34. Digidaw

1.1K 208 49
                                    

IMEL

Aku masih gemeteran. Sejak tiba di rumah, lalu liat Pak Tara ada di ruang tamu, dan Papa memasang raut marah di wajahnya, aku beneran gak bisa tenang.

Bahkan sekarang, Mama dan Papa membawaku ke kamar untuk bicara langsung. Mau ngompol aku rasanya.

"Itu yang dia omongin bener, Mel?" tanya Papa.

Aku gak bisa jawab sumpah! Bingung aku mau ngomong apa. Akhirnya ya aku cuma bisa nangis. Lalu Mama pun mendekat, memelukku.

"Mel, ayolah, bicara, kalau gak mau ngomong ya gimana Papa sama Mama tahu benernya gimana?" tuntut Papa.

Tangisanku makin kencang dan Mama pun mempererat pelukannya.

"Udah ah Pah, jangan dipaksa anaknya,"

"Ya masa mau kaya gini? Mau diberesin gak?!" seru Papa.

Aku bingung, sumpah aku bingung banget ini. Kenapa sih Pak Tara segala dateng ke rumah? Dia tau dari mana coba? Kan kalau gini jadi runyam semuanya.

Huh!!

"Mel, jawab Papa, bener apa engga? Cuma jawab doang satu kata, bener apa engga, susah banget sih Mel?"

Aku terus terisak, gak bisa ngomong aku, karena sesenggukan membuat tenggorokanku tercekat.

"Kamu gak ngomong, cuma nangis gini berarti Papa simpulin yang diomongin Tara di depan tadi bener ya Mel?" ucap Papa.

Aku gak menjawab, menyembunyikan wajahku di pelukan Mama.

"Kamu dipaksa Mel sama dia apa gimana? Papa butuh kejelasan Mel! Gak bisa Papa cuma dengerin cerita dia doang!"

"Pa, udah, anaknya jangan dipaksa, biarin tenang dulu,"

"Sampe kapan? Terus itu Tara di depan mau diapain? Kita sebagai orang tua ya harus ambil keputusan Ma!" ucap Papa.

"Udah Papa keluar aja, suruh Tara pulang, bilang kita mau ngobrol sama Imel dulu, rapat keluarga dulu,"

"Kalo dia kabur gimana?"

"Gak mungkin Pa, dia dateng ke sini ngasih tau kita aja itu udah bukti dia bakal tanggung jawab, kalau dia mau kabur ya ngapain dia kesini?" ujar Mama.

"Yaudah, Papa keluar, Mama tenangin tuh Imel, abis Tara pergi kita ngobrol, kalo perlu suruh Lia sama Rendy ke sini, biar sekalian,"

"Iya, Pa, iya," hanya itu sahutan Mama.

Begitu Papa keluar, Mama melepas pelukannya, duduk di kasur bersamaku.

"Dek, kamu ngomong atuh, kamu diem-diem gini mah mana mama sama papa ngerti?" ucap Mama sambil mengusap air mataku.

"Ma-maaf, Imel, Imel ngecewain Papa sama Mama," kataku sambil terisak.

"Kenapa gak bilang? Kenapa Mama sama Papa harus tau dari orang?"

"Yaa, ya Imel kan malu, Ma,"

Kulihat Mama menarik napas panjang, Mama terlihat tenang, gak kaya Papa yang ngomong aja udah pake nada tinggi.

"Ya mau malu segimana juga kan kita tetep orang tua kamu, Mel. Mama gagal ya jadi Ibu yang baik sampe kamu gak berani cerita sama Mama? Sampe kamu milih cerita sama Dini dan lain-lain dibanding Mama?"

"Gak gitu, Ma,"

"Ya terus apa?"

"Imel gak tau kalau bakal hamil,"

"Kamu dipaksa sama si Tara itu?" tanya Mama, aku menjawab dengan gelengan kepala. Ya, meskipun aku mabuk, dan Pak Tara mabuk, aku yakin gak ada unsur pemaksaan dari apa yang terjadi waktu itu.

Ranjang Usang Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang