Chapter 29

826 46 0
                                    

Panasnya pagi terasa menghangatkan kulit, terasa nyaman bagi mereka yang merasakan hawa dingin di pagi ini. Hal itu pun dirasakan oleh sepasang suami istri Shaga dan Nadhira. Minggu ini tepat pukul 07.00 mereka berniat untuk olahraga joging di taman komplek.

Keduanya berlari kecil dengan beriringan, saling melontarkan canda tawa yang membuat keduanya merasa menikmati suasana pagi yang cerah ini.

Sebenarnya Nadhira tadi sempat menolak ajakan Shaga untuk lari dengan alasan Nadhira sedang tidak mood untuk keluar ke mana pun. Shaga tahu mengapa istrinya bersikap demikian, Nadhira masih sibuk memikirkan soal kondisinya.

Shaga pun berusaha membujuk Nadhira berulang kali hingga istrinya itu akhirnya menerima ajakannya.

"Ga ... aku capek," keluh Nadhira yang memberhentikan langkahnya.

Shaga ikut berhenti, ia terkekeh melihat Nadhira yang tampak begitu lelah dengan napas tak beratur.

"Ya udah, kita lari sampai kursi warna putih di depan sana habis itu udahan, gimana?" tawar Shaga.

Nadhira menekuk wajahnya. "Ga ... jauh ...," rengek Nadhira seperti anak kecil.

"Enggak, sayang. Nanti sekalian kita istirahat di sana," tutur Shaga.

Nadhira menghembuskan napasnya kesal lalu mengangguk menyetujui usulan Shaga dengan sangat terpaksa.

Hingga keduanya telah tiba di tempat yang Shaga tunjuk tadi. Mereka duduk di sana, melihat beberapa orang yang juga tengah berolahraga atau sekedar jalan-jalan santai.

"Kamu haus, Ga?" tanya Nadhira yang dibalas anggukan singkat oleh Shaga.

"Aku beli minum dulu, ya? Di depan sana ada warung kecil," ujar Nadhira.

"Iya, Nad. Hati-hati, ya?" Nadhira mengangguk lalu beranjak pergi untuk membeli air mineral.

Setelah kepergian Nadhira, Shaga meregangkan otot-ototnya. Sampai kedua matanya tak sengaja melihat sebuah keluarga yang terlihat jalan-jalan santai dengan mendorong kereta bayi. Jaraknya yang tak jauh dari tempat duduknya sekarang, membuat Shaga dapat melihat wajah bayi tersebut.

Shaga tertegun, tanpa sadar seulas senyum tipis terbit di wajahnya. Di dalam lubuk hatinya, ia sangat menginginkan seorang anak. Dulu, ia sering sekali membayangkan jika dirinya bisa menggendong dan mendengarkan celotehan-celotehan tidak jelas dari anaknya.

Namun, sekarang ... ia berusaha sebisa mungkin menahan perasaan ini agar tidak menyakiti Nadhira, ia tidak mau menunjukkan rasa ini agar Nadhira tidak terus-menerus merasa bersalah.

Di sisi lain, Nadhira hanya diam mematung di balik pohon melihat dalamnya tatapan Shaga ke anak itu. Nadhira tertunduk, hatinya kembali terasa sesak, ia sungguh tidak kuat melihat Shaga memendam perasaannya.

Aku tau, Ga. Aku tau kamu sangat ingin mempunyai anak, aku tau kamu sengaja menutupi keinginan kamu ini supaya aku nggak ngerasa bersalah sama kamu. Tapi percuma, Ga. Tatapan kamu ke anak itu sudah menjawab semuanya. Maafin aku, aku bener-bener minta maaf, karna cuma itu yang bisa aku lakuin. Batin Nadhira sembari menyeka air matanya.

---

Sore ini Shaga mendapat kabar yang entah bisa dikatakan buruk atau baik. Pasalnya kabar ini dapat dikatakan baik dan buruk jika dilihat dari masing-masing sisi. Ia menoleh ke arah Nadhira, perempuan itu tampak sedih setelah mendengar apa yang dikatakan oleh penelpon tadi.

"Sayang, kamu marah?" tanya Shaga lembut.

Nadhira menggeleng pelan. "Aku nggak ada alasan buat marah sama kamu, Ga."

Walaupun Nadhira berkata demikian, Shaga sangat yakin yang terjadi sebenarnya itu berbanding terbalik dari apa yang diucapkan oleh Nadhira.

Shaga menggeser duduknya agar lebih dekat, ia memberikan tatapan teduhnya ke Nadhira dan menyentuh punggung tangannya.

"Kalau kamu sedih dan nggak mau aku pergi, aku bisa tolak kerja sama itu demi kamu."

Nadhira menoleh. "Enggak perlu, Ga. Kalau kamu tolak kamu sama aja egois karena ini menyangkut tentang orang lain. Lagian kamu ke luar kota untuk pekerjaan karna ditugaskan di rumah sakit lain, kan? Aku nggak berhak marah untuk itu," tutur Nadhira yang sengaja berbohong.

Shaga menatap Nadhira ragu. "Kamu yakin?"

Nadhira diam sejenak lalu mengangguk pelan. "Iya, Ga. Aku izinin kamu ke luar kota. Tapi ... kalau pekerjaan kamu udah selesai, kamu langsung pulang, ya?" Mendengar itu, Shaga tersenyum lalu mengusap lembut pipi kanan Nadhira.

"Iya, sayang ... aku di sana cuma tiga hari, setelah semuanya selesai aku langsung balik ke Jakarta. Kamu beneran izinin aku, kan?"

"Iya, Shaga. Aku izinin kamu asal kamu di sana nggak macem-macem," peringat Nadhira.

"Siap bosku!" jawab Shaga dengan semangat lalu memeluk Nadhira.

Nadhira membalas pelukannya, merasakan hangatnya dekapan suaminya dan menghirup lembutnya aroma tubuh Shaga. Menyadari betapa besarnya cinta Shaga untuk dirinya, membuat Nadhira sangat tidak mau kehilangan Shaga barang sedetik pun.

Mungkin terdengar egois tetapi, itulah yang ia rasakan. Siapa yang mau kehilangan lelaki sebaik Shaga? Yang mampu menerima segala kondisi istrinya, mau itu buruk ataupun baik.

•••

Assalamu'alaikum ... hai gimana kabar kalian? Kangen nggak sama Nadhira & Shaga? Maaf ya lama banget nggak update. Oh iya, untuk chapter kali ini cuma bisa segini aja ya ... semoga bisa mengobati rasa kangen kalian sama mereka. Thanks buat yang masih setia nunggu cerita ini 🥺
Sampai jumpa di next chapter

Mantan jadi Manten [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang