15

486 34 0
                                    

Tujuh hari setelahnya, paket-paket yang di beli Mas Dewa sudah sampai. Meski aku sendiri yang memilihnya, tetap saja perasaan kaget tidak bisa terelakkan melihat tumpukan paket-paket yang baru saja di antar satpam kompleks itu. Namun, mataku yang cermat ini langsung menyensor kelima paket yang sepertinya salah alamat. Aku rasa Mas Dewa hanya membeli lima item dari toko yang berbeda dan kenapa ada lima lagi yang nyempil . Oh harus segera di kroscek ini.

"Tapi nama penerima nya Dewandaru Alfian. Loh-loh kenapa nama brand pakaian perempuan?"

"Hayo lagi ngapain!"

Sentakan di punggung dan suara yang tiba-tiba muncul itu membuat ku berjengit kaget. Di belakang ku, Mas Dewa menyengir sambil melepas jas kantornya.

"Jangan ngagetin dong, Mas." Aku mencium tangan Mas Dewa.

"Piss..." Mas Dewa merangkul ku. Matanya baru tersadar saat di depannya ada tumpukan paket.

"Paketnya udah datang? Kenapa lama ya?"

"Entah. Eh iya,Mas, kenapa paketnya jadi sepuluh? Kayaknya kita cuma belanja lima item aja deh."

"Sisanya punya kamu."

"Kok bisa? Aku kan enggak milih. Ih, kamu beliin aku apa, Mas?"

"Masuk dulu deh. Nih, kamu bawain jas sama tas aku."

Setelah mandi, Mas Dewa langsung mengajakku ke ruang tengah dalam rangka  unboxing massal barang-barang. Namun yang akan Mas Dewa tunjukkan kepadaku hanyalah lima item yang tadi katanya milikku. Sisanya alias paket baju-baju milik Mas Dewa sudah langsung di buka tadi.

"Coba deh di buka." Mas Dewa menyerahkan satu paket yang sudah di buka plastiknya.

Mataku mengerjap pelan. Baju ini sepertinya tidak asing. Aku seperti pernah melihatnya.

"Baju yang kamu lihatin terus menerus pas kita cari kemeja buat aku." Mas Dewa berbisik.

Pantas saja.

"Ya ampun. Kamu kok perhatian banget sih, Mas. Aku sampai enggak nyadar soal baju itu. Thanks ya."

Kali ini aku terharu karena tindakan kecil Mas Dewa ini.

"Anything for you, sayang." Mas Dewa mengecup kening ku. Perhatian Mas Dewa ini yang membuatku tidak ragu saat dia datang ke rumah melamar.

"Terus yang empat isinya apa?"

"Buka aja deh. Aku jamin kamu bakal suka."

Aku membuka ke empat paket itu. Isinya baju semua namun yang membuatku kaget adalah, salah satu baju itu merupakan baju incaran ku sejak lama. Baju yang sudah ku taruh dalam keranjang belanja online dan itupun jauh sebelum aku hamil.

"Mas, kamu tahu baju ini darimana?"

"Rahasia. Gimana kamu suka enggak?"

"Banget, Mas. Ini baju favorit aku tahu."

"Harusnya kalau pengen sesuatu jangan di pendam. Sekarang apapun kebutuhan kamu itu jadi tanggung jawab aku."

"Tapi kan harganya mahal. Enggak enak aja gitu minta ini itu padahal kebutuhan rumah tangga juga banyak."

"Kayak sama siapa aja sih, sayang. Aku suami kamu dan kamu istri aku. Jangan sungkan-sungkan." Mas Dewa mengecup punggung tangan ku.

Keromantisan kami memang sederhana. Hubungan kami pun belum patut di beri predikat pasangan paling romantis, adakalanya kami bertengkar. Namun inilah asam garamnya hubungan.

"I love you, Mas."

"Love you more, sayang."

***

Malam harinya Mas Dewa mendadak mengajakku untuk makan keluar. Harusnya sih tidak masalah karena dulu juga kita berdua sering makan keluar, namun kali ini yang menjadi pertanyaan ku, kenapa harus pakai gaun segala coba.

Ribet banget tahu nggak sih.

Malam ini aku sedang ingin sekali makan pecel lele. Tadi pun aku sudah ngomong sama Mas Dewa dan dia menyanggupinya, tapi kenapa dress code kami berdua udah kayak mau kondangan segala.

"Mas, apa nantinya kita nggak di ketawain sama yang lain. Masak makan pecel lele aja harus pakai jas sama gaun segala sih. Norak tahu!" Aku menepuk tangan Mas Dewa.

"Siapa yang bakal ketawain kita? Lagian lucu kali masak makan di luar pakai piyama doang!"

"Ya orang-orang lah. Bisa jadi trending topic juga kali."

"Enggak bakalan, sayang. Kamu jangan suka lebay ah."

"Terserah." Aku mengeluarkan kalimat pamungkas para ciwi-ciwi zaman now .

Setengah jam kemudian, aku bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaan ku kenapa makan pecel lele harus pakai jas dan gaun.

Bagaimana tidak harus memakai kedua pakaian formal itu, wahai saudara-saudara! Mas Dewa, suamiku yang super ajaib itu mengajakku makan pecel lele di restoran bintang lima yang lampu kristalnya menjuntai sampai ke bawah. Heol, ingin sekali aku berteriak di telinga Mas Dewa, Maas...aku pengen makan pecel lele di warung tenda! Bukan di restoran bintang lima!

"Gimana restorannya? Ini rekomendasi dari teman-teman kantor."

Aku memaksakan senyum meski mulutku sudah gatal ingin memberikan pidato kebangsaan.

Ku akui pelayanan di restoran ini memang luar biasa. Belum ada setengah jam kami memesan makanan, pramusaji sudah datang lagi membawakan makanan kami.

Cuma yang datang itu loh...sangat tidak recommended untuk ibu hamil sepertiku yang porsi makannya banyak. Okelah itu memang porsi yang sangat estetik, tapi kan aku makan untuk dua nyawa.

"Silahkan di makan, sayang. Enak kan pecel lele nya?" Mas Dewa makan dengan lahap.

Rasanya memang enak tapi tidak seenak warung tenda yang sambalnya melimpah itu. Bagiku porsi sekecil ini hanya menyerempet lambung saja.

Usai makan mood ku langsung turun, aku sama sekali tidak menikmati acara makan malam ini.

Sejak keluar dari restoran, aku benar-benar malas berbicara.

"Kamu beneran enggak apa-apa?"

"Hm."

"Wah kalau di tanya jawabannya ham-hem pasti ada apa-apanya ini. Kamu kenapa, Sayang? Aku ada salah sama kamu?"

Aku menatap Mas Dewa."Banyak!"

"Waduh! Banyak? Emangnya aku ngapain kamu sampai salah aku banyak sama kamu?"

"Pertama, kamu itu enggak peka. Kedua, kamu itu enggak pernah mau dengerin apa yang aku mau!"

Mas Dewa melongo mendengar kalimat panjang yang keluar dari mulutku.

"Aku kurang peka? Maksudnya kurang peka dalam hal apa?"

"Tuh kan kamu aja nggak sadar diri kalau kamu itu kurang peka."

"Iya-iya aku emang manusia yang paling nggak peka sejagat raya tapi aku kurang peka kenapa kali ini? Please, say something."

"Aku itu mau makan pecel lele di warung tenda, yang duduknya lesehan terus sambalnya yang banyak plus lalapannya! Bukan makan di restoran mewah yang ikan lelenya segede upil, Mas!"

"Ya ampun cuman gara-gara pecel lele?"

"Bukan cuman tapi itu menandakan kalau kamu itu nggak peka sama sekali. Gimana nanti kalau anak kita udah keluar."

"Hubungannya kurang peka sama anak kita keluar apa? Yang terpenting kan aku ayah yang siaga, punya skill parenting yang bagus--lagi otw belajar, terus selalu menomorsatukan keluarga dari apapun."

"Nggak usah bahas itu dulu, Mas! Sekarang aku lapar! Buruan jalanin mobilnya!"

"Ke warung pecel lele?"

"Bukan. Ke warung sop daging cowok kurang peka!"

Ebusettt...

The Richie Hubby [Terbit Ebook]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang