21

343 68 52
                                    

Begitulah seharusnya seorang Rangga memperlakukannya perempuannya.

She's officially mine

- Rangga Pradipta-

Sejak hari itu hubungan mereka jauh lebih dekat dari sebelumnya. Bukan lagi menjemput Pelita dan mengantarnya ke kantor atau sebaliknya. Mengingat bagaimana reaksi Pelita saat makan siang, otak Rangga langsung menyusun rencana untuk mengajak satu satunya perempuan yang ia ceritakan di depan makam mamanya. Karena waktunya tidak lama lagi, sebab minggu depan ia akan kembali ke Jakarta.

Bar Rock at AYANA Resort and Spa, BALI

Pelita mengamati Rangga dan pemandangan matahari yang kembali ke peraduannya secara bergantian. Diam-diam, rasa kagum mekar dalam dirinya. Entah karena saking menakjubkannya hasil karya kolaborasi ciptaan Tuhan dan manusia yang terhampar di depan matanya, atau karena segala sesuatu yang telah Rangga lakukan hari ini.

Kalau berkaitan dengan pemandangan, beberapa tahun belakangan sudah lusinan kali pelita berkunjung ke ribuan tempat makan atau kafe yang memamerkan keindahan alam dan lampu-lampu menjadi daya tarik. Bahkan, restoran yang dipilih oleh Rangga ini pernah Pelita jadikan tempat untuk melarikan diri dari setumpuk pekerjaan yang menguras energinya.

Semua ini bukan hal, baru, tetapi rasanya seakan-akan Pelita baru pertama kali menginjakkan kaki ke restoran yang terkenal dengan gazebo

Private, super mahal dengan nuansa tradisional Bali yang begitu kental, diberi kesempatan menyaksikan syahdu dan romantisnya matahari terbenam di tepi bukit dan ditemani laki-laki pula.

Dia terdiam setelah menyilangkan pisau dan garpu di piring putih. Degup jantungnya semakin tidak terkendali, Pelita rasa setiap detik kecepatan degup jantungnya semakin bertambah, tidak sampai disitu saja otak Pelita seperti kehilangan kemampuannya.

Ketika tiba-tiba Rangga menengadah dan melemparkan senyum tipis kearahnya. Degup hebat jantungnya berhenti. Namun, hatinya mendadak jungkir balik karena perasaan berbunga-bunga yang yang sulit sekali diabaikan.

"Astaga."

"Kenapa, Ta?" tanya Rangga, sembari melepaskan pegangan dari peralatan makan lalu bersedekap,

"Biasanya raut wajah kamu menjelaskan bagaimana perasaanmu yang sebenarnya tapi anehnya, dari kita masuk terus makan sampai habis begini—aku kesusahan nebak apa yang kamu pikirkan."

Lelaki di depannya itu mengubah posisi duduk dengan gerakan gelisah, mencondongkan badan, dan menumpuk kedua tangan dipinggiran meja bundar berbahan kayu.

"Kamu nggak suka? Apa kamu mikir ini terlalu berlebihan?" Rangga meraih satu tangan Pelita sambil membiarkan genggaman tangan mereka berada di tengah meja.

"Just tell me what do you think, Pelita. Kalau ada yang kurang berkenan, kasih tahu aku di bagian mana. Baju tempat atau —"

Pelita menggeleng lambat. Berupaya menahan senyumnya, namun akhirnya keduanya tertawa bersama menertawakan tingkah mereka yang seperti anak kecil.

"Ini ..." Rangga mengambil jeda, lalu menggosok-gosok ujung dagu sendiri, tanpa memutus pandangan mereka.

"Setelah belasan tahun, aku terkurung di antara memori kelam masa lalu. Ini first time aku  niat nyusun rencana begini. Dadakan. Jadi—"

"Semuanya aku suka," sahut Pelita sembari mengelus buku-buku jemari Rangga.

"Tempat ini. Makanan. Outfit." Pelita melirik bucket bunga matahari di samping meja makan mereka. "Sumpah, selera kamu oke juga."

Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang