8

684 43 0
                                    

"Siapa ini, Mas?" Aku menutup buku catatan resep kue dari Mami dan meletakkannya di atas meja saat Mas Dewa datang dengan seorang perempuan berpakaian ala koki.

"Kenalin namanya chef Belleza, dia pastry chef yang paling jago. Dan karena kamu lagi hamil, aku rekrut chef Belleza buat bikin kue nya. Nah, kerjaan kamu cuma mantau aja."

Sejak kandungan ku berusia satu bulan, deilig kake  pun langsung menjadi toko kue yang tergolong ramai. Mungkin ini yang bisa di namakan sebagai rezeki anak. Nah, saking ramainya aku sering mengeluh kepada Mas Dewa. Ada yang pinggang pegal lah, kaki pegal dan gampang capek. Mungkin Mas Dewa memikirkan hal itu juga.

"Saya Flora." Aku menjabat tangan chef Belleza, perempuan yang ku taksir berusia lebih muda dariku itu membalas jabatan tanganku.

"Kalau begitu, kiranya kapan saya bisa mulai kerja, Bu?"

"Deilig kake buka setiap hari yang artinya kamu bisa bekerja mulai besok."

Lama berbincang-bincang, chef Belleza izin pamit. Sedangkan mas Dewa malah sedang menghabiskan satu piring besar nasi kebuli dengan potongan daging kambing yang ukurannya sebesar lengan ku hasil order lewat jasa pesan antar makanan.

Katanya sih lagi pengen banget makan nasi kebuli padahal sebelumnya Mas Dewa tidak terlalu menyukai daging kambing. Masak sih dia yang ngidam padahal aku yang hamil.

"Mas?"

"Hm."

Mas Dewa masih berkutat dengan daging kambing nya. Tidak perduli masih memakai pakaian kantor lengkap, Mas Dewa betah berlama-lama memisahkan daging itu dari tulang besarnya. Aku mencubit lengannya barulah Mas Dewa menoleh.

"Kenapa? Kamu juga pengen makan nasi kebuli?" Dia menyodorkan piringnya.

Aku menggeleng. Bukan nasi kebuli yang aku mau melainkan sesuatu yang sepertinya tidak akan Mas Dewa kabulkan. Permintaan ku kali ini muncul secara mendadak setelah aku menonton video mukbang rujak dari salah satu kanal terkenal.

"Kok diam? Kamu ngidam sesuatu? Sini-sini."

Mas Dewa berdiri dan menyuruh ku untuk duduk di kursinya.

"Kamu enggak suka sama Belleza?" Mas Dewa bertanya soal chef pilihannya itu. Mungkin dia kira aku cemburu karena Belleza masih muda dan tergolong cantik. Sayangnya aku tidak cemburu.

"Bukan itu, Mas. Aku lagi pengen sesuatu tapi kamu pasti enggak bakal kabulin."

"Hei, aku udah pernah bilang waktu kita pulang dari rumah sakit kan? Apapun bakal aku kabulkan selagi tidak membahayakan janin yang ada di kandungan kamu," ucap Mas Dewa dengan lembut.

"Ayo katakan."

Ada jeda sebentar sebelum aku mengutarakan keinginan ku membuat Mas Dewa gemas.

"Aku pengen makan mangga muda dari pohonnya Bu Siska." Di ujung kalimat ini aku meringis setelah melihat wajah syok Mas Dewa.

Aku sih tidak heran kenapa Mas Dewa bisa syok padahal aku hanya meminta nya mangga muda bukan kapal pesiar mewah atau ngidam membeli rumah baru, pasalnya si pemilik pohon adalah Bu Siska. Perempuan tak bersuami yang terkenal suka menggoda pria-pria tampan. Korbannya sudah banyak. Terkahir sih yang aku dengar, Bu Siska mengejar-ngejar Ardito--suami Melia.

"Gimana kalau mangga muda nya kita beli di pasar? Kamu mau berapa? Satu kilo? Dua atau berapa deh sebutin tapi please, jangan dari pohonnya Bu Siska ya?"

Aku menggeleng sedih. Kalau dalam keadaan biasa, aku masih bisa di negoisasi tapi pengecualian untuk saat ini.

"Mas? Kamu sendiri tahu kan kalau lagi ngidam itu enggak bisa di tawar-tawar lagi? Katanya, apapun yang aku mau kamu bakal kabulin selagi enggak bahaya. Toh, makan mangga muda nya Bu Siska enggak bakal kenapa-napa kok!"

"Oke, fine. Aku bakal suruh Pak Harto buat minta ke Bu Siska."

Bukan seperti itu Mas. Rasanya aku ingin memprotesnya.

"Aku pengen lihat kamu manjat pohon nya juga, Mas. Jadi enggak usah nyuruh Pak Harto."

Mas Dewa terlihat tidak setuju. Matanya menyiratkan permohonan yang dalam. Dan mungkin karena efek kehamilan, aku justru ingin menangis. Mata ku sudah memerah dengan bibir yang bergetar.  Sontak saja Mas Dewa langsung mengiyakan permintaan ku. Wejangan dari Mami nya rupanya di terapkan dengan baik oleh Mas Dewa jika dia tidak mau anak nya ileran.

***

Karena aku tidak yakin jika Bu Siska akan mengizinkan mangga nya di minta jika aku ikut dengan Mas Dewa, maka aku memilih menyaksikan nya dari rumah Melia. Meski berulang kali tetangga sekaligus teman ku itu menyuruh ku untuk meralat lagi aksi ngidam nya, dia tetap setia menemani ku.

Dari sini, aku bisa melihat Mas Dewa yang setengah gugup sedang mengetuk pintu rumah Bu Siska. Cukup lama karena si empunya tidak kunjung keluar.

Mas Dewa melirik ku. Tangannya memberi kode dengan menggerakkan kelima jarinya pertanda jika Bu Siska tidak ada. Aku sedikit kecewa.

Rupanya Mas Dewa tidak ingin menyerah. Dia tetap mengetuk pintu rumah Bu Siska.

"Habis ini lo pasti nyesel pernah nyodorin Dewa sama tante ganjen itu, Flo!"

"Gue juga enggak mau tapi ini permintaan anak gue. Mana bisa di tolak!"

"Serah deh!" Melia asyik menekuri kacang kuaci nya.

Mata ku kembali mengawasi Mas Dewa. Selang beberapa menit kemudian, suara sahutan dari dalam terdengar. Ternyata yang keluar dari dalam asisten rumah tangga nya. Terlihat Mas Dewa berbincang-bincang untuk meminta izin. Saat melihat wajah Mas Dewa yang sumringah, aku bisa memastikan jika dia mendapatkan izin untuk meminta buah mangga nya. Diam-diam aku melonjak kegirangan.

Dari posisi berdiri, aku memberi semangat kepada Mas Dewa yang sedang memanjat pohon.

"Tuh, Nak. Papa kamu sweet banget ya. Dia mau ngabulin permintaan Mama, padahal Papa udah enggak pernah manjat pohon lagi."

Satu buah mangga yang paling besar berhasil Mas Dewa ambil. Aku memberinya kode 'cukup' agar Mas Dewa segera turun. Takutnya dia salah pijakan karena terlalu kaku memanjat pohon.

Saat hendak turun, aku dan Mas Dewa sama-sama di kagetkan dengan suara perempuan.

"Hati-hati loh, Wa. Nanti jatuh. Eh, kalau jatuh tante mau kok jadi matras nya!"

Karena kaget, Mas Dewa jadi salah pijakan. Kakinya meluncur bebas dan membuat tubuhnya ikut terseret. Mas Dewa mengaduh ketika pinggang nya bertemu dengan tanah. Aku sontak berlari untuk menolong nya. Namun baru saja aku sampai di depan rumah, Mas Dewa sudah berlari sendiri. Dia bahkan menghiraukan panggilan ku. Usut punya usut, Mas Dewa lari ngibrit karena melihat Bu Siska yang keluar rumah dengan handuk saja. Benar-benar perempuan gatel!

Dengan berjalan agak cepat, aku menyusul Mas Dewa. Suami ku itu terlihat letih sekaligus kesakitan dengan duduk lesehan di depan rumah kami.

"Ini sayang, mangga nya."

Aku sudah tidak ingin mangga lagi. Melihatnya rela memanjat pohon sampai di kejar-kejar ibu-ibu ganjen membuat aku merasa bersalah.

"Ayo aku obatin di dalam." Aku menuntun Mas Dewa.

"Tapi aku lapar lagi, sayang."

Gubrak!

"Aduh! Patah pinggang aku!"

Masya Allah! Baru aja selesai makan nasi kebuli dengan porsi kuli. Masak udah lapar lagi. Itu perut apa karet hah?!

The Richie Hubby [Terbit Ebook]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang