" tanya Nara dengan dahi berkerut samar.
"Pantesan, tadi dia lebih fokus sama handphone-nya ketimbang buku pelajaran atau ajaran aku."
Mendengar pernyataan Sakra membuat Nara refleks mengeratkan pegangan pada garpu. Rasa kesal perlahan tersulut. "Bocah itu bener-bener, deh. Padahal, dia sendiri yang minta dilesin sama kamu, eh, ternyata sama aja," sungutnya. Bersamaan dengan itu, tangannya yang menggenggam garpu mengentak ke mangkuk. Alhasil, kuah bakso memuncrat ke mana-mana.
"Ah!" Sakra berseru sambil menutup kedua matanya.
Kedua mata Nara terbuka lebar begitu menyadari apa yang baru saja terjadi. "Ya ampun! Mata kamu kena, ya, Sak? Aduh, maaf, maaf. Aku enggak sengaja." Nara panik bukan main. Buru-buru ia mendekati Sakra, memeriksa keadaan mata laki-laki itu. Duh, gimana, nih? Pasti pedes banget. Mana ... kuah baksoku pake sambel dua sendok pula, batinnya makin panik.
Sakra merasakan pedas di mata. Saking tak tahannya, laki-laki itu pun refleks mengucek mata.
"Eh, Sak, jangan dikucek! Nanti tambah merah matanya," cegah Nara cepar. "Kamu tunggu sebentar, ya."
Sakra menurut. Ia berhenti mengucek mata. Ia biarkan matanya terpejam, meskipun rasa pedas masih merajalela. Entah apa yang sedang Nara lakukan saat ini, ia hanya bisa menunggu.
"Nih, Sak. Coba dibilas dulu matanya pake air putih." Nara segera meraih salah satu tangan Sakra dan menyerahkan gelas berisi air putih. Kali ini, ia tidak mempermasalahkan sentuhan kulit yang terjadi karena perkara mata Sakra lebih penting.
Sakra mulai mengarahkan gelas ke dekat mata dan menuruti saran Nara. Sementara itu, Nara kembali ke kursinya dan meraih tas. Ia ingat ada obat mata yang selalu dibawanya ke kantor. Ia cukup sering menggunakannya karena matanya cepat lelah.
Nara tersenyum senang begitu menemukan obat mata di tas. Ia kembali mendekati Sakra dan duduk di sebelah laki-laki itu. "Gimana? Masih pedes?"
Sakra mengangguk. Laki-laki itu mendesis samar saat pedas kembali terasa di mata.
Nara membuka tutup obat mata. Ia memperhatikan Sakra dan spontan meringis tanpa suara. "Duh, merah banget mata kamu. Maaf, ya, Sak," ujarnya setelah melihat mata kiri Sakra yang memerah.
Sakra hanya mengangguk. "Sini, biar aku sendiri aja ya---" Laki-laki itu seketika membeku di tempat saat sebelah sisi wajahnya ditangkup Nara menggunakan tangan. Sentuhan itu sangat sukses membuat Sakra menegang. Ia menatap Nara dengan jantung berdegup kencang. Sadarkah Nara dengan perbuatannya itu?
"Jangan kedip, ya, Sak." Nara dengan hati-hati mulai meneteskan obat ke mata Sakra yang terkena kuah bakso pedas, tak peduli dengan perasaan laki-laki itu saat ini. "Gimana?" tanyanya setelah memberi tetesan pertama.
Sakra hanya mengangguk sambil terus berkedip. "M-mendingan," ucapnya gugup.
"Satu lagi, ya."
Sakra hanya mengangguk patuh dan membiarkan Nara menetesi matanya kembali dengan obat. Setelahnya, ia berkedip lagi. Rasa pedas dan perih berangsur reda. Namun, tidak dengan rasa gugup yang laki-laki itu rasakan. Tidak bisa reda karena tangan Nara masih menangkup sebelah wajahnya. Belum lagi, tatapannya yang kini beradu dengan tatapan Nara.
"Na?" lirih Sakra dengan mata yang masih menatap lekat perempuan di hadapannya.
Nara hanya membalas dengan dehaman singkat.
Sakra tak menjawab. Ia hanya melirik ke kanan bawah, di mana tangan Nara masih menangkup sebagian wajahnya.
Nara mengikuti arah pandang Sakra. Detik itu juga, ia baru sadar telah berbuat lancang. Buru-buru, ia menarik tangan menjauh dari wajah Sakra. "M-maaf, ya, Sak. A-aku ... tadi refleks," sesalnya kemudian.
Sakra hanya mengangguk kikuk. Tangan laki-laki itu refleks mengusap tengkuk. Gugup menyergap laki-laki itu dan ternyata menular pada Nara. Nara mengalihkan pandang dari Sakra dan mengusap-usap lutut. Suasana di antara dua insan itu mendadak berubah canggung. Suasana ini cukup membingungkan bagi Nara maupun Sakra pribadi. Jika memang mereka hanya berteman, mengapa mereka sangat sering merasa gugup satu sama lain, bahkan hanya karena kejadian-kejadian kecil?
💘
Selamat!
Kalian telah selesai membaca
Way #7 | Why We So Nervous?
dari cerita
"Way of Love" created by penaka_Cieee🤭
Well, sambil nunggu WOL update lagi, kalian bisa, nih, iseng-iseng stalk media sosial aku
Ada Instagram @pe.naka (Pecandu Nada & Kata), Twitter @penaka_naka, TikTok @penaka_, dan Facebook Penaka
Jangan lupa add WOL ke library atau reading list favorit kalian dan follow juga akun Wattpad penaka_ biar enggak ketinggalan update tentang WOL🐱Oh, ya, kalian juga bisa mampirin dulu karya-karya yang diikutin ajang Homebattle dari Anfight (event yang lagi WOL ikutin)
Daftarnya ada di bagian "Perkenalan💕", ya😉Okay, see you and thank you!
Salam Candu💞
KAMU SEDANG MEMBACA
Way of Love | @penaka_
Romance[Romance] - [Tamat] Nara dipertemukan kembali dengan Sakra, cinta pertamanya yang tak tergapai sewaktu SD. Pertemuan yang mengejutkan sekaligus menyenangkan bagi Nara. Apalagi, hingga benar-benar dapat menjalin hubungan asmara dengan Sakra setelah 1...