Dingin

589 104 0
                                    

Elara diantar pulang dengan Mercy hitam mewah milik Reyiga. Berdua saja tentunya, karena Kinan telah pulang terlebih dahulu dengan Fiona. Finoa, kakak kandung Reyiga.

Elara duduk di kursi depan, tepat di samping Reyiga. Sesekali, ia menatap kagum laki-laki itu. Rasanya seperti mimpi. Ia bisa bertemu dan makan malam bersama sosok laki-laki hebat nan tampan ini.

Seperempat perjalanan telah mereka lalui. Belum ada percakapan diantara mereka. Hanya melodi speaker mobil yang mengisi gelombang suara dalam mobil itu.

Elara ingin sekali mengajak Reyiga mengobrol. Namun ia begitu ragu untuk memulai percakapan. Hingga tiba-tiba, sebuah keajaiban muncul. Suara Reyiga mulai muncul dari speaker mobil itu. Sepertinya, ponselnya tak sengaja memutar rekaman suara. Terdengar kata cabang baru pada detik-detik pertama rekaman itu. Reyiga segera menyetel ulang playlist di ponselnya.

"Maaf, mungkin kepencet." Laki-laki itu mulai membuka mulutnya.

"Enggak apa-apa, Kak." Desahan tawa sedikit mengiringi suara Elara.

"Rekaman dari rapat perusahaan, ya?" Tanyanya.

"Iya. Bahasan tentang cabang baru."

"Yang di Menado?"

Kamu tau? Rasanya saya belum ngomong ke mami.

"Hehe. Aku baru aja baca artikelnya tadi pagi".

"Tipe calon tunangan yang mendukung, ya."

"Sebenarnya, aku udah tau kak Reyiga dari lama. Aku tertarik banget sama entrepreneurship. Kak Reyiga ingat seminar di UI baru-baru ini? Aku salah satu audiensnya. Waktu itu sempat tanya berkali-kali." Elara mencecar Reyiga dengan pertanyaan dan pernyataannya. Ia berharap kalau laki-laki itu bisa mengingatnya.

"Kamu ternyata." Reyiga melirik sebentar ke arah Elara. "Si ambisius," tambahnya.

Gadis itu menyeringai senang. Akhirnya si pengusaha muda ini mengingatnya.

"Kamu terlihat berbeda dengan waktu itu. Hampir tidak saya kenali."

"Waktu itu aku pakai beret. Mungkin karena itu jadi terlihat berbeda."

"Mungkin." Reyiga kembali berfokus pada jalanan Kota Jakarta.

Sepertinya bahasan mereka tentang dunia pekerjaan hanya sampai di sini saja. Elara mendapati mata Reyiga yang telah meninggalkannya. Gadis itu perlu topik baru untuk melanjutkan obrolan diantara mereka.

"Hmmm..." Elara berdeham untuk menarik perhatian laki-laki di sampingnya.

"Kak?" tanya gadis itu.

"Iya," sahut Reyiga.

"Sebelumnya maaf, Kak. Apakah kak Reyiga enggak keberatan dengan semua ketiba-tibaan ini?" Gadis itu mengambil topik yang dirasanya cukup berat. Ia hanya penasaran tentang bagaimana Reyiga menanggapi ini semua.

"Banyak hal yang memang datang secara tiba-tiba." Reyiga menjawab dengan sebuah kenyataan.

Memang benar jika di dunia ini banyak yang terjadi secara tiba-tiba. Namun, bukan jawaban semacam ini yang Elara inginkan.

"Iya sih. Tapi, are you agree with this?" Elara memutar kepalanya ke arah Reyiga.

"Sudah terencana, kan? Bahkan sejak dulu. Sejak kita masih kecil." Jawaban yang Reyiga berikan memang berdasar dari apa yang ia ketahui dari Kinan.

Elara hanya bisa menerima fakta kalau Reyiga adalah anak penurut. Laki-laki itu sama sekali tidak memberontak atau mencari tau lebih lanjut tentang hubungan ini. Apakah dia peduli atau tidak pun, Elara tak tau. Karena semua nada bicara dan ekspresi Reyiga terlihat sama. Sebagai mahasiswi Psikologi, ia menafsirkan begitu.

Andai saja Reyiga tau, kalau perjodohan atau kehadiran sosok calon tunangan ini hanyalah skema dadakan semata. Tidak ada yang namanya perjodohan terencana sejak kecil. Mereka bahkan baru bertemu dewasa ini.

Elara hanya melakukan salah satu kewajibannya untuk membantu menyelesaikan masalah keluarga. Selebihnya ia tidak memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan.

Kinan memang memintanya untuk mengubah sikap Reyiga. Kata Kinan, Reyiga itu orang yang sangat dingin dan sarkas. Namun, kacamata Elara berkata lain. Baginya Reyiga terlihat normal. Tapi ia tak akan lengah. Ia harus mempersiapkan diri untuk mendapati karakter lain yang mungkin muncul dalam diri Reyiga. Karakter sebenarnya dari laki-laki itu.

Semakin larut, jalanan pun semakin lengang. Reyiga menambah kecepatan mobilnya. Kemudian, selang beberapa saat, mereka pun tiba di depan rumah Elara.

"Sudah sampai," ujar Reyiga.

"Ah, iya. Terima kasih, kak Reyiga," balas Elara.

"Sama-sama."

Tangan Reyiga masih menempel di setir mobil. Elara langsung bisa menerjemahkan momen ini.

Ah, jadi dia enggak akan keluar dari mobil. Gue harus segera turun berarti. Batinnya.

Gadis itu melepaskan sabuk pengaman yang mengikat setengah tubuhnya. Lalu ia bergegas keluar dari mobil. Tak lama setelah Elara menutup kembali pintu mobil hitam itu, Reyiga langsung memundurkan mobilnya dan menancap gas menjauhi rumah Elara.

Ada beberapa bunyi klakson yang mendampingi kepergian mobil itu. Namun tak ada ucapan perpisahan dari Reyiga saat itu. Satu hal baru yang membuat Elara mulai mengenal sosok Reyiga. Sifat dinginnya. Sangat dingin.

* * *

On Cloud Nine (EL REY Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang