Chapter 44

950 60 6
                                    

Nadhira telah kembali pada aktivitasnya, ia juga sudah tinggal bersama Erna dan Niel. Ia berusaha melupakan masalahnya untuk sejenak dan membenarkan perkataan Kenan jika ia harus kembali bangkit dan bahagia.

Pagi ini ia tengah menyiapkan sarapan, setelah kegiatan rumah ia selesaikan, ia akan pergi bersama Kenan untuk mencari pekerjaan. Sebab, Nadhira tidak bisa berdiam di rumah saja, karena ia bukanlah seseorang yang memiliki banyak kekayaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Namun, sesaat ia berniat memanggil bunda dan kakaknya di kamar, pintu depan diketuk oleh seseorang yang Nadhira sendiri pun tidak tahu. Tetapi, sesaat kemudian ia mengira itu Kenan, sebab laki-laki itu kemarin mengatakan akan datang ke rumahnya pagi hari.

Nadhira pun lantas memutuskan membuka pintu tersebut. Hingga pintu telah benar-benar terbuka, dahinya tampak mengerut bingung sesaat melihat seorang laki-laki berpenampilan rapi memakai jaz hitam dan membawa sebuah tas koper di tangannya.

"Maaf, cari siapa ya, Pak?" tanya Nadhira.

"Apa benar ini rumah Ibu Nadhira?"

Nadhira mengangguk pelan. "Iya, dengan saya sendiri. Ada keperluan apa?"

"Saya Thomas dari Pengadilan Agama Jakarta. Saya kemari ingin memberikan surat gugatan cerai atas nama Bapak Shaga untuk Ibu Nadhira!"

Deg!

Detak jantung Nadhira seakan berhenti, lututnya terasa lemas, kedua matanya terlihat berkaca-kaca, dan tubuhnya pun menegang.

Ia menatap surat yang dibungkus amplop bewarna cokelat yang diulurkan oleh laki-laki itu dengan tatapan nanar. Dengan pelan dan gemetar, Nadhira menerima surat tersebut.

"Karena Ibu Nadhira sudah menerima surat ini, silahkan tanda tangan di sini!" ujar Pak Thomas sembari memberikan kertas yang harus Nadhira tandatangani.

Dengan berat hati, Nadhira menandatangani surat itu.

"Terimakasih, Bu. Kalau begitu, saya permisi, selamat pagi!"

Setelah kepergian Pak Thomas, Nadhira membuka amplop tersebut dan membaca isi suratnya. Ketika matanya menangkap kata menceraikan di dalam surat itu, Nadhira tak kuasa menahan tangisnya.

Sakit, sesak, dan kecewa. Perasaannya begitu hancur, sebentar lagi, statusnya akan berubah, dunianya akan terasa berbeda. Mau tidak mau, bisa atau tidak, ia harus menjalani semua ini dengan hati yang harus ia paksa menerima.

Apa kamu bahagia, Ga? Apa kamu senang dengan keputusan kamu ini? Atau ... justru kamu merasakan apa yang aku rasakan saat ini?

Ketahuilah, Ga. Rasanya sangat sakit, bahkan saat dunia memaksaku untuk bangkit saat ini, aku sudah tidak mampu lagi.

Alasan kuat aku merasa sangat sakit saat ini adalah, karna kamu adalah orang yang sangat aku cintai tapi ... kamu juga orang yang sangat menyakiti aku.

Apa kamu tidak mengingat janji yang saling kita ucapkan? Apa di hati kamu sudah tidak ada cinta sedikitpun untuk aku? Aku nggak bisa, Ga. Aku nggak bisa kehilangan kamu.

Nadhira terus berperang dengan batinnya. Ia terduduk lemas di ambang pintu, ia semakin menangis dan melempar kertas itu dengan kasar.

"AAARRRGGGHHH!!!"

Hingga isakan tangis pilunya seketika membuat Erna dan Niel keluar dari rumah. Keduanya terlihat bingung melihat keadaan Nadhira.

"Nadhira, ada apa?!" tanya Niel.

"Sayang, kamu kenapa? Kenapa kamu nangis kaya gini?"

Bukannya menjawab, Nadhira menutup wajahnya dengan telapak tangan hingga suara tangisnya sedikit teredam tetapi, terasa sakit untuk dadanya.

Ketika Niel tak sengaja menatap kertas yang terbuang tak jauh dari posisi Nadhira, Niel mengerutkan dahinya bingung lantas mengambilnya.

Dengan cepat Niel membukanya dan membacanya.

"Kertas apa itu, Niel?" tanya Erna.

Wajah Niel berubah marah, ia langsung mengepalkan kertas tersebut dan membuangnya.

"Si brengsek Shaga itu udah menceraikan Nadhira, Bun!" ucap Niel penuh amarah walau dalam hati kecilnya ia merasa puas karena Shaga mendengar perkataannya malam itu. Walau tidak dapat dipungkiri, ia juga merasa sakit saat melihat Nadhira seperti ini.

Erna membekap mulutnya merasa terkejut.

"Nad? Kamu ... kamu?" Erna tak kuasa melanjutkan ucapannya lalu berhambur memeluk putrinya.

"Bunda ...."

"Aku nggak kuat, Bunda! Aku nggak bisa!" racau Nadhira.

"Enggak, sayang. Enggak! Kamu pasti bisa, buktiin pada Shaga, kalau kamu mampu mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari dia, Bunda percaya kalau kamu bisa, kamu kuat!"

Nadhira semakin terisak, emosinya tak terkontrol, hingga beberapa saat kemudian, ia tak sadarkan diri karena terjatuh pingsan di pelukan sang Bunda.

---

Shaga tampak melamun di belakang rumah setelah mendapat kabar jika surat dari pengadilan telah diterima oleh Nadhira. Hari ini ia memutuskan untuk tidak berangkat ke kantor, Shaga berpikir ia akan istirahat sejenak dan menenangkan pikirannya.

"Ga?"

Panggilan tersebut seketika memecah lamunannya tetapi, ia tak menoleh sedikitpun karena tanpa ia melihat, dirinya sudah tahu jika suara itu adalah milik Jassy.

"Ada Papa di ruang tamu," ucap Jassy yang kini membuat Shaga menoleh.

"Papa?" beonya.

Jassy mengangguk. "Papa mau ketemu kamu," jawab Jassy.

Shaga diam sejenak sebelum ia beranjak pergi menemui Antoni, Papanya.

Sesampainya di ruang tamu, Shaga langsung mendapatkan tatapan tajam dari Antoni. Dengan wajah datar yang menutupi rasa takutnya, Shaga berjalan mendekat dan duduk berhadapan dengan Papanya.

"Apa-apaan ini, Shaga?!" desis Antoni dengan nada tegas walau ia tidak membentak karena tak mau Jassy mendengarnya.

Shaga memalingkan wajahnya. "Ini sudah keputusan Shaga, Pa. Jadi tolong Papa hargai!" jawab Shaga.

Mendengar itu, Antoni mati-matian menahan nafsunya untuk memukul anaknya sendiri.

"Hargai kamu bilang? Keputusan macam apa yang pantas Papa hargai? Ini adalah keputusan paling bodoh di hidup kamu, Shaga! Kamu seolah membuang mutiara hanya demi boneka seperti Jassy. Di mana otak kamu, huh?!"

"Cukup, Pa! Jangan membandingkan Jassy dengan Nadhira, mereka itu beda dan punya sisi baik serta buruknya masing-masing!" lontar Shaga.

"Kamu tau, kalau Papa mampu melupakan status kamu sebagai anak Papa, mungkin sekarang Papa akan menghabisi kamu tanpa ampun, Ga!" Shaga terlihat emosi, ia seolah sangat dibenci oleh Papanya.

"Papa tidak pernah mendidik kamu seperti ini. Kenapa kamu tidak melepaskan Jassy saja dan hidup bahagia bersama Nadhira? Kenapa kamu bersikap bodoh, Ga?! Apa kamu pikir dengan kamu menceraikan Nadhira hidup kamu akan bahagia? Tidak! Kamu justru akan sangat menyesal dan menderita ketika suatu saat kamu menyaksikan Nadhira telah mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik dari kamu. Ingat kata-kata Papa ini!" papar Antoni yang kemudian beranjak pergi.

Setelah kepergian Antoni, Shaga marah dan membanting vas bunga yang ada di sampingnya hingga pecah tak berbentuk lagi. Ia merasa Papanya sendiri mendoakan dan menyumpahkan keburukan atas dirinya.

Mantan jadi Manten [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang