Film dan Donasi

431 80 3
                                    

Pukul tiga sore waktu setempat, mobil hitam Reyiga sudah terparkir di depan rumah Elara untuk menjemputnya sesuai janji mereka beberapa waktu yang lalu. Elara tampak begitu sassy dengan pakaian serba khaki-nya. Sedangkan Reyiga masih mengenakan pakaian khas kantornya.

Setelah melintasi padatnya ibu kota, mereka pun tiba di The Elements Apartments. Apartemen Reyiga yang terletak di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Ada rasa grogi yang mengalir di seluruh tubuh Elara saat ia memasuki kediaman calon tunangan-nya itu. Lebih tepatnya calon tunangan palsunya. Reyiga langsung mengarahkan Elara ke tempat khusus yang memiliki layar lebar di salah satu sudut bagian apartemennya. Lalu ia meminta izin sebentar untuk mengganti pakaian.

Tak lama, Reyiga pun muncul dengan setelan kaus sederhana namun tetap menarik perhatian. Tulang selangkanya terlihat menjiplak diantara lengkungan kaus itu. Ia menghampiri Elara yang tengah duduk di sofa. Ia duduk di sebelah gadis itu. Mereka pun duduk bersebelahan. Sangat dekat. Bahkan ujung kaus Reyiga bertemu dengan jaket khaki Elara.

“Kamu suka film apa, El?” tanya Reyiga.

“Hampir semua genre aku suka sih, Kak.” Jawab gadis itu.

Merasa tak puas dengan jawaban yang diberikan, Reyiga pun bertanya sekali lagi. “Yang paling disukai?”

Slice of Life, Romance, Action, Science Fiction. Mungkin empat itu. Tapi, so far, aku bisa nonton semua fiilm. Selama ceritanya menarik, why not.”

“Saya juga suka Science Fiction.”

“Oh, ya?”

“Iya. Menarik soalnya.”

Mind-blowing banget kalo Science Fiction.”

“Mereka sebenarnya membuat film dari sesuatu yang mereka ingin ciptakan. Makanya menarik.”

“Ilmuan imajiner. Hehe.” Gadis itu mengakhiri kalimatnya dengan sedikit tawa.

“Hari ini mau nonton Science Fiction juga? Ada film baru. Black Box judulnya. Mau nonton itu?”

“Boleh.”

Reyiga mulai mengatur layar televisi lebarnya. Tak lupa pula lampu-lampu ia matikan. Sejurus kemudian, suara khas opening film pun mulai terdengar.

Fokus mereka sepenuhnya terarah pada layar LCD di depannya. Elara sesekali memandangi Reyiga yang begitu fokus dengan film yang mereka tonton itu. Laki-laki itu pun kadang mengajak Elara menebak adegan selanjutnya dalam alur filmnya. Elara melihat sisi Reyiga yang baru, sisi penasarannya. Reyiga seperti seorang ahli matematika yang selalu penasaran dengan rumus-rumus. Namun ini bukan rumus matematika, melainkan rumus dari alur cerita.

Tak lupa dua bucket popcorn dan soda juga menghiasi suasana nonton bersama mereka. Pernah sekali, Reyiga salah mengambil popcorn. Dia malah menyentuh tangan Elara yang sedang tenang memegangi bucket popcorn miliknya sendiri. Sebuah ketidaksengajaan yang membuat pipi Elara menjdi merah. Padahal Reyiga sendiri tidak bereaksi apa-apa.

Dua jam dan sembilan menit pun berlalu. Durasi film telah habis. Lampu yang tadinya mati, dengan segera Reyiga nyalakan kembali.

“Gimana filmnya?” Tanya Reyiga.

“Sembilan dari sepuluh, Kak.” Elara menyeringai.

“Ya. Saya juga kasih nilai sembilan untuk filmnya. Tapi El,” Laki-laki itu kemudian memutar kembali film-nya. “Yang menarik perhatian saya adalah warna dari visual filmnya. Biru tapi nyaman,” ungkapnya.

Elara menunjukkan sikap setuju. “Lebih ke fresh sih, Kak.”

“Iya.”

“Kalau kakak jadi Mathieu, apakah akan melakukan hal yang sama?” Elara bertanya penasaran. Mathieu adalah tokoh utama dari film Black Box ini.

“Kayaknya enggak. Tapi mungkin akan seru kalau melakukan penyelidikan.”

“Berarti sama saja.”
Elara tertawa, sedangkan Reyiga hanya melengkungkan senyuman sedikit. Laki-laki itu jadi sering menarik sudut bibirnya sekarang. Berbeda dengan hari-hari sepinya dulu. Reyiga merasa cukup senang dengan kehadiran Elara. Gadis itu memberikan warna baru dan membawa banyak pengetahuan baru untuknya.

“Kalau kamu, El?”

Elara berdeham. “Hmmm. Aku?” Ia
mengendikkan bahunya. “Tergantung,” katanya.

“Tergantung?”

“Kalau berdampak buruk bagi karier pribadiku, mungkin akan menganggap kecelakaan itu hanya sebuah kecelakaan biasa. Sedangkan jika tidak berdampak apa-apa, tentunya akan melakukan penyelidikan karena kejanggalan tersebut.”

I see.” Reyiga mengangguk paham.

“Sebelum pulang, lebih baik kita makan malam dulu.” Reyiga memberikan penawaran pada Elara.

“Oke.”

Setelah mendapat persetujuan dari Elara, mereka pun berangkat meninggalkan apartemen dan berhenti di sebuah restoran Jepang yang tak jauh dari sana. Elara dan Reyiga masing-masing memesan paket makan malam dengan air dingin biasa sebagai minumannya.

“Di sini, makanannya dibuat dadakan. Jadi setiap ada yang pesan baru mereka masak.” Seolah paham dengan tempat ini, Reyiga memberikan beberapa informasi tentang restoran ini pada Elara.

“Oh, gitu.”

“Iya. Jadi, saya harap kamu sabar menunggu.”

“Hehe. Dengan senang hati, Kak.” Elara merengkuhkan sedikit posisi badannya. Ia bersikap bak seseorang yang berasal dari keluarga kerajaan. Posisi tangan dan juga sedikit cubitan di jaketnya. Tingkahnya membuat Reyiga tak habis pikir. Gadis itu masih bisa bercanda dengan anggun.

Dari gerak geriknya, Reyiga terlihat ingin mengatakan sesuatu. Namun tertahan entah oleh apa. Elara sebagai mahasiswi psikologi mampu membaca gerak-gerik anehnya itu. Lantas Elara pun bertanya pada Reyiga.

“Ada sesuatu yang ingin kak Rey katakan?” Ujar Elara yang membuat Reyiga membelakakkan matanya. Apa terlalu kelihatan, ya? Reyiga bertanya pada dirinya sendiri.

“Enggak, El. Nanti saja.” Laki-laki itu mengelak. Tak lama pramusaji pun terlihat menghambur ke arah mereka. “Tuh, makanannya sedang diantar.” Reyiga menunjuk pada beberapa pramusaji itu.

Elara penasaran dengan sesuatu yang ingin Reyiga tanyakan. Tapi jujur saja, karena dirinya sudah kelaparan, ia pun langsung menyantap hidangan lezat itu. Tak perlu waktu lama, hidangan di meja habis dalam sekejap mata.

Setelahnya, Elara sedikit memaksa Reyiga untuk segera pulang. Bukan karena ia tak nyaman disana, tapi ia takut Reyiga kelelahan saat menyetir. Pasalnya Reyiga harus bolak-balik mengantar jemput dia. Tentunya dengan senang hati, laki-laki itu menuruti permintaan gadisnya. Mereka segera memasuki mobil, sesaat setelah semua pembayaran selesai. Roda mobil mulai berputar dan beradu pacu dengan aspal hitam. Lantunan musik barat mengisi keheningan. Suasana lalu lintas cukup ramai, baik itu kendaraan yang searah maupun berlawanan arah.

Saat mobil yang mereka tumpangi berhenti di lampu merah, ada beberapa orang dengan pakaian kumuh mengetuk-ngetuk kaca mobil Mercy Reyiga. Elara hampir meminta izin kepada Reyiga untuk membukakan sedikit pintu mobilnya. Namun hasratnya terhenti saat Reyiga mendahului niatnya.

“Jangan diberi,” tukas dingin Reyiga.

Elara bernanar penuh tanya. Tentu saja, gadis itu ingin mendengar penjelasan mengapa Reyiga melarangnya memberi sesuatu pada orang itu.

“Kita tidak tahu mereka siapa, asal usulnya, dan alasannya meminta-minta. Pakaian kotor tidak bisa membuktikan apapun. Akan lebih baik kamu simpan uang itu dan memberikannya kepada orang-orang yang jelas identitasnya. Setidaknya pada suatu badan organisasi yang transparan.”

Sekali lagi Elara mendengar sesuatu yang begitu realistis dari seorang Reyiga. Kak Reyiga bukannya tidak peduli. Aku bisa baca tatapannya. Dingin. Namun memiliki sedikit kecemasan di matanya. Ujar Elara.

On Cloud Nine (EL REY Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang