Sidang dan Semifreddo

328 53 13
                                    

Perpustakaan selalu menjadi tempat nomor satu yang paling dicari keberadaannya oleh penggiat tugas akhir. Begitu pula dengan Elara. Mahasiswi semester tujuh yang mengambil konsentrasi jurusan psikologi di kampus ternama negeri biru ini. Gadis itu terbungkuk rengkuh di depan laptopnya. Ia tengah merangkai kata untuk menyempurnakan tulisannya. Fokus. Hanya itu yang terlihat dari sorot netra dan kelihaian tangannya.

Petang telah menampakkan parasnya. Amplifier perpustakaan mulai menggema, pertanda tempat itu akan tutup. Sayang sekali, Elara harus merelakan tempat nyamannya. Ia mendengkus pasrah. Mau bagaimana lagi, memang sudah peraturannya begitu. Setelah membereskan barang bawaannya dengan apik, ia pun segera mengikuti hilir langkah kaki sampai ke tepi jalan beraspal.

Cakrawala kala itu sangat indah. Perpaduan biru, kuning, dan merah, menyala dengan menawan. Hampir semua orang mengabadikan panorama ini, begitu pula dengan Elara. Gambar yang diambilnya sangat hangat. Menenangkan jiwa. Mengingatkannya pada Reyiga dan senja di Pantai Anyer.

Lima belas menit kemudian, Elara tiba di rumah. Lalu, diikuti oleh dering ponselnya. Sebuah pesan dari Reyiga yang mengabarkan kalau laki-laki itu akan datang berkunjung. Katanya ingin menepati janji untuk membantu tunangannya mengerjakan tugas akhir. Tanpa basa-basi, Elara langsung menghujani peluh dengan air atar. Deretan busana santai mulai ia pilih. Dengung hair dryer pun turut serta menghiasi permukaan malam di kamar Elara. 

Sembari menunggu kedatangan Reyiga, gadis itu menyibukkan diri dengan melanjutkan skripsinya. Berisik dari tuts keyboard bertaut dengan denting jam yang tengah mengayun dari satu titik ke titik lain. Harmoni itu mengisi relung kepala Elara bak musik pendukung.

Tak ingin kalah dengan suara tuts yang mengganggu, Elara mulai mengerahkan rungunya hingga mencapai tingkat keawasan maksimal. Segala macam bunyi mulai ia dengar. Sebenarnya, ia sedang menunggu suara mobil milik Reyiga. Sebab, ia selalu antusias senang saat mendengar deru itu.

Tok …, tok ….

Alih-alih suara mobil yang terbetik, Elara malah mendapati ketukan singkat dari balik pintu kamarnya. Gadis itu pun segera beranjak dari kursinya.

“Sebentar,” ujarnya saat berjalan ke arah daun pintu.

Elara terbelalak kaget sesaat setelah membuka pintu kamarnya. Ternyata pemilik ketukan itu adalah Reyiga. Laki-laki itu tengah berdiri mematung di depannya.

“Loh? Kak Reyiga?” Tanyanya kaget.

“Hai, El,” sapa Reyiga dengan tangan yang menggantung di udara.

“Aku gak denger mobil kakak berhenti di depan. Kenapa gak ngasih tau aku lewat message kalo kak Rey udah nyampe.”

“Orang yang lagi skripsian itu gak boleh di ganggu. Harus fokus.”

Elara menyeringai senang.

“Tadi, di depan ada mama kamu, jadi saya langsung masuk aja karena sudah dikasih izin langsung sama pemilik rumah,” tegas Reyiga.

Hari-hari asmara mereka sekarang memang selalu begini. Rasa nyaman dan aman dirasakan satu sama lain. Tidak ada lagi keraguan maupun perasaan yang mereka tutupi. Semuanya sangat terbuka mengekspresikan perasaannya. Sebuah hubungan yang sehat. Kurang lebih begitu.

Reyiga tampak celingukan. Ia mengedarkan pandangan ke setiap inci ruang kamar yang tak asing itu. Senyuman tersungging saat ia mendapati meja yang penuh dengan buku tebal.

“Saya duduk di situ, ya.” Reyiga me
nunjuk sudut tempat tidur Elara. “Selagi kamu mengerjakan skripsi,” lanjutnya.

“Eum.” Elara mengangguk setuju.

On Cloud Nine (EL REY Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang