•••
Kondisi Meera sudah lumayan membaik. Kini, ia tinggal di rumah kediaman Mama dan Papanya. Pun kadang, Fabian juga ikutan menginap di sana. Namun, setiap ingin tidur Meera selalu saja teringat dengan kejadian yang menimpanya hingga janin yang ia kandung harus terkena imbasnya. Meera belum bisa melupakan, tentang janin yang dikandungnya. Rasanya sulit. Memang harus ikhlas. Karena, apa yang sudah dititipkan lalu diambil kembali pasti akan ada penggantinya.
Meera meyakinkan kata-kata yang terucap dari bibir suaminya. Semoga saja, apa yang Fabian katakan akan terwujud lagi.
Meera memiringkan badannya menghadap Fabian. Lelaki itu sudah tertidur belum lama setelah pulang dari kantor Papanya untuk mengurus sesuatu. Jam di dinding menunjukkan angka sepuluh malam, namun mata Meera belum merasakan kantuk. Yang perempuan itu lakukan, hanya memandang wajah lelah milik suaminya.
Meera berpikir, bukan hanya dirinya saja yang belum bisa melupakan atau merasa kehilangan atas janinnya. Fabian pun sama, hanya saja lelaki itu terlalu pandai untuk menutup-nutupi nya. Pernah satu hari, Meera mendapati Fabian tengah melamun, tentunya lelaki itu tengah bersedih. Ya, dengan menunjukkan wajah dingin ditambah datarnya lelaki itu berusaha menyembunyikan sesuatu—dalam artian—kesedihannya.
Tangannya mengelus pelan permukaan pipi suaminya yang sekarang sudah ditumbuhi bulu-bulu kecil. Tersenyum tipis, tak lama kemudian mata yang terpejam itu terbuka kembali karena sedikit terganggu oleh usapan halus dari istrinya.
"Kenapa?" Suara serak khas orang bangun tidur. Fabian menatap Meera yang sepertinya kesulitan untuk tidur. Memang, semenjak kejadian itu Meera cukup sulit untuk tertidur.
Fabian membawa tubuh mungil isterinya ke dalam dekapan hangat miliknya. Mengecup rambut itu pelan. Lalu mengelus punggung ramping Meera dengan perlahan.
"Tidur. Gak usah mikirin hal yang udah berlalu. Semakin lama dipikirin, semakin sakit yang akan didapat." Dalam dekapannya, Meera menggeleng pelan. Dadanya terasa sesak jika harus seperti ini.
Fabian melepaskan dekapan itu, menatap manik Meera dengan dalam. Melihat bahwa di sana terdapat kekecewaan dan kesedihan. Fabian tahu, perempuan di depannya ini belum bisa melupakan pun mengikhlaskan juga.
"Lo harus ikhlas, Meer. Dengan cara itu, lo bisa tenang. Tidur lo, apapun kegiatan lo akan tenang. Ikhlasin dia yang udah pergi..."
"Gue tahu rasanya sakit banget. Apalagi yang rasain lo, dia ada diperut lo. Tapi lo harus siap atas kehilangan dia, gue juga sama belum bisa lupain kejadian itu, ini terlalu tiba-tiba. Tapi gue berusaha buat ikhlas agar dia juga tenang di alam sana, ya walaupun masih menjadi gumpalan darah doang."
Air mata itu lolos dari mata Meera. Isak tangis pun keluar dari mulutnya. Meera tak kuasa menahan semuanya. Dia ingin, penderitaan ini selesai. Dia ingin melupakan dan mengikhlaskan sang janin yang sudah diambil lagi oleh sang pencipta. Namun rasanya sulit. Semakin lama ia berusaha, semakin susah untuk dilupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY KATING MY HUSBAND [SUDAH TERBIT]
FanficDON'T PLAGIARISME!!! TYPO BERTEBARAN!! BANYAK KATA-KATA GAK JELAS! BELUM DIREVISI JUGA!! ••• Bagaimana rasanya ketika menikah dengan kating di kampusnya? Bukan hanya sekedar kating biasa saja. Tapi Kakak tingkatnya itu adalah seorang ketua dari geng...