Bab 22 - Mau Terbuka

59.4K 5K 128
                                    

Happy reading!

Don't forget to vote & comment😍✨

Sore ini aku ditelepon oleh Sindi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sore ini aku ditelepon oleh Sindi. Sepulang kerja, dia langsung menuju ke mi ayam Pak Bejo dan menyuruhku ke sana. Sekarang, aku sedang duduk di depannya, menatapnya dengan tatapan kagum bercampur takjub plus heran. Dia benar-benar kuat makan mi ayam sampai tiga mangkuk! Dan ini mangkuk ketiga yang sedang dia makan.

"Kenapa lo cuma lihatin gue? Lo nggak laper?" tanya Sindi, kemudian menyeruput kuah mi ayam.

Aku menggeleng. "Nggak. Cuma lihat lo makan aja gue udah kenyang."

Sindi tergelak. Dia lanjut menyantap mi ayamnya, kemudian meminum segelas es teh hingga tandas. Aku memperhatikannya yang tampak puas, terlihat kenyang sambil mengusap perutnya. Duh, kok aku malah kesal melihatnya.

"Cepet bagi infonya," pintaku. "Jadi, itu obat apaan?"

"Sebentar, mi ayamnya belum turun. Kasih gue waktu buat menikmati rasa kenyang ini," ujarnya dengan santai.

Aku mendengkus, menatapnya dengan raut sebal.

Sepertinya Sindi hanya bercanda, karena setelahnya dia mengeluarkan obat yang sempat aku bawa, menunjukkannya padaku.

"Yang ini," tunjuk Sindi ke obat pertama. "Obat tidur."

Ah, aku tidak terlalu kaget kalau ini. Dipta memang selalu meminum obat itu sebelum tidur, dia terlihat kesulitan tidur, entah apa alasannya sampai dia tidak bisa tidur.

"Kalau yang warna biru ini," tunjuk Sindi ke obat kedua. "Ini obat penenang."

Aku mengerjap, bingung. "Jadi?"

"Biasanya obat-obat kayak begini diresepin sama psikiater." Sindi terdiam sejenak, dia menatapku lamat-lamat. "Ay, lo ... nggak lagi ada masalah mental illness kan? Lo baik-baik aja?"

Seharusnya aku sudah menyadari sejak awal, tingkah Dipta memang terkadang aneh. Namun, sebelumnya aku tidak terpikirkan sampai ke sana.

"Kalau lo punya masalah mental illness, jangan ngonsumsi obat sembarangan, ya. Ke psikiater aja kalau butuh obat, sekalian konsultasi."

Entah mengapa aku malah ingin tertawa, tiba-tiba merasa dibohongi oleh Dipta. Mengapa sejak awal dia tidak jujur padaku? Mengapa harus memberi tahu kalau itu vitamin? Aku malah berpikir negatif kalau begini, dia tidak mau terbuka padaku, dan itu akan menjadi pertimbangan besar apakah aku akan mengakhiri sampai di sini kedekatanku dengan Dipta atau melanjutkannya.

"Thanks, ya," ucapku kepada Sindi seraya tersenyum.

Sindi mengangguk. Tiba-tiba saja dia mengelus tanganku, menatapku dengan sorot iba. "Makasih juga mi ayam sama es tehnya. Yang kuat, Ay, semangat terus."

Sontak, aku tertawa. "Haha. Bukan gue kok."

"Bukan lo? Syukurlah kalau gitu."

Aku beranjak dari duduk. "Sin, gue balik duluan."

Trapped by Berondong (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang