Minggu kali ini aku habiskan dengan bermalas-malasan, ah lebih tepatnya Mas Dewa yang memaksa ku untuk menemani nya menonton acara balap mobil di televisi. Karena sebenarnya banyak sekali tugas yang harus aku kerjakan.
Di samping ku, Mas Dewa asyik mengomentari jalannya pertandingan yang sama sekali tidak aku mengerti hingga dering telepon miliknya berbunyi, saking fokusnya dengan pertandingan, Mas Dewa memasang mode loud speaker saja.
"Jadi lihat diecast nya enggak bro. Kalau lo lambat, Sam siap angkut!"
Diecast ? Apaan tuh? Jenis barang?
"Nanti gue telepon lagi!"
Mas Dewa langsung mematikan ponselnya. Dia melirik ku takut-takut seperti pencuri ketawan.
"Mas, kamu mau jelasin sendiri apa aku yang tanya langsung sama temen kamu itu! Tadi yang nelpon Brian kan?"
"Gini-gini, sayang. Jangan langsung marah dulu."
Kepala ku mendadak pening memikirkan kemungkinan besar Mas Dewa akan membeli sesuatu yang tidak bermanfaat lagi. Meski yang di pakai uang sendiri, kebiasaan itu tidak bisa di biarkan. Berapa kali sih aku sudah mengatakan hal serupa. Perlukah sampai mulutku berbusa?
"Diecast itu apa, Mas? Merk mobil, motor, jet apa barang-barang nyeleneh yang aku enggak tahu?"
"Besok ikut aku ke rumah Brian ya?"
"Ngapain?"
"Lihat diecast itu. Nanti aku jelasin di sana ya."
Siasat yang cerdik. Mas Dewa tahu betul kalau di sana aku tidak mungkin marah-marah. Tapi jangan bilang namaku Flora kalau tidak berani melakukan apapun. Pelarian ku adalah mesin pencarian yang banyak digunakan jika merasa bingung, segera mungkin aku mengetikkan kata diecast di laman web.
"Cuma miniatur mobil tapi harga nya ratusan juta sampai miliaran, Mas?"
"Bukan cuma miniatur mobil aja, sayang. Bagi kolektor diecast kayak Brian, miniatur itu berguna banget, Flora sayang. Bisa jadi investasi juga."
Aku menghela nafas panjang. Mau marah juga yang di pakai uang Mas Dewa enggak marah rasanya gedek. Ku tatap wajah Mas Dewa yang sekarang berjarak beberapa centimeter saja dari wajahku karena posisinya yang sedang tiduran di atas pahaku.
"Jangan marah ya, Flo. Janji deh beli diecast yang terakhir. Maaf ya." Mas Dewa membawa tangan ku ke depan bibirnya lantas membubuhkan ciuman di sana.
"Aku enggak marah cuman kesal aja. Sumpah deh, baru dua bulan aja udah berapa pengeluaran kamu. Well, Mas, lain kali ngomong dulu ya. Perlu berapa kali sih aku ingetin buat ngasih tahu aku dulu."
Mas Dewa hanya meringis saja. Pagi menjelang siang itu akhirnya kita habiskan dengan membahas miniatur mobil berharga fantastis yang beberapa kali membuat aku menghela nafas. Membahas ini aku jadi ingat barang mahal yang pernah aku beli dengan uang sendiri saja tidak sampai setengahnya harga miniatur mobil itu. Paling banter sih lima juta untuk harga satu dress.
Malam harinya, Mas Dewa kembali berulah. Kali ini bukan perihal transaksi barang-barang mahal melainkan meminta makanan di jam-jam orang sudah seharusnya tertidur lelap. Bayangkan saja, ini sudah pukul 01.00 pagi. Mana ada orang yang bangun di jam segitu untuk makan. Kalau bulan puasa sih memang kewajiban itu pun aku biasa bangun pukul setengah tiga.
"Flora...
"Apa sih, Mas. Tunda aja deh laparnya. Aku malas masak."
Mas Dewa duduk. Dia kembali mengguncang tubuh ku berulang kali hingga mau tak mau aku ikut duduk.
"Enggak bisa di tunda sampai besok, sayang. Ini udah lapar banget! Dengerin nih, cacingnya udah pada disko semua!"
Ku cepol rambut tinggi-tinggi sembari mengucek mata yang masih setengah terpejam.
"Mau makan apa, Mas?"
Akhirnya aku memutuskan untuk bangun. Pasalnya kalau sudah begini, Mas Dewa tidak bisa diam lagi. Dia pasti akan terus merongrong ku terus menerus.
Mendengar persetujuan ku, Mas Dewa meninju tangannya ke udara pertanda rasa senang yang berapi-api.
"Aku cuma minta bantuan kamu aja. Nanti aku yang masak."
"Bantuin apa?" Aku turun dari ranjang terlebih dahulu di susul Mas Dewa yang sekarang berjalan mendahului ku.
Sampai di dapur, Mas Dewa langsung mengubek-ubek kulkas. Aku menebak, jangan-jangan Mas Dewa cuma minta di temani doang.
"Mau masak apa sih, Mas? Sini biar cepat mending aku masakin aja!"
"Enggak usah. Kamu duduk aja di situ. Aku minta bantuannya nanti!"
Setelah selesai mencari entah apa di dalam kulkas, Mas Dewa mengeluarkan semua bahan-bahan yang di perlukan. Aku merapalkan namanya saat Mas Dewa meletakkannya di meja. Ada satu bungkus mie instan, dua telur, satu sosis bratwurst , sayuran dan yang terakhir...Oh God! Daging steak?
"Taraa! Aku pengen makan mie instan!"
"Mie instan apa yang perintilannya sebanyak ini, Mas? Kamu yakin bisa makan semuanya?"
Mas Dewa mengangguk dengan cepat. Setelah menunjukkan bahan-bahan yang akan di masak, Mas Dewa langsung berkutat mengolahnya.
"Terus aku ngapain?"
Mas Dewa berbalik. Gigi rapinya meringis.
"Tugas kamu nemenin aku. Kalau kamu udah ngantuk di bawa tiduran aja di sofa."
Beneran kan. Dasar Mas Dewa ini. Mana ada mengantuk saat melihat Mas Dewa sibuk sana-sini. Setelah menunggu sambil sesekali mengintip apa yang sedang di lakukan Mas Dewa, mie instan porsi kuli ala Mas Dewa sudah tersaji.
"Wah." Mataku berbinar tatkala melihat hasil tangan ajaib Mas Dewa. Mie instan yang dia buat benar-benar premium.
Melihat ku terkesima dengan masakannya, Mas Dewa terkekeh. Dia juga langsung peka dengan mengambilkan dua piring untuk nya dan untukku.
"Silahkan di cicipi, Nyonya."
Mas Dewa memperlakukan ku seperti seorang pramusaji di restoran berbintang lima. Kalau seperti ini jatuhnya aku yang tiba-tiba kelaparan tengah malam.
Sambil menikmati olahan mie instan premium ala Mas Dewa, kami menyelingi nya dengan mengobrol.
"Kamu bisa masak dari kapan, Mas? Bukannya di kampus kamu terkenalnya jago main alat musik? Jadi drummer band kampus kan dulu?"
"Masak itu skill tersembunyi aku, sayang. Dan percaya atau nggak, cuma kamu yang aku tunjukin skill masak."
"Masak?"
"Serius. Eh, sama Papi Mami juga. Ya cuma kalian bertiga aja."
Mas Dewa menuangkan air putih ke gelas ku. Benar-benar suami pengertian--kalau lagi enggak kumat sih, ups.
"Mas, kayaknya kamu udah lama enggak main alat musik ya? Eh kamu bisa main apa aja selain drum?"
"Sekarang udah malas, Yang. Dulu nih, selain drum aku bisa main piano, gitar sama bass loh. Bangga enggak kamu jadi istri aku." Mas Dewa berkata dengan jumawa.
"Dih."
"Yang, kamu mau enggak lihat aku main drum lagi." Setelah menandaskan satu porsi mie instan, Mas Dewa duduk di samping ku.
"Emangnya masih bisa?"
"Ih bisalah. Mau enggak?" Mas Dewa setengah berbisik.
"Boleh. Kapan emangnya?"
"Kapan-kapan. Nanti aku tunjukin, sambil buka baju ya."
"Heh!" Aku melengoskan muka Mas Dewa. Dasar kardus, modal modus aja.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Richie Hubby [Terbit Ebook]
Romance[Terbit Ebook] Ebook bisa dibeli di: https://play.google.com/store/books/details?id=_XmXEAAAQBAJ&PAffiliateID=1101l7N6J "when two humans are brought together in a bond called marriage"