41. Bohong

1.1K 191 23
                                    

IMEL

Mas Tara mengajakku makan malam, tapi aku gak mau keluar, gak tau kenapa betah banget aku di sini, main sama Missy dan Chamsae. Sambil nonton juga sih sama Tara.

"Yaudah order makanan ke sini aja ya?" tawarnya, aku mengangguk.

"Iya boleh,"

"Kamu mau makan apa?"

"Apaan ya? Yang berkuah deh,"

"Kuah? Ada soto daging, soto mie, rawon, capcay kuah, sup asparagus, sup udang, sop buntut atau iga, banyak nih yang berkuah, mau apa?" buset, banyak banget ngasih pilihannya.

"Kalau pilihannya sebanyak itu malah pusing, Mas," kataku.

"Oh iyaa, terus mau diperkecil kaya apa nih? Kuah berwarna? Atau kuah bening? Atau antara sayur dan daging?"

Gini ya ngobrol sama dia, sistematis.

"Capcay kuah aja," kataku memutuskan satu jenis makanan, kelamaan kayanya kalau harus diurutin dulu.

"Pinterrr! Makan sayur yang banyak kamu," katanya membuatku tersenyum.

Tara pun sibuk dengan ponselnya, memesan makanan. Aku yang duduk di sofa merosot, pengin duduk di karpet aja, lebih enak soalnya Missy dan Chamsae ada di bawah juga, gak naik sofa.

"Ayok mau nonton apa lagi sekarang?" tanyanya.

"Tadi aku yang milih film, sekarang kamu lah," kataku.

Baru saja kami menonton film Me Before You, nangis aku. Tapi kata Tara itu ending yang paling realistis menurutnya.

Susah lah, cowok mah mikirnya pake logika, kaga pake hati.

"Kamu mau genre apaan?" tanyanya.

"Ya apa aja bebas, kan pilihan kamu,"

Tara gak menjawab dia langsung sibuk memilih film lalu berhenti di salah satu judul.

"Perfume?"

"Udah pernah nonton belum?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Bagus?" tanyaku.

"Lumayan, aku nonton dan baca novelnya gara-gara orang," jelasnya.

"Kok bisa?"

"Pernah di cafenya Ardra, di sebelah ada cowok serius banget baca novelnya, terus karena aku suka baca ya nanya dong sama dia, dan dia jelasin, dia baca itu karena novel perfume jadi bahan thesis-nya dia,"

"Waah?"

"Yap, pas aku tanya judulnya apa, dia bilang Prefeksionisme si karakter utama namun bukan protagonis,"

Aku mangut-mangut, antara ngerti dan gak ngerti sama yang beginian.

"Kenapa kamu?" tanyanya.

"Aku tuh sempet cerita ke anak-anak, soal kita yang beda,"

"Beda apanya?"

"Ya beda semua, beda umur, beda tingkatan pendidikan, beda generasi, banyak deeh!"

"Then?"

"Ya takut aja kalau ngobrol gak nyambung, kalau gak sepaham, gitu-gitu deh,"

Tara terlihat bingung, ia mendekat turun ke karpet bersamaku lalu merangkulku dengan sebelah tangan, seperti menenangkan.

"Kan di situ fungsinya kompromi, aku juga masih banyak hal yang belum aku paham. Santai aja, kita kan manusia ya? Terus belajar akan sesuatu yang baru, dan beradaptasi dengan sesuatu yang sudah ada, simpel," katanya.

Ranjang Usang Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang