Kue Vanila

333 60 0
                                    

"Sudah dua minggu ya, kamu magang di DIVE," ujar Reyiga yang membuat perhatian Elara teralih padanya.

"Gimana?" tanyanya dibalik gemuruhnya suasana food court.

Sungguh pertanyaan retoris. Siapa pun yang ada diposisi gadis itu saat ini pasti akan memberikan jawaban yang sama. Ia sangat menyukainya, tentu saja.

"Hmmm. Everything going well." Bukannya ungkapan senang atau bahagia, Elara lebih memilih mengekspresikan dengan garis ambigu.

"Baguslah kalau gitu," ujar Reyiga. "Belum ada laporan konsultasi?"

"Sejauh ini baru ada tiga orang, Kak." Elara menghentikan putaran sedotan yang sedari tadi ia mainkan. "Kasusnya sama. Demotivation," pekiknya.

Reyiga mengangguk. "Yaa...," Lalu mengeluarkan ponsel pintar dari sakunya. Jemarinya menggulir layar itu dengan cekatan. "Kasus seperti itu sudah biasa." Laki-laki ini menunjukkan sepucuk artikel yang membahas pernestase demotivasi yang cukup tinggi.

"Iya. Dan, mencari cara terbaik dari masing-masing individu untuk mengembalikan motivasi mereka mungkin akan cukup sulit," kata Elara.

"Sesuatu yang datang secara abstrak memang sulit untuk di atur ulang, ya?"

Pernyataan Reyiga yang ini membuat mata Elara terbelakak. Boleh juga ungkapannya. Kata gadis itu.

"Tapi, saya percaya kamu bisa. Kamu punya sihir, El." Sekali lagi, Reyiga membuat Elara tak mengerti dengan ucapannya.

"Kata-kata ajaib yang kamu gaung kan, bisa bikin orang berubah," cetus CEO itu.

Elara hanya tertawa. Ia mencabut sedotan yang setengah tenggelam dalam gelas, lalu mengacungkannya ke arah Reyiga.

"I'm not a witch," tukasnya sembari memutar-mutar sedotan itu.

"You're my little witch."

Entah sebuah pujian atau apa, yang jelas Reyiga sendirilah yang mengatakan itu persis dengan sepasang matanya yang menatap dalam ke arah Elara. Siapa yang bisa menolak pesona seorang calon mantu nasional? Elara? Tentu saja tidak. Gadis itu pun tenggelam dalam rasa senang. Hari-hari selalu ia syukuri. Siapa yang tidak bersyukur coba, bisa berada dalam jarak sedekat ini dengan Reyiga, selalu menjadi kehormatan baginya. Pun laki-laki ini adalah idolanya sejak ia mulai tertarik dengan entrepreneurship.

Reyiga secara tak sengaja memandangi seketsa sederhana yang terpasang di dinding belakang, membuatnya teringat akan sesuatu. Ia pun meminta izin pada Elara untuk mengambil sesuatu di mobilnya dan meninggalkan gadis itu sebentar. Setelah mendapatkan persetujuan Elara, sejurus kemudian ia melipir ke arah mobilnya. Reyiga mengambil sebuah iPad lengkap dengan pensilnya. Langkah kakinya membawa ia masuk lagi ke tempat semula, bersama Elara.

"Kenapa, Kak?" tanya gadis itu.

"Saya baru ingat. Saya harus memastikan beberapa hal untuk seminar besok. Semua file-nya ada di iPad ini," katanya dengan mata yang tetap berfokus pada layar iPad-nya.

Namun sesaat kemudian, ia memandangi Elara.
"Seminar..., Waktu itu kamu bilang tertarik dengan entrepreneurship. Sekarang masih?"

"Ah, itu. Masih lah, Kak. Aku tertarik banget," jawab Elara.

"Kenapa tertarik?"

"Kenapa, ya." Satu siku Elara mulai menempel di ujung meja. "Mungkin, karena 'saya ingin bekerja dibawag kendali diri sendiri,' gitu."

Reyiga memicingkan matanya, ia merasa tak asing dengan ungkapan yang baru saja Elara ungkapkan.

"Itu memang first hint untuk menjadi seorang entrepreneur," katanya.
"Langkah selanjutnya adalah menyusun bussines plan. Berbisnis perlu keberanian. Berani kerja keras, belajar, siap bermodal, siap rugi, dan inovatif. Setidaknya lima dasar itu sudah ada dalam diri kita sebelum terjun ke dunia bisnis."

On Cloud Nine (EL REY Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang