Awal dari Semuanya

294 56 0
                                    

11 April 2004

Hari ini adalah hari Minggu. Hari kesukaannya anak-anak. Semua anggota keluarga yang biasanya sibuk bekerja dan sekolah, berkumpul bersama di rumah hari ini. Begitu pula dengan Reyiga. Dia selalu menghabiskan hari Minggunya bersama Fiona, Mami dan Papinya. Namun, ada satu orang anak yang membenci hari Minggu. Anak itu adalah Lia. Teman sekaligus tetangganya Reyiga. Ia tidak suka hari Minggu. Ia tidak suka ayah tirinya ada di rumah.

Rumah Reyiga bersebelahan dengan rumah Lia. Lia adalah gadis yang ceria. Pada awalnya. Namun setelah ayahnya meninggal dan ibunya menikah lagi, keluarganya menjadi hancur. Begitulah Lia menyebutnya.

Setiap hari, Lia dan Reyiga selalu bermain bersama. Kadang di rumah dua tingkat milik Reyiga. Kadang pula di rumah sederhana dengan pekarangan luas milik Lia.

Masing-masing rumah punya ciri khas yang berbeda. Rumah Reyiga selalu memiliki susu kacang almond yang gurih dan manis. Sedangkan rumah Lia selalu punya kue vanila yang memiliki cita rasanya begitu khas dan ajaib. Siapapun yang mencoba vanila cake itu tidak akan pernah bisa melupakan kelezatannya. Resepnya otentik. Ayah kandung Lia lah yang menciptakannya. Kemudian setelah ia meninggal, Ibunya Lia yang mewarisi resep ini.

tw // child abuse, family issue, violence, negative thought

8 Mei 2004

Reyiga sering mendapati Lia menangis di halaman belakang. Tempat itu memang sangat aman dan nyaman untuk bersembunyi.

Awalnya, pada suatu pagi yang cerah—saat Reyiga tengah mencari mobil mainannya yang hilang—dia mendengar isak tangis seseorang. Ia mendekati asal suara itu. Lalu ditemukannya Lia yang sedang terungkup sambil menangis.

"Lia?" Sapa lirih Reyia yang sedikit memiringkan kepalanya.

Gadis itu pun mengangkat kepalanya. Kedua matanya merah dan basah. Pipi kirinya lebam seperti luka yang baru didaratkan oleh seseorang.

"Kamu kenapa Li?"

"R-rey..., " suara Lia tersendat.

Reyiga pun berjongkok tepat di depan Lia.

"Ayah baru itu memukulku," katanya.

Reyiga menelan ludah. Anak lima tahun itu terlalu takut untuk berkomentar. Dia takut salah berbicara. Lalu satu-satunya langkah yang bisa ia lakukan adalah mendaratkan tangan kecilnya di puncak kepala Lia. Ia mengusapnya dengan lembut sampai Lia benar-benar berhenti menangis dan kembali tersenyum.

Untuk pertama kalinya, Reyiga melihat Lia menangis karena ayah barunya. Terakhir kali ia melihat Lia menangis, yaitu saat kepergian ayah kandungnya beberapa bulan yang lalu. Lia adalah anak yang ceria dimatanya. Gadis kecil itu selalu punya ide-ide permainan baru yang ia ciptakan sendiri. Sialnya permainan yang Lia ciptakan selalu seru. Maka dari itu, Reyiga memiliki paradigma kalau Lia adalah seorang anak yang ceria dan gemar bermain.

Hari-hari berikutnya Lia menjadi sering menangis. Waktu bermain gadis itu habiskan untuk menangis di halaman belakang. Tubuhnya semakin kurus. Beberapa luka bekas pukulan pun terlihat mengisi beberapa permukaan kulitnya. Reyiga tau, ini adalah sesuatu yang tidak benar. Dia sering menonton film action bersama papinya dan menemukan kesamaan luka, antara beberapa tokoh di film tersebut dengan luka di tubuh Lia. Reyiga membayangkan Lia dipukuli seperti adegan di film.

Entahlah, andai saja ia bisa membantu gadis cantik pujaan hatinya itu. Apapun akan ia lakukan. Dia selalu berdoa entah kepada siapa, agar Lia bisa terus bahagia. Tapi semakin keras ia berdoa, semakin sering pula ia mendapati Lia menangis. Hingga suatu hari ada kejadian mengerikan yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.

26 Juni 2004

Sabtu ini adalah jadwal bermain di rumah Lia. Seperti biasa, kue vanila sudah tersedia di meja. Reyiga dan Lia sedang bermain monopoli. Sepertinya bakat bisnis mereka sudah terlihat sejak kecil. Apalagi Reyiga. Dia tidak pernah kalah permainan ini. Sedangkan Lia selalu kalah tipis dari Reyiga. Ada canda tawa saat salah satu bidak mereka berhenti di area milik lawan.

On Cloud Nine (EL REY Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang