2

1.2K 72 5
                                    

Setelah semalam aku mendiami Mas Dewa, pagi ini aku merasa kasihan karena semalam pria itu terlihat menyesal sekali dan berusaha meminta maaf kepada ku. Dan sepertinya usaha Mas Dewa untuk meminta maaf kepada ku masih terus berlangsung karena ku lihat dia sedang menata sarapan di meja makan. Aku terkikik geli.

Rambutnya yang masih awut-awutan menjadi pertanda kalau Mas Dewa langsung terjun ke dapur setelah bangun tidur.

Menyadari keberadaan ku, Mas Dewa langsung tersenyum lebar. Aku berpikir untuk mengerjainya sedikit. Anggap saja sebagai tontonan gratis pagi ini.

"Kamu mau sarapan pakai apa? Nasi goreng, roti atau salad?" Mas Dewa bak pramusaji dengan gesit menawariku menu sarapan yang ternyata sangat banyak.

"Aku mau minum susu aja," jawab ku dengan singkat. Akan tetapi di dalam hati aku tertawa puas apalagi setelah melihat wajah Mas Dewa berubah menjadi keruh.

"Oh ya udah tunggu sebentar ya. Aku buatin susu dulu."

Di luar dugaan. Benar-benar di luar dugaan, aku kira Mas Dewa akan bersungut-sungut marah karena hasil jerih payahnya di acuhkan.

Tak lama kemudian, Mas Dewa kembali dengan segelas susu hangat. Tak tega dengan wajahnya yang sudah berpeluh keringat, aku lantas berdiri dan memijat kedua bahu Mas Dewa. Mas Dewa berjengit kaget.

"Kamu mau sarapan sama apa biar aku ambilin?"

"Oh nasi goreng aja." Mata Mas Dewa mengikuti gerak-gerik ku yang sedang mengambilkan nasi goreng dan telur dadar.

"Flo?"

"Iya? Nasi nya kurang?"

Mas Dewa menggelengkan kepalanya.

"Kenapa Mas?" Aku benar-benar tidak tega dengan raut wajah Mas Dewa yang terlihat semakin bersalah. Maka untuk menghiburnya, aku memeluk kepala Mas Dewa dan mengelus punggungnya.

"Mas, bukannya aku enggak suka kamu belanja ini itu tanpa sepengetahuan aku. Tapi aku cuma enggak mau kamu boros. Lebih baik di tabung buat kebutuhan masa depan."

Mas Dewa tidak bersuara.

"Kamu yang tenang. Aku udah maafin kamu!" tutur ku yang membuat Mas Dewa langsung mendongak.

"Flo? Sebenarnya aku masakin kamu sarapan karena--"

"Iya aku tahu, Mas. Kamu pasti merasa bersalah banget kan gara-gara terlalu boros kemarin. Its okay, aku udah maafin kamu." Aku menggenggam tangan Mas Dewa.

"Udah deh lupain. Sekarang aku mau cobain masakan kamu. Em, sarapan nasi goreng kayaknya enak deh!"

"Flo?"

"Apa sih, Mas? Buruan sarapannya. Emangnya kamu mau telat  ke kantor?"

Sarapan benar-benar terlaksana setelah aku dan Mas Dewa tidak bersuara lagi. Aku diam karena terlena dengan masakan Mas Dewa yang sangat lezat. Mas Dewa memang pintar memasak. Di awal bulan pernikahan kami saja Mas Dewa yang sering memasak sepulangnya dari kantor dengan alasan aku kecapekan karena waktu itu aku masih kerja di kantor. Barulah setelah aku resign, pekerjaan memasak sepenuhnya menjadi tugas ku.

"Makasih ya sayang. Kamu baik banget deh sama aku."

Tiba-tiba Mas Dewa bersuara. Sorot matanya penuh kelegaan yang mengartikan jika sedari tadi Mas Dewa takut jika emosi ku tidak kunjung mereda.

"Sama-sama, sayang. Besok lagi kalau mau belanja di lihat kebutuhan nya. Kira-kira lagi butuh banget apa enggak."

Mas Dewa tersenyum tulus. Akhirnya kami melanjutkan sarapan lagi.

"Permisi, Pak?"

"Iya Pak Harto. Ada keperluan apa?" Aku menyelesaikan sarapan terlebih dahulu.

"Ada keperluan sama Pak Dewa, Bu."

Aku melirik Mas Dewa. Suamiku itu malah tertunduk. Entah ada hal yang menarik apa di bawah sana.

"Bapak lagi sarapan dulu, Pak. Kalau mau Pak Harto bisa ngomong sama saya dulu," balas ku.

"Barusan ada orang showroom datang, Bu. Katanya--"

"Oh itu, sayang!" Mas Dewa tiba-tiba berseru memotong ucapan Pak Harto. Aku mendadak curiga dengan tingkah laku Mas Dewa. Jangan-jangan ada yang di sembunyikan lagi dari ku.

"Katanya kenapa, Pak?"

"Mobil pesanan Pak Dewa akan di antar siang ini."

Mobil? Pesanan Mas Dewa? Jadi Mas Dewa beli mobil baru lagi. Astaghfirullah! Baru aja enam bulan yang lalu Mas Dewa membeli satu buah sedan mewah yang katanya dia beli untuk merayakan pernikahan kami. Dan untuk apa lagi mobil yang baru ini?

"Kamu benar-benar ya, Mas!" Aku menyingsingkan kedua lengan baju. Tanganku sudah gatal untuk menjewer telinga nya hingga memerah.

"Argh! Ampun sayang!" Mas Dewa memekik saat tanganku sudah sukses menjewer telinga nya. Rasakan!

                                      ***
Sore harinya, aku tidak menyalurkan emosi dengan mendiami Mas Dewa lagi. Suamiku itu tidak bakal mempan jika aku hanya ngambek saja. Mas Dewa harus segera di sadarkan agar sikap borosnya itu tidak menjadi-jadi.

"Pokoknya aku enggak mau mobil itu di taruh di garasi rumah ini!" Aku menyilang kan kedua tangan di depan dada, berusaha menyidang Mas Dewa yang baru saja selesai mandi.

"Terus taruh di mana, sayang? Mobil kan bukan tisu yang bisa di lipat-lipat dan di jejalin ke mana-mana. Lagian aku beli mobil baru karena niat membantu temen," tutur Mas Dewa.

"Terserah kamu. Kalau bisa sih di balikin aja ke showroom nya."

Mas Dewa mendesah gusar."Mana bisa di balikin lagi. Kan tadi aku udah bilang. Aku cuma bantu teman aja. Akhir-akhir ini showroom nya sepi."

Aku kehabisan stok sabar. Maka dengan sekali ayun meluncurlah satu kemoceng yang tergeletak tak jauh dari tempat ku berdiri.

Mas Dewa mengaduh keras karena kemoceng itu berhasil mengenai pelipisnya.

"Kamu pikir yang temen kamu tawarin itu kolak pisang? Yang kalau dagang nya sepi bisa di borong. Itu kan mobil, Mas. Mobil loh!"

"Ya aku tahu sayang kalau itu mobil. Niat aku kan tulus. Masak sih kamu enggak suka kalau suaminya suka membantu," protes Mas Dewa.

Mas Dewa itu tipikal suami idaman karena tulus dan penyayang, baik hati pula. Cuma ujung-ujungnya malah sikap borosnya yang kambuh.

"Beli mobil baru lagi itu pemborosan, Mas. Kan uang nya bisa di alokasikan untuk yang lainnya. Donasi bagi yang membutuhkan lah, bagi-bagi sama karyawan-karyawan kamu. Jangan di buat foya-foya sendiri!"

"Maaf." Satu kata yang terlontar dari mulut Mas Dewa membuat ku kehilangan kata-kata. Padahal selama Mas Dewa pergi ngantor aku sudah mempersiapkan pidato panjang untuk membuat telinga Mas Dewa berdenging.

"Malam ini biar di sini dulu ya mobilnya. Besok biar Mas bawa ke rumah Papa biar di pakai."

"Papa aku udah tua, Mas. Jangan di kasih mobil baru!"

"Terus gimana sayang? Bawa ke rumah Papi yang ada Mami ngomel terus kayak kamu." Mas Dewa cemberut yang membuat aku refleks mencubit bibirnya.

"Atau gini aja. Aku janji deh mobil ini bakal jadi mobil terakhir yang aku beli jadi biar di sini aja ya?" Mas Dewa berusaha membujuk ku.

"Janja-janji terus kapan tobatnya, Mas?"

Mas Dewa berdiri dan memeluk ku dari belakang. "Aku enggak boros sayang. Rasa sayang aku sama kamu itu besar banget jadi aku ngerasa pengen memanjakan kamu. Dengan semua yang aku beli. Eh tahunya kamu malah enggak suka."

"Cara kamu itu salah, Mas."

Tangan Mas Dewa sudah bergerilya kemana-mana. Pikiran ku sudah menebak akan kemana usahanya itu. Dan benar saja saat aku lengah, Mas Dewa langsung membopong tubuh ku mirip kantong beras.

"Dari tadi kamu bawel banget. Dan inilah satu-satunya cara supaya kamu diam!"

The Richie Hubby [Terbit Ebook]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang