32. Tamu

874 214 25
                                    

TARA

Gue bengong liat banyaknya tumpukan dokumen di meja gue. Anjir, gak ada Tiara gak ada yang bantuin gue pisah-pisahin dokumen. Lha ini apa aja yang numpuk dah?

Orang sekre nih kebiasaan deh, main brek-brekin kerjaan di meja.

Gue mengambil tumpukan dokumen itu, membawanya ke meja tengah, meja buat menerima tamu, karena lebih luas aja, biar gue gampang sortir semua dokumen ini.

Hanya membaca bagian "perihal" di surat yang masuk, dan baca headline dokumen, gue pun memisahkan semuanya sesuai code yang gue buat sendiri. Satu demi satu sampai akhirnya tumpukan dokumen tadi mulai menipis.

Sayup-sayup gue mendengar pintu ruangan diketuk, jadi gue tinggalkan keheboan meja ini untuk membukakan pintu.

Ketika terbuka, gue kaget, ada 3 orang anak Biologi, gue kenal mukanya karena pernah ngajar mereka, tapi mereka bukan anak bimbingan gue, dan yang satu juga kayanya masih ikut kelas Aquaculture gue kemaren. Bikin gue bertanya-tanya, ada perlu apa mereka kemari?

"Pak kita boleh masuk gak?" tanya yang tengah, gue lupa lagi namanya siapa.

"Oh iya, silahkan... tapi sorry berantakan, lagi banyak kerjaan," ujar gue.

Mereka bertiga pun masuk, gue persilahkan mereka duduk di kursi yang kosong, karena ada satu kursi yang berisi surat-surat gue.

"Ada apa nih?"

"Emm, ini Pak, kita mau ngomongin sesuatu, tapi bukan soal kuliah," yang tengah ngomong lagi, seperinya dia perwakilan yang dua deh.

"Okee, boleeh. Tapi sorry, kalian namanya siapa ya? Saya lupa,"

"Saya Didi, Pak. Masih semester 6. Ini Prima sama Wira, semester 8," Didi memperkenalkan diri dan menunjuk kiri dan kanannya.

"Ohh okeee. Terus... mau bahas di luar kuliah, bahas apa?" tanya gue, asli gue gak punya clue ini anak 3 biji ngapain ke ruangan gue.

"Ini... ini soal sahabat kita Pak, temen sekelas saya," ujar Didi.

"Sahabat kalian? Siapa?"

Didi terlihat bingung, ia menoleh ke kiri dan ke kanan, namun kedua orang yang ada di sisinya hanya saling menyikut.

Gue lihat Didi menarik napas panjang.

"Kalian mau minum? Minum yaa?!" gue bangkit, membuka kulkas yang tersedia di ruangan ini, lalu mengambil 4 buah teh kotak, memberikan pada mereka masing-masing satu dan satunya buat gue.

"Ayok minum dulu," titah gue, ketiganya langsung menurut.

Ya allah, coba aja Missy sama Chamsae senurut mereka, tentram hidup gue.

"Nah ayok, siapa nih yang mau cerita?" tanya gue. Dan langsung terlihat Prima menyikut Didi.

"Pak, kita bertiga nih di Biologi punya geng, namanya Himabo," ujar Didi.

"What? Himabo? Itu kan nama himpunan?"

"Ihh himpunan tuh Himabio, Pak. Ini plesetannya," ujar Prima.

"Penting gak sih woy bahas Himabo? Langsung aja ke intinya," ucap Wira tak sabar.

"Iya sih, bukannya to the point, lu malah bawa-bawa Himabo Di," sahut Prima.

"Lu juga samanya ya kampret!" seru Wira.

"Udah-udah, bebas kalo sama saya, kalian mau cerita apa aja atau langsung intinya, boleh kok. Tapi... sorry banget ini, saya lagi banyak kerjaan, kalau sore kalian ke sini lagi gimana?"

"Gak bisa Pak, harus sekarang! Ini penting!" seru Wira, kekeuh.

Gue tersenyum, mencoba mengembangkan kesabaran gue sebesar mungkin.

"Okeee, yaudah kalau mau sekarang, jadi apa nih?"

"Imel hamil anak Pak Tara!" seru Prima cepat sekali bahkan gue hampir tak mendengar ucapannya.

"Pardon?" kata gue pelan, masih agak syok, takut salah denger.

"Nah itu Pak, Imel, sahabat kita, anak terbaik di geng himabo! Dia hamil Pak!" ujar Didi, ia sepertinya sedang menguatkan diri.

Gue diam. Bingung mau respon apa. Tapi pikiran gue membawa gue ke kenangan dua bulan lalu, mungkin lebih. Saat gue dan Imel ada di penginapan ketika kami berdua terjebak gempa.

Gosh! Serius Imel hamil?

"Tapi.. tapi Imel belum berani bilang orang tuanya, Pak. Kita suruh dia ngomong sama Pak Tara aja dia gak mau. Terus kaya ngomong my body my choice gitu, Pak. Ngeselin dia Pak," jelas Wira.

"What? Maksudnya my body my choice?"

"Dia kepikiran buat aborsi, Pak. Ya kita semua gak izinin dia lah. Kita semua bandel, tapi kita bukan pembunuh," ujar Prima.

"Aborsi? What? No!!" seru gue, sumpah ini gue masih syok, gue gak bisa merespon banyak.

"Makanya kita ke Pak Tara, kali gitu Pak Tara bisa ngobrol sama Imel dan yakinin dia. Terus temenin dia bilang ke orang tuanya," usul Didi.

Gue diem, gak menyahut.

"Pak Tara mau tanggung jawab kan?" tanya Didi.

Gue mengangguk pelan.

"Bantuin kita Pak, bantuin kita selamatkan bayi di perut Imel, anaknya Pak Tara kan itu tuh," ujar Prima.

Lagi, gue mengangguk. Entah bagaimana, gue percaya omongan 3 orang ini.

Kalau Tara yang dulu, mungkin akan menghindar. Mencari kebenaran dulu lewat koleksi gula dan tusuk gigi gue. Atau bahkan bisa saja menuduh mereka yang melakukan lalu mengkambingdombakan gue.

Eh kok kambing domba?

Kambing hitam maksudnya.

Ya, itu mungkin Tara yang dulu.

Tapi gue sekarang, gue percaya sama apa yang mereka bilang. Karena gue tahu apa yang sudah gue lakukan dan gue juga tahu Imel tipe cewek yang gimana.

Dan harus. Harus sekali!

Gue harus bertanggung jawab.

****
****

TBC

Thank you for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo

Ps: chapter ini pendek sekali, maaf yaaa 😘
Tp aku ndak mau double up, sengaja biar kalian penasaran hahahaha #ketawajahat

Pss: aselinya mah aku blm nulis lagi ✌️

Ranjang Usang Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang