Chapter 42

871 54 0
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul 3 dini hari, satu jam lagi  adzan subuh akan dikumandangkan. Namun, Nadhira masih setia duduk di sebuah halte yang terasa sunyi. Tak ada satupun kendaraan yang lewat, aroma khas aspal yang terkena air hujan hingga hawa dingin selepas hujan membuat Nadhira ingin sekali meringkuk di bawah selimut yang hangat.

Namun, ia tak bisa melakukannya. Ia hanya seorang diri di sini, tanpa tujuan. Ingin pulang tetapi, tak siap melihat raut wajah kecewa dari ibu dan kakaknya. Mungkin jika ia memiliki banyak uang, ia bisa menginap beberapa hari di hotel. Tetapi, berhubung ia tak memiliki cukup uang bahkan untuk menyewa kontrakan saja pun tak akan bisa, alhasil ia hanya duduk termenung menahan kantuk semalaman di halte ini.

Nadhira bahkan terlihat seperti orang yang kehilangan semangat hidup. Ia merasa hancur dan berantakan. Mengapa semesta seolah begitu senang melihatnya menderita? Mengapa takdir seakan tak bisa melihatnya bahagia dalam waktu yang lama? Pikir Nadhira.

Nadhira menghela napasnya panjang. "Bunda, Bang Niel, Nadhira kangen sama kalian, Nadhira nggak tau mau ke mana ...."

Bayangkan saja, Nadhira tengah berada di halte seorang diri tanpa ada manusia satu pun selain dirinya di sana, Menakutkan.

Hingga ia merasa tubuhnya menggigil karena kedinginan. Ia yakin dirinya akan segera jatuh sakit sebab kehujanan. Nadhira bingung harus minta tolong kepada siapa, jika saja Lily berada di Jakarta, ia akan minta tolong pada sahabatnya itu. Namun, lagi-lagi keberuntungan tak memihak pada dirinya.

Nadhira semakin memeluk dirinya, ia tak mempunyai pakaian yang cukup hangat. Wajahnya sudah terlihat pucat, pandangannya mulai mengabur. Mungkin saat ini ia mampu bertahan. Tetapi, beberapa saat kemudian kepalanya terasa begitu pusing, membuat Nadhira harus terpaksa tiduran di sana tanpa alas.

---

Pada pukul 03.30 menit, selepas sholat tahajud, ia harus berdecak kesal saat Bisma menghubunginya dan membuat Kenan mengurungkan niatnya untuk kembali tidur. Namun, sesaat Bisma mengatakan sesuatu mengenai Nadhira, Kenan langsung tak membuang waktunya lantas dengan cepat menyusul keberadaan Bisma.

Di telepon, Bisma mengatakan jika ia menemukan Nadhira yang jatuh pingsan di halte tak jauh dari rumahnya. Entahlah Kenan tidak tahu apa yang Bisma lakukan di dini hari seperti itu hingga menemukan Nadhira tak sadarkan diri. Yang dalam pikiran Kenan sekarang adalah, ia segera menemui Bisma untuk memastikan keberadaan Nadhira, perempuan yang ia cintai.

Hingga beberapa saat kemudian, ia sampai di posisi yang ditunjukan oleh Bisma. Kenan buru-buru turun dari mobilnya, di sana ia langsung melihat Nadhira yang tergeletak dan Bisma masih diam saja.

"Nadhira!"

Kenan berjalan cepat menghampiri keduanya. "Lo ngapain masih diem aja kek patung nggak berguna! Seenggaknya lo bawa dia masuk ke mobil lo dong!" sungut Kenan.

"Ya gue nggak bisa, mana mungkin gue nyentuh dia, Ken. Kalau Nadhira atau Shaga tau, mereka bakal marah!"

"Inikan keadaannya mendesak, bego!" Kenan berdecak kesal. "Ck, lama lo!"

Kenan pun dengan sigap membopong Nadhira dan membawanya masuk ke dalam mobilnya. Kenan menidurkan perempuan itu dengan pelan ke tempat duduk bagian belakang.

"Ikut gue ke rumah sakit!" ujar Kenan pada Bisma.

"Iya iya!"

Merekapun langsung menuju rumah sakit terdekat dengan Bisma yang mengendarai mobilnya sendiri. Di perjalanan, Kenan begitu khawatir, ia berulang kali melihat wajah pucat Nadhira dari balik kaca spion di atasnya.

"Lo harus bertahan, Nad. Sebentar lagi kita sampai," ujar Kenan yang menambah laju kecepatannya.

"Kali ini gue nggak main-main, Ga. Lo bakal bayar semua rasa sakit yang Nadhira terima!" desis Kenan dengan tatapan penuh kemarahan.

---

Kedua kelopak matanya terlihat bergerak, aroma khas ruangan tersebut membuat seseorang itu mengerutkan dahinya bingung. Perlahan tapi pasti matanya terbuka sempurna, pandangan pertama yang ia lihat adalah dua laki-laki yang berdiri di sisi kanannya.

"Kenan? Kak Bisma?"

"Eh eh jangan duduk dulu, Nad. Keadaan kamu masih lemah," ujar Kenan ketika Nadhira berusaha untuk duduk.

Nadhira lantas kembali pada posisi awalnya, kepalanya masih terasa sedikit pusing. "Kenapa aku ada di sini?" tanya Nadhira.

"Tadi aku nggak sengaja nemuin kamu pingsan di halte yang nggak jauh dari rumah aku, Nad. Aku khawatir sama keadaan kamu terus aku hubungin Kenan dan kita bawa kamu ke rumah sakit," jelas Bisma.

"Makasih ya kalian berdua udah nolongin aku," ucap Nadhira dengan nada lemah. Tentu saja, ia sedari kemarin belum makan karena terlalu fokus pada masalahnya.

"Sebenarnya kamu kenapa, Nad? Kenapa kamu sampai bisa ada di sana? Kenapa kamu juga bawa koper?" tanya Kenan dengan pertanyaan yang sedari tadi ia pendam.

Nadhira diam sejenak, hingga ia tampak menghela napasnya berat. "Aku pergi dari rumah, Ken. Shaga ngusir aku, dan kemarin saat kita ketemu, aku udah dalam keadaan pergi dari rumah," jawab Nadhira.

Mendengar itu, baik Kenan ataupun Bisma, membulatkan kedua matanya.

"Kamu serius Shaga ngelakuin itu?" tanya Bisma yang langsung dibalas tatapan tajam dari Kenan.

"Lebih baik lo keluar dulu, gue mau ngomong sesuatu sama Nadhira!" bisik Kenan.

"Tapi lo--"

"Udah sana!" Merasa aura Kenan sudah terlihat menyeramkan, Bisma pun tak ada pilihan lain selain menuruti perintah Kenan.

Setelah kepergian Bisma, Kenan duduk di kursi yang berada di samping Nadhira. Ia menatap lekat perempuan itu.

"Apa maksud semua ini, Nad? Apa ... kamu memilih untuk mengalah dan merelakan Shaga buat Jassy?" tanya Kenan dengan tatapan serius.

Nadhira menatap langit-langit rumah sakit dengan mata yang menahan tangis.

"Ya ... karna mungkin, ini yang terbaik buat aku dan Shaga. Walau ini berat, walau ini sakit, tapi aku harus bisa memilih jalan ini untuk kebaikan semuanya. Kebaikan Mama, kebaikan Jassy dan Shaga. Lagi pula, hubungan aku dan Shaga terlalu rumit untuk dipertahankan, kita sama-sama mempertahankan ego, kami berdua masih tidak bisa merelakan sesuatu yang penting dalam hidup kami. Aku yang udah nggak bisa merelakan perasaan aku untuk menerima Jassy yang telah berubah, dan Shaga yang nggak bisa melepaskan Jassy karna satu sisi dia juga memikirkan keinginan besar Mama," jedanya.

Nadhira menghela napasnya kembali. "Sudahlah, Ken. Nggak perlu membahas ini lagi, karna aku yakin, sebentar lagi Shaga akan mengirimkan surat cerainya ke aku, dan ... semuanya berakhir!"

Dada Kenan terasa sesak, ia benar-benar tidak tega melihat air mata Nadhira yang kembali terjatuh.

"Nad, ingat kata-kata aku ... kalau kamu sudah membutuhkan aku sebagai seseorang yang harus menemani kamu menjalani kehidupan ini, maka datanglah ... datang ke aku, Nad. Karna aku, akan siap setiap waktu buat kamu."

Nadhira menoleh, menatap Kenan dengan tatapan yang sulit dijelaskan lalu tersenyum tanpa mengatakan apapun lagi.

Hingga perhatian Kenan terpecah ketika ponselnya bergetar. "Sebentar ya, Nad."

Kenan membuka ponselnya dan terdapat pesan dari seseorang, pesan yang seketika membuat darah Kenan mendidih, raut kemarahan di wajahnya terpancar jelas, hingga ia menggenggam ponselnya itu dengan begitu kuat.

Lo bener-bener sampah! Batin Kenan.

Namun, tak berhenti sampai situ. Sebab, ada pesan kedua dari seseorang yang berbeda. Pesan kali ini membuat Kenan menyeringai senang, hingga ia tidak sabar menunggu hari esok, hari yang akan membuat orang itu membayar semuanya.

Mantan jadi Manten [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang