13

437 31 0
                                    

Menemukan sesosok perempuan bertubuh langsing dan tinggi di depan rumah ku pagi-pagi memberi pertanyaan akan siapa sosok itu. Dan setelah membuka masker dan kacamatanya, aku baru tahu kalau perempuan itu adalah Anggita. Perempuan yang kemarin ku temukan bersama Mas Dewa di mall.

"Mau apa anda kesini?"

"Bisakah kau menyuruhku masuk terlebih dahulu? Aku takut ada yang melihat ku!" pintanya dengan mata yang mengedar kemana-mana.

Aku membukakan pintu untuknya. Dengan gesit dia langsung masuk ke dalam. Entah apa yang perempuan ini takutkan sampai tergesa-gesa masuk ke rumah. Setelah duduk, aku mendiaminya. Tidak perlu juga bukan aku berbasa-basi menawarinya minuman. Itu sangat memuakkan.

"Flora, waktu ku tidak banyak hari ini. Aku harus segera pergi dari Jakarta dan sebelum aku pergi, aku akan melunasi satu kesalahan ku. Pak Dewa, dia pria yang baik. Dia sangat mencintai istrinya karena sepanjang kami bekerjasama dia selalu memuji istrinya yang cantik dan setelah aku lihat langsung kamu memang cantik."

"Tolong jangan benci Pak Dewa. Dia tidak berselingkuh seperti yang kamu tuduhkan. Pak Dewa hanya menolong ku sebagai rekan. Akhir-akhir ini aku mendapat masalah dengan mantan suamiku, dia mengancam akan membunuh ku jika tidak mau kembali bersamanya. Kemarin itu Pak Dewa membantu ku memotret luka di kepala agar bisa di jadikan bukti kalau mantan suamiku itu melakukan KDRT. Bukan sedang mencium ku."

"Selain hal itu, Mantan suami ku juga berniat mengganggu kontrak kerjasama antara aku dengan perusahaan Pak Dewa. Makanya kemarin Pak Dewa ingin menyelesaikan semuanya."

Apakah aku percaya? Entahlah. Mas Dewa saja tidak mencoba menjelaskan lagi kepadaku. Kemarin setelah berbicara dengan Papa di ruang kerja, Mas Dewa pergi begitu saja tanpa permisi.

Wajah Anggita terlihat kuyu.

"Tolong percaya sama aku, Flo. Aku enggak bakalan tenang sebelum kamu baikan sama Pak Dewa. Intinya kami berdua tidak ada hubungan apa-apa selain rekan kerja. Dan aku juga sudah memutuskan kontrak dengan Alf beauty.

"Terimakasih untuk penjelasannya tapi untuk maaf, biar jadi urusan ku sama Mas Dewa. Silahkan. Katanya waktu kamu cuma sebentar."

Tanpa berlama-lama, Anggita segera pergi. Meski ucapannya sedikit melegakan hati, namun nyatanya aku belum puas. Perasaan kosong ini masih terasa. Ternyata aku sudah mulai terbiasa hidup berdampingan dengan Mas Dewa, satu hari saja tanpa dia rasanya seperti berpuluh-puluh tahun tak melihatnya.

"Flora...

Aku menoleh dan menemukan Papa di ambang pintu ruang tamu. Melihat dari bajunya yang hanya mengenakan kaos dan celana selutut, berarti Papa tidak ke kantor hari ini.

Papa mengajak ku untuk duduk di sofa sambil menonton acara TV kesukaannya.

"Siapa tadi yang bertamu? Kok udah pulang aja." Papa membuka ruang obrolan di antara kami berdua.

"Perempuan yang kemarin sama Mas Dewa."

Papa mengangguk singkat.

"Gimana rasanya sehari tanpa Dewa?"

Perlukah di jawab saat tanpa mengutarakan nya pun harusnya Papa tahu. Apalagi yang aku rasakan selain perasaan hampa. Ada jeda yang cukup lama saat aku ingin menjawab.

"Seperti yang Papa lihat."

Papa tertawa singkat. Tangannya mengacak-acak rambutku sambil memelukku. Entah mengapa tawa Papa berhasil menular kepadaku.

"Gitu dong ketawa. Jangan sedih-sedih terus. Nanti cucu Papa ikutan sedih."

Setelahnya Mama ikut bergabung bersamaku dan Papa sambil membawa pisang goreng wijen kesukaan ku. Oh, beruntung sekali aku memiliki mereka. Ada Papa yang siap melindungi dan Mama yang penuh kasih sayang.

"Nah gitu dong. Mama kan jadi seneng lihatnya."

Pisang goreng wijen menjadi pendamping obrolan kita pagi ini. Kami banyak mengobrol sekaligus bernostalgia mengingat masa kecilku. Aku tahu Papa dan Mama sedang mencoba menghibur ku. Tawa ku sempat terurai, cukup lama malahan. Namun, kebahagiaan ini masih belum lengkap. Tanpa Mas Dewa di sisiku.

"Flora...

Kami semua menoleh. Sudut bibirku berkedut samar begitu melihat Mas Dewa berada di ambang pintu. Dia memanggil ku, dia datang kepadaku dan itu artinya Mas Dewa ingin aku kembali kepadanya lagi.

"Mas--"

"Dasar bocah nakal!" ucap Papa sembari beranjak dari tempat duduknya. Oh jangan lagi Pa, aku tidak janji bisa sanggup menyaksikan tubuh Mas Dewa Papa pukuli.

"Maaf, Pa. Saya tidak bisa. Waktu satu minggu itu siksaan terberat bagi saya."

"Waktu satu minggu?" Aku ikut menimbrung. Apa syarat yang di maksud Papa kemarin itu?

"Suami mu ini Papa kasih hukuman untuk tidak menemui kamu selama seminggu dan dengan kurang ajarnya, dia datang kesini padahal belum ada satu minggu. Dasar bocah nakal!"

"Papa sudah tahu kalau semuanya itu salah paham. Bahkan sebelum si nakal ini menjelaskannya, Papa sudah tahu kalau kalian cuma salah paham!"

Hah? Terus kenapa Papa sampai memukuli Mas Dewa. Tidakkah hal itu juga melukai putrinya.

"Semua yang Papa lakukan itu untuk memberikan pelajaran buat kalian, terutama untuk Dewa. Tidak kah kamu sadar bahwa komunikasi dalam berumah tangga itu sangat perlu?"

Mas Dewa mengangguk. Matanya menyiratkan penyesalan yang cukup mendalam karena lagi-lagi faktor pemicu pertengkaran di antara kami adalah kurangnya komunikasi.

"Dan untuk Flora, tidak bisakah kamu berhenti dan mendengarkan penjelasan suami kamu terlebih dahulu sebelum mengambil sebuah keputusan?"

Ternyata aku juga salah.

"Bagaimana coba jika suatu saat kamu terluka karena keputusan kamu sendiri? Ingat, hidup berumahtangga itu tidak selamanya menyenangkan. Ada masanya di mana kalian akan di uji dengan sedikit kerikil di tengah jalan untuk menguatkan cinta kalian. Makanya, apapun yang terjadi pegang lah dua kuncinya. Saling percaya dan komunikasi!"

Ucapan Papa menampar ku cukup keras.

"Mas!" Tak tahan lagi, ku salurkan rindu dengan sebuah pelukan. Mas Dewa menyambut ku dengan pelukan yang tak kalah erat. Dia juga sama denganku, menampung rasa rindu.

"Maafin aku ya." Mas Dewa menghirup aroma rambut ku. Hingga kelamaan, rambutku terasa basah. Mas Dewa menangis. Pria yang tak pernah terlihat menangis itu mengaku kalah.

"Setelah ini aku janji, apapun yang terjadi. Flora is number one," ucapnya.

"I'm sorry too. Aku juga bersalah sama kamu, Mas."

"Ekhem!"

Pelukan kami terlepas begitu Papa berdehem keras. Pipiku memerah seperti kepiting rebus, kami berdua salah tingkah.

"Pa, Ma, saya benar-benar meminta maaf untuk air mata Flora. Saya janji--"

"Jangan selalu mengumbar janji tanpa bukti. Pulang sana dan renungkan ucapan Papa tadi."

Mas Dewa langsung mengajakku ke mobil begitu kami berdua berpelukan dengan Papa dan Mama. Kebahagiaan inilah yang seharusnya aku rasakan dan tentunya dengan Mas Dewa di sisiku.

"Aku punya kejutan buat kamu sama baby kita." Mas Dewa membukakan pintu mobil untuk ku. Sikap don juan nya mulai tumbuh lagi.

"Kejutan apa?"

"Rahasia dong. Kalau di kasih tahu namanya bukan kejutan. Oh iya, tapi aku enggak pelit buat ngasih klue. Kejutan ini berhubungan dengan boneka kesayangan kamu, Leo si singa kecil!"

"Apa itu?!" Aku bersorak kegirangan. Oh, aku juga sudah merindukan teman kecilku itu.

"Lets see in our home!"

The Richie Hubby [Terbit Ebook]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang