Chapter 31

782 52 0
                                    

Siang itu Nadhira memutuskan untuk mengunjungi kediaman sang ibu untuk sekedar main ke sana karena ia merindukan perempuan yang telah melahirkannya tersebut. Sudah lumayan lama ia tak bertemu Erna, entah bagaimana senangnya jika ia bisa segera bertemu ibunya.

Makanan kesukaan Erna pun sudah selesai ia siapkan, sekarang ia tinggal menunggu taksi pesanannya di depan. Namun, sesaat baru saja ia membuka pintu, seseorang berdiri di sana dengan ekspresi datarnya.

"M--Mama?"

Ya, seseorang yang berdiri di sana adalah Anita, mertuanya. Mengingat sikap Anita waktu itu kepadanya, Nadhira tertunduk takut.

"Maaf, Ma. Nadhira nggak tau kalau Mama ke sini, ayo masuk, Ma."

Anita tidak menjawab hanya langsung melangkah masuk dan duduk di ruang tamu yang disusul oleh Nadhira yang merasa hawa sekitarnya terasa pengap.

"Ada apa ya, Ma?" tanya Nadhira.

"Mama mau ngomong serius sama kamu, lebih tepatnya Mama mau minta tolong," jawab Anita.

Dahi Nadhira tampak berkerut. "Minta tolong apa, Ma?"

"Ini masih soal perbincangan kita waktu itu, Nadhira."

Mendengar itu, Nadhira langsung bisa menangkap ke mana arah pembicaraan mertuanya tersebut. Ia sekarang hanya harus menyiapkan mentalnya untuk mendengar.

"Ini bukan soal keegoisan Mama, ini juga bukan karna kemauan pribadi Mama, tapi ini adalah bentuk rasa sayangnya seorang ibu untuk anaknya," jeda Anita.

"Dengarkan ini baik-baik, Nadhira. Mama nggak mau Shaga menderita karna siapapun, Mama nggak mau melihat dia merasa iri dengan kebahagiaan orang lain karna suatu hal yang Mama yakin kamu tau itu."

Nadhira mulai menunduk. "Mama mau Shaga bahagia, awalnya Mama yakin kebahagiaan Shaga ada di kamu karna akhirnya kalian kembali bersatu tapi, setelah semua ini terjadi, Mama merasa ragu," tutur Anita.

Nadhira menghembuskan napasnya panjang. "Apa yang mau Mama coba katakan?" tanya Nadhira memberanikan diri.

"Bercerai atau izinkan Shaga menikah kembali!"

Deg

Nadhira langsung mengangkat pandangannya, ia menatap Anita dengan tatapan terkejutnya.

"A--apa maksud Mama?" tanya Nadhira dengan suara bergetar.

Anita memalingkan wajahnya. "Dengan berat hati Mama harus mengatakan ini demi kebahagiaan putra Mama, Nadhira. Apapun akan Mama lakukan demi kebahagiaan Shaga, maka Mama minta ke kamu, bercerai atau izinkan Shaga menikah dengan perempuan lain."

Air mata Nadhira langsung terjatuh, entahlah bagaimana menjabarkan perasaannya kali ini. Ia bahkan sangat tidak menyangka Anita perempuan yang ia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri bisa bersikap seperti ini.

"Maaf, Ma. Sebelumnya Nadhira minta maaf kalau menurut Mama Nadhira lancang tapi, apa Mama yakin dengan cara ini Shaga bisa bahagia? Apa Mama yakin cara ini adalah satu-satunya kunci kebahagiaan Shaga?" Anita terdiam.

"Ma, aku dan Shaga saling mencintai. Shaga juga mampu menerima bagaimana kondisi aku, Shaga juga sudah berjanji tidak akan meninggalkan aku, bagaimana bisa Mama meminta hal ini? Apa Mama tega memisahkan putra Mama dengan seseorang yang dia cintai? Itu akan sangat menyakitkan buat Shaga, Ma."

"Akan lebih menyakitkan ketika Shaga melihat pasangan seumurannya yang sudah memiliki seorang anak dan mereka terlihat lebih bahagia, Nadhira. Itu akan lebih menyakitkan buat Shaga!" lontar Anita yang langsung membuat Nadhira mengingat saat ia dan Shaga berada di taman pagi itu.

"Jangan melihat permintaan Mama ini dari sisi negatifnya, karna ini hanyalah permintaan dari seorang ibu yang sangat menginginkan anaknya bahagia," lanjut Anita.

"Tapi, Ma. Aku tidak akan bisa meninggalkan Shaga, aku sangat mencintai Shaga."

"Kalau begitu kamu harus membujuk Shaga agar dia mau menikah lagi dan kamu harus rela Shaga melakukan hal itu!"

Nadhira ingin membantah. Namun, rasanya percuma karena ia melihat pancaran kebencian di mata Anita yang dilayangkan kepadanya.

"Mama mau kamu segera memutuskan hal ini atau Mama sendiri yang akan membuat Shaga menuruti permintaan Mama!" tegas Anita yang kemudian beranjak dari posisi duduknya lantas melangkah pergi meninggalkan kediaman putranya.

---

Nadhira duduk seorang diri di dekat kolam renang, menatap bayangan bulan yang terlihat di kolam tersebut. Sudah 1 jam setelah sholat isya ia hanya duduk termenung di sana, tak berniat untuk segera masuk ke dalam dan mengabaikan hawa dingin yang semakin menyelimuti tubuhnya.

Pikirannya kacau, satu sisi ia memikirkan perkataan Anita yang sangat terasa berat untuknya dan sisi lain ia memikirkan bagaimana kabar Shaga di sana yang sedari tadi ia hubungi tetapi, nomornya tidak aktif.

Ada apa dengan Shaga? Sejak kepulangan Anita nomor Shaga menjadi tidak dapat dihubungi. Apakah Anita sudah memberitahu Shaga dan laki-laki itu menghindarinya karena menyetujui permohonan dari sang Mama? Pikir Nadhira.

Lagi-lagi Nadhira menghela napasnya panjang, ia butuh seseorang untuk menemaninya di saat-saat seperti ini. Ia sebenarnya ingin sekali menghubungi Lily tetapi, perempuan itu sedang berbulan madu dengan Agam, tidak mungkin ia mengganggunya.

"Aku kangen sama kamu, Ga. Aku bener-bener butuh kamu," lirihnya.

Nadhira menangis, hanya itu yang bisa ia lakukan. Ia tidak tahu mengapa sikap Anita bisa berubah seperti itu kepadanya.

Nadhira yang saat itu membawa sebuah buku kecil dan pena pun berniat menulis sesuatu di sana.

Ketika senja tau kapan ia harus pulang dan kapan ia harus kembali, mengapa kamu tidak.
Ketika beberapa orang merasakan hawa dingin yang diberikan oleh sang malam, mengapa aku justru tidak merasakannya? Apa rasa sesak ini mampu membuatku tak sadar?

Di sinilah aku, di bawah langit gelap dan sunyi nya suasana malam.
Seorang diri tanpa hadirnya kamu, membuat setiap waktuku terasa kelabu.
Ketika orang lain mampu memeluk kekasihnya untuk menyampaikan rasa rindu,
Aku hanya mampu menengadah dan menangis sebagai bentuk pengharapan agar kita segera bertemu.

Mungkin jika udara mampu berkata,
Ia akan mengatakan jika dirinya sangat bosan mendengar setiap keluh kesah ku sepanjang waktu.
Tapi aku tidak perduli, aku hanya ingin mencari kelegaan dan ketenangan walau mungkin mereka tidak senang dengan apa yang aku lakukan.

Allah, ku mohon ... beri suami hamba pertanda jika aku sangat merindukannya dan mengharapkan dirinya untuk segera kembali di sisiku selamanya.

Nadhira menghentikan pergerakan jarinya untuk menulis kala satu bulir air mata terjatuh di buku tersebut. Ia tidak tahan, ia sangat membutuhkan Shaga, ia seolah ingin sekali memeluk suaminya tetapi, ia tak mampu, ia tak bisa melakukannya.

Sungguh, ia tidak kuat. Ketakutan seakan telah menguasai dirinya. Ia takut Shaga meninggalkannya, ia takut semua orang membencinya, dan ia takut jika takdir juga tak berpihak kepadanya.

"Bunda ... Nadhira takut, Bunda. Nadhira nggak kuat ...."

Nadhira menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan dan isakan tangisnya mulai terdengar begitu pilu memecah heningnya malam.



Mantan jadi Manten [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang