23

386 59 46
                                    

Sosoknya yang meyakinkan aku bahwa Pelita pun berhak bahagia

-Ni Luh Pelita Deshita Anindya Maheswari-

Setelah peristiwa malam ini semuanya berubah. Amarahnya menguap, Sirna.

Setelah membersihkan diri, kejadian tadi belum sepenuhnya pergi otaknya Pelita kembali ke saat dimana seorang Rangga melepaskan topeng miliknya.

Dari kepura-puraan Rangga pelita menyadari satu hal di balik kepura-puraan yang di perlihatkan laki-laki itu ada ketakutan dan harapan agar takdir baik datang memeluknya.

"Setelah mama meninggal duniaku berantakan. Semuanya hancur Ta. Bagaimana cara orang-orang keji itu menghabisi mama seperti film dokumenter yang akan terus berulang di kepalaku."

"Setelah mama meninggal aku ngga bisa percaya orang lain, aku ngga mau membuka diri untuk jatuh cinta karena buatku jatuh cinta hanya akan menciptakan luka baru yang tidak akan sembuh."

"Apa yang Daffa katakan di resto kemarin itu benar Ta.. Aku ini bukan laki-laki baik Ta, aku ini brengsek, jahat."

"Tapi laki-laki brengsek ini mau pelita di hidupnya. Laki-laki ini mau bahagia, dan kebahagiaannya itu kamu. Laki laki brengsek di depan kamu ini butuh pelita untuk sembuh"

"Aku tahu, Daffa seribu kali jauh lebih baik dari aku — tapi bolehkah Rangga Pradipta meminta hatinya pelita hanya untuknya?"

"Aku mau kamu, karena kamu buat aku jadi lebih baik, kamu buat aku punya tujuan dan kamu ketidakpastian yang begitu sulit otakku cerna. Rangga Pradipta tidak takut apapun tapi untuk pertama kalinya aku terintimidasi oleh kedekatan kamu dengan Daffa"

"Apakah aku layak buat kamu? Kamu—"

Ucapan laki-laki itu di jeda oleh jari telunjuk gadisnya yang kini telah berpindah posisi.

Laki-laki didepannya ini tidak takut mengakui kesalahannya bahkan sepertinya ia menikmati dan sekali lagi dia benar-benar kesepian. Sangat kesepian. Ersya Annaya Pradipta benar-benar poros dunianya Rangga.

"Gaa.. dengerin aku" pelita menarik napas panjang seakan mengumpulkan semua kekuatan.

Bukan cuma itu tangan kanan perempuan itu pun ikut menyeka air mata Rangga dengan begitu lembut sambil sesekali mengelus wajah, semua perlakuan manis itu begitu menenangkan.

"Perempuan yang ada di depan kamu ini juga tidak sempurna. Dan di antara ketidaksempurnaan ini aku mau kamu. Aku tetap mau kamu. Karena kamu penyelamat dari Semesta. Karena Rangga Pradipta adalah hal baik dan bukti kasih sayang Tuhan untuk aku."

"Karena kamu, aku sadar kalo aku pun berhak bahagia, aku berhak diperlakukan dengan sempurna. "

"Kenapa? Kenapa kamu ngomong gitu?" tanya Rangga tidak percaya.

"Karena kita punya kesamaan—"

"Maksudnya? maaf aku potong" sela Rangga.

"Kita sama-sama pernah terluka kita juga pernah sama-sama merasakan kehilangan yang begitu hebat."

"Kita pun masih sering menyalahkan diri sendiri untuk setiap takdir buruk yang pernah kita alami."

"Bahkan sampai hari." Pelita tertawa kecil jadi biarkan aku jadi cahaya buat dunia kamu dan kamu jadi penyelamatku dari hari yang buruk.

"Jadi... ayo menjadi penawar untuk satu sama lain" ucap pelita sambil mengeratkan pelukannya.

Sekuat tenaga perempuan itu menyembunyikan air matanya namun sekuat apapun ia menyembunyikannya derai air mata itu tetap saja tumpah. Ia tidak tega melihat bagaimana terpuruknya Rangga.

✨✨✨✨✨

Sinar matahari malu-malu mengintip di balik jendela kamar Pelita. Hari ini hari Rabu di minggu yang sama dengan minggu dimana akhirnya Pelita mengetahui rahasia terdalam dari laki-laki yang kini memiliki tempat penting di hatinya.

Hari ini, pelita bebas tugas. Tidak ada jadwal fotografi oleh karena itu dia ingin menghabiskan waktu luangnya bersama Sasa.

Setelah berpamitan dengan ibunya, Pelita langsung mengambil sepedanya yang berada di halaman belakang dan langsung menuju The Heaven Resort and Suites yang berjarak sekitar dua puluh menit dari rumahnya.

Kedua sahabat itu sudah menyusun rencana untuk menghabiskan waktu bersama. Ia dan Sasa akan berbelanja dan memasak kemudian makan malam bersama.

Biasanya Sasa mendapatkan shift kerja siang atau malam tapi hari ini berbeda karena ia menggantikan Devi yang izin untuk melihat ibunya yang sedang rawat di kamar NICU Rumah sakit Balimed di kota Denpasar.

Selepas memarkirkan sepedanya di parkiran hotel Pelita langsung mencari keberadaan sahabatnya itu.

"Selamat sore, selamat datang di The Heaven Resort and Suites Bali" ucap salah satu resepsionis hotel yang menyambut tamu domestik yang baru saja tiba di hotel dengan ramah dan senyum mereka yang merekah.

Setelah lelah mencari matanya menemukan perempuan paling berisik yang pernah pelita kenal.

Kehebohan sudah menjadi bagian dari Sasa. Pelita hanya tersenyum simpul melihat bagaimana tingkah laku sahabatnya itu.

Akhirnya mereka bertemu dan Sasa menangkap ada yang aneh dari wajah Pelita.

"Mbak Ta, habis nangis ya?" tanya Sasa hati-hati tapi perempuan itu tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran di wajahnya. Tidak bisa.

"Hmm—" hanya itu respon Pelita berikan setelah itu ia kembali mengajukan pertanyaan kepada Sasa

"Sa, kamu ada bedak gak aku  butuh bedak untuk menutupi bengkak di kedua mataku" kata Pelita pelan dengan tatapan penuh harap.

"Yuk, ikut aku" ajak Sasa sambil menarik tangan pelita mengikuti langkahnya menuju sudut hotel yang sepi dan tersembunyi.

"Mbak hutang penjelasan kenapa mata Mbak bisa bengkak begini?" cecar Sasa sambil memoles wajah pelita dengan pelengkapan rias miliknya.

"Kemarin malam, Rangga ngajak aku makan malam"

"Terus?? cewek lain bakal happy diajak makan malam romantis sama cowok dan yang ngajak kamu dinner romantis itu Rangga Pradipta. Siapa sih yang ngga kenal Rangga Pradipta." Sasa memulai omelannya.

"Bukan gitu Sa," sela Pelita

"Terus apa?"

"Ni Luh Pelita Deshita Anindya Maheswari" tanya Sasa lagi perempuan ini ingin sekali mencubit pipi gembil perempuan yang sekarang berada tepat di depannya.

"I'm happy, really happy. But malam itu akhirnya aku tahu rahasia terdalam seorang Rangga."

Sasa, tak percaya setelah mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut pelita beberapa menit yang lalu.

"Mamanya Rangga adalah korban dari pembunuhan dan semua tingkahnya adalah topeng agar orang lain tidak mengetahui betapa rapuhnya seorang Rangga Pradipta"

"Dan ini adalah alasan kenapa aku nangis semalaman aku ngga sanggup membayangkan bagaimana rasanya kehilangan ibu."

Setelah menyelesaikan riasannya Sasa menarik tangan pelita untuk segera menjauh dari sudut hotel ini.

"Kita harus segera pergi sebelum Mas Rangga sadar bahwa mata Mbak bengkak."

Pelita tidak membantah yang Sasa katakan memang benar.

Tapi Tuhan malah memiliki rencana lain.

Baru saja beberapa langkah keluar dari hotel kedua sahabat itu dicegat oleh Radit dan Fannan.

"Hei, kalian mau kemana buru-buru banget?" tanya Radit sambil menggoda keduanya.

"Ki—ta mau pulang Mas," saat Radit asyik mengoda kedua perempuan itu Fannan malah mengirim pesan singkat ke Rangga yang berada di kamar hotel.

'Bos, lu gimana sih pacarnya nyamperin malah bertelur di kamar'

Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang