TARA
Imel membantu gue membawa kardus-kardus berisi kue ke dalam rumahnya. Gue baru tahu, ternyata yang lamaran itu kakaknya, bukan dia.
Gue kaya gini langsung berasa deja vu, soalnya pernah beberapa tahun lalu, gue nganterin Ibu anter kue, eh ternyata ke rumah mahasiswa gue.
Asli, ternyata gue udah setua itu ya?
Gue yakin, ini kakaknya Imel aja umurnya pasti di bawah gue.Ketika semua kue sudah gue angkut, gue lihat Ibu mengobrol dengan salah satu temannya. Gue ingat, Bude Yayu, gak tau kenal dari mana soalnya Bude Yayu gak jualan, padahal rata-rata temennya Ibu itu pedagang di pasar.
"Bu, mau langsung pulang?" tanya gue menghampiri Ibu dan Bude Yayu.
"Ini Tara?" tanya Bude Yayu, gue tersenyum dan mengangguk.
"Ya ampun, kamu udah gede banget yaa! Tinggi banget lagi!" ucap Bude.
"Bukan gede banget lagi, Mbak, tua dia tuh!" ceplos Ibu, bikin gue nyengir.
"Jangan pulang laah, ikutan acara aja, Bude udah lama gak ngobrol sama Ibu-mu, Tar,"
"Yaudah, Ibu di sini aja, nanti kalo beres Tara jemput ya?" kata gue, gak mungkin gue betah di tempat ginian, yang ada Ibu pasti bakalan nyindir-nyindir gue untuk kapan bikin acara kaya begini juga.
"Lha kok balik? Udah Tara juga di sini aja, gak enak tau anter jemput gitu, ini Sabtu, kena macet kamu di luar,"
"Tuhh, dengerin omongan Bude Yayu!" sahut Ibu.
Karena dipaksa demikian, jadilah gue menurut. Kami masuk kembali ke bagian dalam rumah. Sadar diri kalau bukan siapa-siapa, gue memilih diam di dapur, agak ke belakang, soalnya Ibu sama Bude Yayu ngobrol di ruang keluarga gitu, sedangkan acaranya udah mau mulai.
Bosen, gue keluar dari dapur melalui pintu belakang, halaman belakang rumah ini sempit, gak ada jalan keluar juga karena tembok belakang, kiri dan kanan langsung menempel dengan rumah orang. Khas rumah-rumah di perkomplekan lah yaa.
Halaman belakang hanya berisi mesin cuci, dan rak jemuran yang dilipat lalu disandarkan ke dinding. Gue melihat sumur bor juga, jadi langsung aja gue duduk di situ, sekalian membakar rokok.
"Pak Tara?" gue menoleh ketika nama gue dipanggil, Imel datang menghampiri gue dengan sepiring kecil kue-kue bikinan Ibu. Ada 4 jenis.
"Kenapa Mel?" tanya gue.
"Ini Pak, saya di suruh Mama buat suguhin Pak Tara," katanya, meletakkan piring tersebut di samping gue, dan ternyata di tangan kirinya ia membawa segelas air mineral.
"Makasi yaa, padahal gak usah repot,"
"Gak apa-apa Pak, gak repot kok," ucapnya kalem.
Gue mengangguk, merhatiin dia dari jarak deket gini, gue baru sadar dia cantik juga, manis. Tapi, gue sudah tidak tertarik lagi dengan wanita.
Bukan, bukan gue mendadak jadi gay. Gue cuma gak ada minat lagi untuk main perempuan seperti dulu. Dan satu-satunya wanita yang mau gue seriusi, ternyata malah pergi. Tuhan jahat sama gue.
"Eh iya Mel, ini acara beresnya kapan ya?" tanya gue, memastikan sampai kapan gue jadi tahanan dapur begini.
"Ya belum tahu Pak, acaranya aja belum mulai, masa udah ditanya kapan beres?"
"Oh iya, sorry!"
"Yaudah Pak, saya balik lagi ke dalem ya?"
"Gak mau di sini aja temenin saya?" tanya gue dan seketika mukanya Imel mendadak tegang.
Gosh! Asli, gue lagi gak menggoda, itu pertanyaan paling tulus kayaknya yang keluar dari mulut gue. Beneran cuma pengin ditemenin, bukan yang lain-lain, kenapa si Imel tegang gitu dah?
"Emm, na-nanti ya Pak? Kan sa-saya harus gandeng Kak Lia dulu," jawabnya agak sedikit terbata, bikin gue ngerasa bersalah.
"Okee, makasi Mel!"
Imel akhirnya berbalik, masuk ke bagian dalam rumah. Gue sendiri lanjut menghisap rokok yang sudah gue bakar ini. Kali ini ditemani sosis solo, bakwan udang, sus buah dan kue lapis cokelat. Bikinan Ibu, jadi gue bisa jamin rasanya enak-enak.
Seperti biasa, saat gue sendirian, gue pasti buka HP, masuk ke gallery dan tersenyum kepada foto-foto gue bersama Merida, foto-foto yang jadi bukti kalau cewek itu pernah ada, pernah jadi milik gue sebelum akhirnya semesta mengkhianati kami berdua.
Setelah berbulan-bulan dari kepergiannya secara resmi, gue masih tetap sama, saat dua tahun lalu dia tiba-tiba menghilang dari hidup gue. Sampai detik ini, gue masih menyapih rasa sakit ini. Berharap gue bisa berdamai dengan semuanya tapi nyatanya tidak.
Rasa sakit akan kepergian Merida mungkin saat ini sudah jadi teman akrab gue, tapi untuk mengikhlaskan semuanya? Gue gak pernah rela.
Karena gue tahu, bagian terbaik di hidup gue yaitu saat gue menghabiskan waktu gue bersama Merida. Jadi gue gak akan mungkin bisa mengikhlaskan segalanya.
"Pak Tara!" gue tersadar dari lamunan, rokok di tangan gue bahkan sudah habis terbakar sampai ke bagian filter-nya.
Gila, berapa lama gue bengong?
"Udah kelar acarnya Mel?" tanya gue ketika Imel mendekat, duduk berjarak satu meter dari gue.
"Baru acara inti, Kakak udah turun, udah ketemu Kak Randy sama keluarganya," jawab Imel menyebutkan nama-nama orang yang gak gue kenal.
"Ohhh, terus kapan nih saya bisa balik?"
"Ya terserah Pak Tara sih,"
"Salah, bukan terserah saya, terserah Ibu saya!"
"Ibunya Pak Tara itu Bu Andini?" tanyanya, gue pun mengangguk kecil.
"Draf kamu gimana Mel? Kapan mau maju sidang proposal?" tany gue.
Asli sih, gue biasanya paling males bahas kerjaan di luar jam kerja, cuma ya gue bingung harus ngobrolin apa lagi. Mumet. Gak punya topik obrolan.
"Masih revisi Pak, sabar dong heheheh, kan lagi kumpulin bahan, Pak,"
"Ya saya sih sabar, cuma kekejar gak itu waktu penelitiannya?"
"Emm, doain aja ya Pak?"
"Sip, saya sih maunya semua anak bimbingan saya cepet kelar kok, cepet lulus,"
"Kenapa tuh Pak?" tanya Imel.
"Ya biar gak nambah-nambahin beban pikiran dong!"
"Ohh, siap Pak, siap!"
"Kamu kan udah satu kali revisi dari saya ya? Kalau draf revisi kamu balikin terus saya oke langsung sidang proposal ya?"
"Siap Pak, nanti malem sama besok saya coba beresin deh, udah ada sih data-datanya, tinggal dimasuk-masukin sama dikutip," jelasnya.
"Good!"
"Kalau beres hari Senin saya anter ke Pak Tara ya?" katanya dan gue mengangguk, seneng kalau dapet anak bimbingan yang semangat begini.
"Iyaa, Senin saya seharian di gedung MIPA kok, kalau gak ada di ruang dosen ya berarti lagi ngajar,"
"Oke Pak, ruangan yang bareng Pak Daru kan?"
"Iya," jawab gue singkat.
"Oke Pak, kali aja revisiannya bisa sekalian sama Pak Daru," ujar Imel semangat.
Gue mengangguk.
"Hari Senin ya Pak!"
Lagi, gue mengangguk. Karena bingung mau ngobrolin apa lagi, jadi lah gue memutuskan untuk membakar rokok baru. Rokok yang sebelumnya kan gak gue nikmati dengan benar.
Dah lah, ngudud aja dulu!
*****
TBC
Thank you for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoPs: tadi pagi udh update, skrng update lagi, baik kan aku? 🤣
Pendek dulu aja chapernya, biar aku gak bosen ngetik banyak2, dan kalian jg semoga gak bosen bacanya ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Ranjang Usang Pak Dosen
RomanceSequel Tante Mer (Tante Mer available on gogle play) Imelda Prajna adalah seorang mahasiswi tingkat akhir. Ketika ia harus mengerjakan skripsi untuk mendepatkan gelar sarjana sains di belakang namanya, ia berhadapan dengan dua dosen killer yang pern...