15. Permintaan Kerjasama

273 47 28
                                    

Hallo!

JANGAN LUPA FOLLOW DAN VOTE DULU, LALU RAMAIKAN TIAP PARAGRAF DENGAN KOMEN KALIAN

Tolong bantu promosiin cerita ini dengan cara ajak teman-teman kamu untuk baca, 'ya!

Koreksi kalo ada typo yaa

Kalau ada yang mengganjal di pikiran kalian tentang cerita ini, tanyakan saja.

Selamat membaca dan semoga suka:)

—Happy Reading—

Ayana menuruni tangga kamarnya seraya menatap jam dinding di ruang tamu yang menunjukkan pukul 8 malam. Ia sudah siap dengan kaos putih polos dengan balutan kemeja flanel yang kancingnya dibiarkan terbuka dan juga celana panjang hitam, serta tas selempang yang menjadi pelengkapnya.

Setelah membuka pintu dan hendak keluar dari rumahnya, langkah Ayana terhenti ketika tepat di depannya, berdiri 3 orang yang ia kenali. Dua di antaranya tengah tersenyum kepadanya.

Ayana menatap Kala, Lea, dan Raga secara bergantian dengan sebelah alis yang terangkat. "Kalian ngapain?" tanyanya.

"Hai, Na. Maaf ya kalo ke rumah lo nggak bilang dulu. Ada sesuatu penting yang mau gue omongin. Jadi, boleh kan gue sama kedua sahabat gue ini bertamu sebentar ke rumah lo? Atau kalo lo emang sibuk dan nggak boleh, nggak papa. Lain kali aja kalo kehadiran gue mengganggu," ucap Lea panjang lebar dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya.

Ayana terdiam sebentar. Sebenarnya ia ada urusan. Namun rasanya tidak sopan jika orang-orang dihadapannya ini sudah repot-repot datang, tapi ia malah mengusirnya.

"Masuk," ucap Ayana yang akhirnya mempersilakan.

Lea bersorak senang dalam hati. Dan dengan diikuti Raga dan Kala, Lea masuk ke dalam rumah Ayana yang sama sekali belum pernah ia kunjungi sebelumnya.

Satu hal pertama yang menjadi pusat perhatian Lea ketika memasuki rumah Ayana adalah, sebuah foto keluarga yang terpajang rapi di dinding. Lea menatapnya tanpa berkedip ketika sebuah wajah yang ia kenali ikut hadir dalam foto itu. Sosok pria yang Lea tahu sebagai pengacara yang menangani kasus bundanya.

"Na, itu siapa?" tanya Lea yang membuat Ayana menghentikan langkah dan membalikkan badan.

"Orang tua dan kakak gue," jawab Ayana seraya melirik foto yang ditunjuk oleh Lea.

Lea terdiam sebentar dengan mulut terbuka menampilkan ekspresi tak menyangka. "Jadi, laki-laki itu ayah lo?" ucap Lea kaget.

Ayana menganggukkan kepala. Ia tahu, Lea pasti mengenali ayahnya. "Ayah gue itu, yang nanganin kasusnya Tante Naura, kan?" ucap Ayana yang langsung dijawab anggukan oleh Lea.

"Kebetulan banget, Na. Karena lo anaknya Om Wijaya, gue jadi semakin yakin," ucap Lea dengan binar di matanya.

"Yakin?" beo Ayana tidak mengerti.

Lea maju mendekati Ayana dengan wajah penuh harapan. "Gue jadi yakin, buat ngajak lo kerjasama!" lanjut Lea membuat Ayana terdiam.

"Gue mohon sama lo, Na, mau ya?" ucap Lea dengan tatapan memohon. Sedangkan Raga dan Kala hanya diam menyaksikan itu.

Ayana masih setia diam dengan berbagai kebingungan yang sekarang mengisi kepalanya. Jujur saja, Ayana tidak tahu apakah keputusan yang akan diambilnya. Lea mulai memegang tangan Ayana, berharap Ayana mau menerima permintaan kerjasamanya itu.

"Please, Na. Gue mau semua ini cepet selesai. Tadi siang, ayah gue hampir aja terbunuh karena pembunuh itu, dan sekarang ayah gue lagi di rumah sakit. Meskipun nggak parah banget, tetep aja gue takut."

"Gue takut kehilangan orang yang gue sayang lagi, Na. Saat ini, cuma ayah satu-satunya keluarga yang gue punya. Lo pasti bisa ngerasain apa yang gue rasain kan, Na?" lanjut Lea.

Ayana terdiam seraya membalas tatapan Lea yang seolah menaruh harapan besar pada dirinya. Lea berada pada posisi yang sama seperti dirinya. Lea hanya punya ayahnya, sedangkan Ayana hanya punya ibunya. Mereka sama-sama telah merasakan kehilangan seseorang yang berharga. Mereka juga memiliki ketakutan yang sama. Ketakutan akan kehilangan lagi nantinya.

"Na, kita punya tujuan yang sama. Kita tahu kalo lo pasti lagi nyari tahu siapa pembunuh itu. Ayo Na, kita kerjasama, biar semuanya jadi lebih mudah." Raga akhirnya ikut bicara karena Ayana masih diam meskipun sekarang Lea tengah memeluk gadis itu.

"Lo nggak bisa sendirian, lo juga butuh orang lain," tambah Kala.

Ayana tidak membalas pelukan Lea. Ia melirik foto keluarganya. Semua kenangan itu kembali terputar. Namun, semua kebahagiaan pada kenangan itu lenyap seketika saat Ayana mengingat kenangan buruk tentang kehilangan di antara kenangan menyenangkan itu. Amarah dalam dadanya kembali membara. Ingin rasanya ia membalaskan dendam atas beberapa nyawa yang sudah hilang itu. Ia ingin sekali melampiaskan amarahnya pada si pelaku. Tapi, dendam hanya akan menghancurkan diri Ayana sendiri. Maka dari itu, Ayana berusaha memaafkan semuanya. Ia hanya ingin mendapatkan keadilan. Ia ingin si pembunuh itu dihukum dengan seadil-adilnya.

"Na, tolong bantu gue ya?" lirih Lea.

"Gue akan bantu sebisanya," jawaban Ayana membuat Lea melepaskan pelukannya dan menatap wajah Ayana antara senang dan tidak percaya.

"Lo serius kan?" tanya Lea memastikan.

Ayana mengangguk tanpa melepaskan pandangannya dari Lea yang menatapnya dengan tatapan sulit diartikan. Dalam hati, Lea ingin memeluk Ayana lebih lama, mendengarkan keluh kesah Ayana, dan berharap Ayana menganggapnya sebagai sahabat baik, atau setidaknya seorang teman. Lea tahu bahwa Ayana tidak baik-baik saja, setelah kehilangan menyapanya. Jadi, Lea juga ingin merasakan bagaimana rasanya bersahabat dengan sesama perempuan.

"Makasih ya, Na. Makasih banget," ujar Lea dengan senyum manisnya. Sedangkan Ayana hanya mengangguk pelan.

"Tapi, gue bener-bener nggak tau siapa pembunuh misterius itu," ucap Ayana jujur.

"Iya, kita percaya sama lo. Kalo ada yang mau lo ceritain, jangan sungkan ya," balas Lea tulus. Sekilas, Ayana merasa dejavu dengan kalimat yang Lea katakan.

"Makasih," ucap Ayana singkat.

Raga menelisik penampilan Ayana, kemudian mengerutkan dahinya. "Kayaknya lo mau pergi ya?" tanyanya.

"Iya."

"Kalo boleh tau, lo mau kemana malem-malem gini?" tanya Lea hati-hati. Ia takut jika Ayana merasa bahwa ia terlalu banyak tanya, apalagi sampai mengganggu privasi gadis itu. Namun, jawaban Ayana nyatanya mampu menghilangkan pikiran negatifnya itu.

"Ke sekolah," jawab Ayana.

"Lo ngapain ke sekolah malem-malem gini? Mau uji nyali?" tanya Raga dengan nada bercanda diakhirnya.

"Bilang aja, Na, siapa tau kita bisa bantu," sahut Lea yang melihat Ayana tampak ragu untuk menjawab.

"Gue mau ngambil kamera yang gue taruh di rooftop," balas Ayana pelan.

Lea terdiam sebentar, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oh, gitu. Tapi, kenapa nggak besok pagi aja? Emangnya lo nggak takut ke sekolah sendirian?" tanya Lea.

"Lebih baik sekarang, karena gue takut ada yang tahu tentang kamera itu. Lagian, besok anak-anak pada berangkat. Takutnya malah ada yang ngikutin gue karena penasaran," jawab Ayana yang memberi efek tidak biasa bagi Lea, Raga, maupun Kala karena baru pertama kali mendengar Ayana berbicara sepanjang ini.

"Lo pasti naro kamera itu karena mau mantau pergerakan pembunuh itu ya?" tebak Lea yang dijawab anggukan oleh Ayana.

"Na, kita boleh ikut nggak?" tanya Raga.

"Iya, Na, kalo nanti lo kenapa-napa gimana?" sambung Lea khawatir.

Ayana menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan itu.

"Boleh. Tapi kalian harus hati-hati, karena deket sama gue bisa jadi sumber bahaya buat kalian."

tbc—

Spam "next" untuk lanjut👉

Terima kasih, orang-orang baik<3

The Mysterious Killer (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang