Chapter 28

785 50 0
                                    

Perbanyaklah bershalawat atas Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam sebanyak-banyaknya menurut kemampuan kalian. Awliya'ullah meraih kewalian mereka karena shalawat mereka atas Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam dan Allah Subhanahu wa Ta'ala melimpahkan Rahmat-Nya atas mereka

( Maulana Shaykh Hisham Kabbani )

---


Malam ini, selepas sholat isya, kediaman Shaga kedatangan kedua orang tuanya, beserta mertua dan kakar iparnya. Kedatangan secara tiba-tiba tersebut, tentu saja membuat Nadhira merasa khawatir. Ia yakin jika dirinya akan ditanyai pasal kondisinya.

Nadhira kini hanya mampu menunduk, dengan tangan kanannya yang digenggam oleh Shaga.

"Kenapa kamu hanya diam, Nak? Kamu nggak perlu takut, kami semua nggak akan marah sama kamu, mungkin ini udah jalan yang dikasih Allah ke kamu," ujar Erna, bunda Nadhira.

"Nadhira ngerasa bersalah, Bun. Nadhira udah matahin harapan kalian, Nadhira cuma bisa minta maaf."

"Kamu nggak perlu minta maaf, Nad. Gimana pun juga kamu dan kita semua nggak menginginkan ini, jadi nggak ada yang perlu disalahkan," timpal Niel.

"Iya, Nad. Kami semua bisa ngerti kondisi kamu, apapun yang Lala katakan, nggak perlu dimasukin ke hati, dia emang gitu orangnya. Jadi kamu tenang aja," tutur Antoni.

"Shaga juga udah berulang kali bilang ke Nadhira buat nggak mikirin ini terlalu berat, nggak baik juga buat kesehatannya," ucap Shaga menimpali.

Baru saja Nadhira akan membuka suara, Anita bangkit dari duduknya. "Mama tadi belum sholat isya, kamar tamu di mana, Ga?" tanyanya.

"Mama ke kamar kita aja, di lantai--"

"Di mana ya kamar tamu, Ga?" Nadhira terdiam, perkataannya di potong dan tak direspon oleh Anita.

"D--di dekat tangga, Ma." Anita mengangguk lalu melangkah pergi.

Nadhira tertunduk, merasa tidak enak dengan sikap mertuanya baru saja. "Eum ... Nadhira ke belakang dulu, ya. Kalian lanjut ngobrol aja," pamit Nadhira.

Shaga dan semuanya saling menatap satu sama lain, seolah mengerti alasan Nadhira juga beranjak pergi.

"Kenapa Mama bersikap kaya gitu, Pa?" tanya Shaga.

"Mama kamu butuh waktu buat mengerti, Ga. Kita sabar aja dan terus mendukung Nadhira biar dia nggak terus menerus ngerasa bersalah," jawab Antoni.

Di sisi lain, Nadhira rupanya menghampiri Anita. Ia merasa harus membuat mertuanya mengerti walau ada kemungkinan ia tak akan didengarkan.

Nadhira membuka pintu kamar tamu dengan pelan, terlihat Anita yang duduk di tepi ranjang dengan melamun. Nadhira membenarkan dugaannya, Anita tidak benar-benar sholat, itu hanya alasan agar Anita bisa menghindar dari semuanya.

"Mama?" Anita tersentak kaget, ia menatap Nadhira sejenak lalu mengalihkan pandangannya kembali.

"Nadhira boleh masuk?" tanya Nadhira hati-hati.

"Masuk aja," jawab Anita singkat.

Nadhira lantas masuk dan duduk di sisi kiri mertuanya. "Mama marah sama Nadhira?"

"Mama nggak ada alasan marah sama kamu, Nad. Mama cuma pengen sendiri aja," jawab Anita dengan nada ketus.

"Nadhira nggak tau Mama marah atau enggak ke aku, tapi aku mohon sama Mama, mengertilah ... Nadhira juga nggak mau ini terjadi, nggak ada yang mau, Ma. Nadhira juga sedih karna nggak bisa mengabulkan harapan kalian untuk memiliki cucu, Nadhira nggak tau harus gimana, Ma. Tolong ngertiin posisi--"

"Berhenti untuk mengemis pengertian, Nadhira! Kamu cuma ngerasa kamu yang pantes dingertiin. Kalau kamu mau Mama ngertiin, maka ngertiin juga sikap Mama yang seperti ini." Mendengar nada marah dari Anita, Nadhira merasa takut, sebelumnya ia tidak pernah mendapat amarah sekalipun dari Anita hingga ini untuk menjadi pertama kalinya.

"Nadhira minta maaf, Ma. Mungkin Nadhira memang egois dan Mama memang pantas bersikap seperti ini, Nadhira tau Mama kecewa sama aku, sekali lagi Nadhira minta maaf," tutur Nadhira seraya berusaha untuk tidak menangis.

Tak mendapat respon lagi dari Anita, Nadhira pun bangkit dari duduknya. "Kalau gitu Nadhira keluar dulu, Ma." Anita tetap diam, membuat Nadhira tak bisa menahan kesedihannya.

---

Malam pertama adalah malam yang menjadi bayang-bayang semua orang yang belum menikah. Menyinggung malam pertama, beberapa orang merasa takut dan tidak siap untuk menyambut malam tersebut.

Sama halnya dengan pasangan pengantin baru Agam dan Lily. Lily begitu merasa takut untuk menghadapi malam pertamanya, walaupun beberapa orang mengatakan semua akan baik-baik saja dan berakhir membahagiakan, ia tetap merasa takut dan tidak siap.

Kini, ia masih duduk di tepi ranjang menunggu Agam yang masih membersihkan dirinya di kamar mandi. Tangannya bahkan sampai berkeringat dingin takut jika Agam segera keluar dan menghampirinya.

Cklek!

Hingga suara pintu kamar mandi terdengar dan membuat Lily mengalihkan perhatiannya ke sana. Agam terlihat melangkah keluar dengan keadaan yang sudah memakai kaos bewarna putih dan celana pendek sebatas lutut bewarna hitam.

"Kamu kenapa tegang kaya gitu?" tanya Agam pada Lily yang terus melihat ke arahnya.

Lily menjadi salting. "E--enggak kok, aku nggak tegang. Kamu udah selesai mandi?"

"Iya udah, kamu nggak mau buka kerudung? Kan kita mau tidur."

Deg!

Lily meneguk ludahnya kasar, apa benar ia akan tidur bersama Agam? Astaga ... ia bahkan tidak bisa berpikir dengan benar, pikir Lily.

"I--iya, aku buka dulu," ucap Lily yang justru terlihat seperti orang linglung karena kegugupannya.

Agam naik dan duduk bersandar di kepala ranjang, memperhatikan Lily yang mulai membuka kerudungnya. Hingga seketika ia terkejut kala melihat penampilan Lily tampak kerudung.

Lily terlihat begitu cantik nan manis. "Kenapa Kak Agam ngeliatin aku kaya gitu?" tanya Lily malu-malu seraya menunduk.

Agam tersenyum manis yang disusul dengan kekehan kecil. "Kamu cantik, Ly."

Dan entah untuk yang ke berapa kalinya ia dibuat salting oleh Agam hari ini. Kedua pipinya terasa menghangat karena tersipu malu.

"Ih jangan gitu dong, Kak. Aku kan jadi malu." Mendengar nada polos Lily, Agam lagi-lagi terkekeh. Ia masih mengamati wajah Lily dengan seksama.

Ia menyadari sesuatu, secantik apapun perempuan yang ia temui, bagi Agam perempuan tercantik menurutnya adalah dia. Dia yang mampu membuatnya benar-benar jatuh cinta, dia yang membuatnya tak mampu berkata-kata ketika saling bertemu, dan dia yang membuatnya begitu kagum.

"Kak? Kok diem aja? Kak Agam nggak papa?" tanya Lily.

"Nggak papa kok, aku capek banget, Ly. Kita tidur sekarang aja, ya?" Lily diam sejenak, ia pikir mereka akan ... tidak, sepertinya ia sudah berpikir terlalu jauh dan kotor, pikir Lily.

"Iya, Kak."

Mereka pun lantas berbaring dengan posisi yang sama-sama terlentang. Tanpa obrolan dan tanpa kata-kata manis apapun, Agam langsung memejamkan matanya mulai memasuki alam bawah sadar.

Lily mencoba mengerti, tidak mau berpikiran buruk tentang suaminya. Lagi pula ia juga lelah, pastinya Agam pun sama-sama lelah, jadi wajar saja jika Agam langsung memilih untuk beristirahat, pikirnya yang mencoba untuk tidak menyimpulkan apapun sembarangan.

•••

Hai gais, udah mau 2k pembaca aja nih, makasih ya yang sudah setia baca sampai sini, dan makasih banget buat yang sudah bersedia ngevote. Sampai jumpa di next chapter




Mantan jadi Manten [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang