Prologue

1.7K 78 6
                                    

Apa arti kehidupan? Aku bertanya pada diriku sendiri. Apa arti kehidupan jika kau hanya menerima sesuatu yang tak ingin kau terima? Sepertinya lebih baik mengakhiri hidupku saja.

Namaku Naomi Arata. Kalian bertanya aku mempunyai keturunan Jepang? Yap, ada. Dari ayahku. Ibuku asli Indonesia. Dan beruntungnya, aku merupakan 'peleburan' sempurna antara gen mereka. Dan, aku adalah anak semata wayang. Sebenarnya, Naomi adalah nama pemberian ibuku. Dia memang orang Indonesia tetapi ia sangat menyukai hal-hal berbau Jepang sampai suatu hari ia bekerja di Jepang dan bertemu ayahku.

Manis? Tidak juga. Saat umurku 5 tahun, mereka bertengkar hebat. Sampai saat ini, aku belum tahu masalah apa yang membuat mereka bercerai. Suatu saat nanti aku pasti akan tahu itu. Yang aku tahu sekarang hanyalah aku tinggal bersama Ibu, yang menikah lagi dengan orang Indonesia. Sepertinya ibuku trauma.

Aku sudah terlalu lama hidup menderita seperti ini. Memiliki otak cerdas dan banyak harta bukan jaminan untuk hidup bahagia. Memiliki sahabat yang baik pun bukan jaminan hidup untuk bahagia. Aku mempunyai semua itu. Tapi aku bahkan tak tahu harus memiliki tujuan apa dalam hidup. Ibu dan Ayah melupakan satu sama lain, Ibu menikahi orang lain sedangkan Ayah kembali ke Jepang. Setahuku, setiap Ibu mengingat Ayah, ia selalu menangis. Anak mana yang tega melihat Ibunya menangis? Dan Ayah, seminggu sekali ia curhat tentang hidupnya sekarang, tidak seindah dengan Ibu. Tapi Ayah selalu mendoakan kebahagiaan Ibu, pada akhirnya ia menitipkan salam untuk Ibu, sebulan sekali.

Sebagai manusia yang tergolong cerdas, aku merasa gagal.

Hidupku terasa begitu hancur tanpa kedua orang tua kandung. Satu orang tua kandung saja tak cukup, kau tahu. Memang 'Ayah' baru ini baik, tapi tak jarang ia menjahiliku dengan cara membasahi sepatuku, mematikan listrik kamarku, membatasi porsi makanku, dan lain lain. Dan diam-diam, aku pernah menguping pembicaraan Ibu dan 'Ayah', lelaki itu mengamuk tak jelas sementara Ibu hanya bisa menangis. Saat aku tanya Ibu tentang kejadian itu dan kenapa tidak memilih cerai, Ibu tak ingin cerai untuk kedua kalinya. Lebih baik bertahan, katanya. Ibu memang perempuan yang amat tangguh.

Sekarang, aku sudah siap dengan obat nyamukku. Aku harus meneguk habis. Aku tidak tahan lagi berada di dunia yang seperti ini. Aku mulai meminum cairan itu, lalu... semuanya gelap.

StrangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang