12

446 37 2
                                    

Melihat ku memasuki rumah sambil menangis, Papa dan Mama kompak mengikuti ku hingga ke kamar. Aku yakin mereka bingung sekaligus khawatir melihat pemandangan yang tidak pernah mereka lihat lagi selama kurun waktu 7 bulan ini.

"Hei sayang, apa yang terjadi? Kok pulang-pulang nangis?" Mama langsung memeluk ku. Oh, hatiku langsung berdenyut sakit ketika memikirkan Mas Dewa.

"Flora, kamu pernah janji loh sama Papa. Ingat, apapun yang terjadi kamu bakal cerita sama Papa dan Mama."

Aku berganti memeluk Papa. Cinta pertama ku di dunia ini langsung mengusap punggung dan membuat aku agak tenang.

"Mas Dewa, Pa." Mulut ku kembali kelu untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Dewa kenapa? Baik-baik aja kan dia." Mama berucap.

"Dewa kenapa, sayang. Dia nyakitin kamu?" Papa menggenggam tangan ku.

"Mas Dewa selingkuh!" Tangis ku kembali luruh setelah berbicara. Ada perasaan kecewa, kesal dan berbagai emosi yang mendorong cairan bening itu kembali turun. Aku melirik Papa dan Mama, mereka sontak terdiam.

"Kamu yakin Dewa tega melakukan hal itu sama kamu, Flo?" Papa bertanya. Aku tahu kedua orang tuaku bukanlah tipe orang tua yang memihak ke salah satu pihak. Dan karena mereka sudah menganggap Mas Dewa sebagai anak sendiri, mereka tidak ingin gegabah. Tapi kenyataannya Mas Dewa memang berselingkuh.

"Flora lihat sendiri, Pa. Dia bermesraan sama perempuan di mall. Oh iya, Rere sama Melia juga tahu. Mereka pasti--" aku mencari ponsel di dalam tas. Tadi aku dengar mereka memotret.

"Nih, Pa. Itu Mas Dewa kan?" Aku mengangsurkan ponsel ke Papa.

"Kurang ajar! Berani-beraninya dia! Flora, kamu ingin Papa apakan dia. Bilang sama Papa! Kamu mau Papa habisi dia, hancurin perusahaan nya atau--"

Aku menggeleng.

"Meski Mas Dewa tega nyakitin aku tapi dia tetap menjadi ayah dari anak yang Flora kandung, Pa. Dan Flora enggak mau Papa melakukan semua itu."

"Terus mau kamu gimana? Katakan sayang, Papa harus melakukan apa? Papa tidak rela putri Papa satu-satunya di sakiti oleh orang lain."

Apa yang aku mau?

Jawabannya belum ketemu. Aku masih bimbang tapi mengingat perbuatan Mas Dewa yang benar-benar merobek bilik hati, membuat aku semakin yakin kalau jawabannya adalah...

"Pisah sama Mas Dewa."

Papa dan Mama sama kagetnya. Namun, mendengar aku berucap dengan yakin, Papa menyalurkan kekuatan melalui genggaman tangan yang semakin di pererat.

"Apapun itu jika berdampak baik buat kamu, yah meski dengan berat hati, Papa mendukung." Papa mengusap sudut matanya. Aku tahu Papa menangis.

Rasa sayangnya kepada ku membuat Papa menangis. Dulu, saat Mas Dewa datang ke rumah untuk melamar ku, Papa menjadi orang yang paling bahagia. Papa mengatakan bahwa Mas Dewa adalah lelaki yang baik. Aku yakin hati Papa juga merasakan hal yang serupa dengan ku. Sakit hati karena di kecewakan.

***
Bunyi gaduh di luar membuat tidurku terganggu dan entah sudah berapa jam aku tidur, setelah tadi puas menangis bersama Papa dan Mama, aku kelelahan dan akhirnya tertidur.

Mata ku terasa berat dan kemungkinan besar terlihat sembab. Dan sepertinya aku  harus mencuci muka terlebih dahulu  . Namun niat untuk cuci muka teralihkan oleh suara teriakan dari luar. Oh aku melupakan sesuatu, ya bunyi gaduh tadi.

Dengan sedikit tergesa, aku keluar kamar. Pemandangan pertama yang langsung ku lihat adalah dua orang pria beda generasi dengan satu yang terlihat dominan memukul. Oh Tuhan, Papa memukuli Mas Dewa hingga suami ku itu terkapar tak berdaya dengan beberapa sudut wajahnya membiru dan berdarah.

Saat akan menolong, Mama menghentikan langkah ku. Mama menggeleng dan tetap membiarkan Papa melampiaskan emosinya. Melihat kondisi Mas Dewa yang benar-benar memprihatinkan, aku menangis. Bahkan untuk berdiri saja Mas Dewa tidak bisa.

Apa yang sebenarnya terjadi?

"Berani-beraninya kamu menyakiti putri saya. Siapa kamu berani membuat putri saya menangis hari ini?!" Papa sudah puas memukuli Mas Dewa, namun sorot mata mengintimidasi nya tidak lepas barang sedikitpun.

Dengan terbatuk-batuk, Mas Dewa mencoba berbicara.

"Semuanya...salah paham, Pa. Flo.." Mas Dewa mengalihkan tatapannya kepadaku. Matanya tersirat rasa frustasi dan sedih.

"Pa, sumpah demi apapun, saya enggak selingkuh. Uhuk!" Mas Dewa memegangi dadanya. Aku tahu rasanya pasti sesak.

"Masih berani ngelak kamu?"

"Saya tidak selingkuh. Perempuan...hah, perempuan tadi adalah ambassador untuk produk baru dari perusahaan, Pa. Namanya Anggita, kami baru saja meeting."

"Saya sedang membantu dia untuk menyelesaikan masalahnya dengan mantan suaminya. Kami benar-benar sedang meeting."

"Persetan dengan meeting!" Papa kembali berteriak. Melihat hal ini, aku memutuskan untuk maju.

"Pa, biar Flora yang selesaikan masalah nya."

"Masuk ke kamar, Flora!" Papa memperingati.

"Pa--"

"Papa bilang masuk ya masuk, Flora!"

Aku kembali memundurkan langkah. Mama memelukku dari belakang.

"Semua tindakan kamu itu menyakiti putri saya. Pernah tidak kamu memikirkan Flora sebelum berinisiatif membantu perempuan itu!"

"Pa, semuanya salah paham. Saya--"

"Diam atau kamu tidak akan pernah bertemu Flora lagi!"

Dari sini aku bisa melihat wajah lelah Mas Dewa.

"Bangun dan selesaikan masalah ini sekarang juga di ruangan kerja saya!"

Papa tidak memberi izin agar aku bisa masuk ke dalam. Perasaan ku mendadak tidak enak begitu Papa membawa Mas Dewa ke ruang kerjanya hanya berdua. Namun Mama sepertinya mengerti perasaanku, meski terluka nyatanya Mas Dewa masih menjadi sumber kekhawatiran ku, alhasil Mama menyuruh ku untuk mengintip mereka dari lubang rahasia yang di sembunyikan Mama di belakang pigura foto.

Aku menghembuskan nafas lega saat melihat mereka berdua hanya berbicara saja. Masih untuk tidak ada kekerasan lagi.

"Flora sayang, kamu harus percaya sama Papa tapi...apa sebaiknya kamu memberikan kesempatan sama Dewa buat jelasin yang sejujur-jujurnya? Mama takut kalau keputusan kamu bakal menyakiti kamu pada akhirnya. Mama tahu perbuatan selingkuh itu tidak bisa di benarkan. Tapi, semuanya belum terlihat jelas kan?"

Sudut hati ku yang lain pun mengatakan hal yang sama. Aku takut, takut jika keputusan berpisah ini bakal menyakiti perasaan ku pada akhirnya. Tapi aku sungguh melihatnya, masihkah perlu di pertimbangkan?

Samar-samar aku mendengar percakapan mereka. Namun tidak banyak karena tertutup beberapa file dokumen kerja.

"Oke, saya akan mempertimbangkan lagi penjelasan kamu tapi dengan satu syarat."

"Syarat apa, Pa?"

Selanjutnya aku tidak bisa mendengar percakapan mereka karena Papa mengatakan nya dengan berbisik.

"Ma? Kalau misalnya keputusan Flora salah, gimana?"

"Kalau kamu ingin mengambil keputusan jangan gegabah. Ingat, dengarkan apa yang perlu di jelaskan. Meski menyakiti hati kita. Bicara lah dengan Dewa."

The Richie Hubby [Terbit Ebook]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang