36. Sayin' Goodbye

984 205 24
                                    

TARA

Gue menghembuskan napas panjang. Anjirrr, enteng banget kepala gue!

Berbagi kasur yang sempit ini, pas gue menoleh ke samping, Imel sedang memejamkan matanya.

Lha? Dia tidur apa gimana dah?

"Mel?" panggil gue, dan dia ternyata langsung menoleh, matanya terbuka.

"Kenapa?"

"Gak, kirain tidur,"

"Lagi pengin diem aja dulu, huuhhh," ucapnya sedikit terengah-engah, lalu terpejam lagi.

Gue mengangguk, ikut memejamkan mata juga sebentar, sambil berbalik menyamping, biar bisa sekalian peluk dia gitu, eh tapi Imel sedikit mundur, jadi gue mengurungkan niat barusan.

"Sorry," ucap gue pelan.

Imel hanya menggeleng pelan,

"Engga kok, gak apa, akunya kaget, belum biasa,"

Gue mengangguk kecil, mengerti. Lalu, Imel lah yang mendekat dan memeluk gue.

Mengatur posisi tangan supaya Imel berbantalkan lengan gue, gue menghirup aroma rambutnya. Enak, wanginya lembut.

Kami sama-sama diam, dalam hati gue berpikir. Bisa kah gue seperti ini tanpa memikirkan Merida?

Gosh!

Gue jahat sih kalau gak bisa.

Memilih bertanggung jawab, masuk ke hidupnya Imel, artinya gue harus melepaskan Merida segala kenangannya.

Bisa gue rasakan napas Imel makin teratur, dia tidur kali ya? Jadi gue inisiatif menarik selimut dengan kaki, untuk menutupi tubuh kami.

Ini kamar dingin banget soalnya.

Setelah selimutan, gue mempererat pelukan gue ke Imel, menenggelamkan wajah gue di rambutnya.

Menarik napas dalam-dalam, gue meyakinkan diri kalau gue bisa.

Di suratnya Merida, dia pengin gue melanjutkan hidup. Kata Ardra, kalau sama Imel gue punya masa depan.

Well, mungkin ini jalan yang sudah diatur semesta untuk gue. Meskipun sedikit gue sesali karena ini semua terjadi setelah Ibu gak ada.

Padahal, Ibu pasti seneng tau kalau gue mau nikah, apalagi tahu kalau gue bakal punya anak.

Memikirkan itu, untuk kesekian kalinya air mata gue menetes. Dan gue menyadari satu hal.

Selama ini gue gak pernah nangis, tapi sekarang, gue gampang sekali mengeluarkan berbagai macam emosi.

Imel bikin gue jadi manusia. Bukan heartless robot yang kaku seperti gue sebelum-sebelumnya.

Akhirnya, gue pun ikut memejamkan mata, kalau di rasa, ternyata gue lemes juga euy, ngantuk.

*****
*****

"Bangunnn!" mata gue terbuka ketika mendengar seruan itu, bahu gue bahkan sedikit diguncang.

"Hemm? Kenapa?" tanya gue pada Imel, ia sudah berpakaian lengkap.

"Udah malem, aku udah dicariin Papa, anterin aku pulang dong!" pintanya.

"Ohh, oke, siap-siap!"

Gue langsung bangun, memunguti pakaian gue yang bertebaran lalu memakainya.

Pas gue bangun, Imel menarik lepas sprei yang terpasang di kasur.

"Kamu ngapain?" tanya gue.

"Ganti sprei lah, kasian amat Dini tidur di sini terus spreinya bekas kita?"

Ranjang Usang Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang