17

386 33 0
                                    

Sepulangnya bekerja, Mas Dewa membawakan banyak sekali buku-buku panduan untuk ibu hamil sampai kiat-kiat khusus untuk parenting . Jumlahnya sekitar ada lima buah buku, padahal sebelumnya aku juga sudah punya satu set koleksi series bumil yang isinya ada buku bacaan, pamflet dan CD yang isinya ada senam juga.

"Buku ini nggak semuanya harus di baca, sayang. Buat selingan aja kalau kamu mau baca." Mas Dewa sibuk meletakkan buku-buku itu di rak.

"Oke," aku melihat salah satu bukunya dan nampaknya menarik,"Mas kalau misalnya aku ikut grup ibu-ibu hamil di kompleks gimana?"

"Boleh dong."

"Mas-Mas, kita udah lama banget loh nggak main ke rumah Mama. Tiba-tiba aku kangen sama rujak mangga buatan Mama."

Mas Dewa beralih menatapku."Nanti sore mau nggak?"

"Mau!"

"Siapin pakaian juga ya. Malam ini kita nginep, aku juga kangen makan sambal tomat di rumah kamu sekaligus kangen duel catur sama Papa."

Aku langsung berdiri dan memberi hormat."Siap Pak bos!"

Mas Dewa menggeleng sambil tertawa."Ada-ada aja kamu!"

                                          ***

POV DEWA

Selama setahun menjadi suami Flora itu rasanya benar-benar komplet. Lima puluh persen senang dan lima puluh persen lagi bahagia.

Yakin sesenang itu? Seratus persen yakin.

Flora itu cerewet tapi cerewetnya yang bikin kangen dan menghidupkan suasana. Kenapa aku memilihnya dari banyak perempuan, ya itu jawabannya. Dia itu sederhana tapi luar biasa.

"Ayo Mas, aku sudah siap!"

Ku lihat Flora sudah siap dengan satu tas ransel berukuran sedang yang isinya pakaian ku dan pakaiannya. Kami sepakat untuk menginap di rumah Mama malam ini.

"Mau mampir dulu nggak?" Aku menggandeng tangannya menuju ke mobil.

"Ke warung bebek goreng aja. Kebetulan Papa suka banget sama Bebek."

Perjalanan yang tidak terlalu panjang ini kami habiskan dengan mengobrol. Seperti yang aku katakan tadi, Flora itu bisa membangkitkan suasana.

"Mas? Sampai sekarang kok aku masih enggak nyangka kalau kamu yang bakalan jadi suami aku. Cowok paling terkenal seantero kampus, bad boy dan yang paling hangat di perbincangkan adalah gaya flirting kamu yang handal."

"Tapi kan aku jomblo dan kamu satu-satunya perempuan yang aku seriusin."

Aku melirik Flora yang sedang beringsut ingin mensejajarkan wajah kami. Pandangan kami bertemu.

"Mas, terus tahu darimana kamu alamat rumah aku? Masak waktu itu tiba-tiba ngapel ke rumah sampai bawa bala tentara lagi!"

Ya, aku ingat momen itu. Hari dimana aku mengajak teman satu geng untuk ngapel ke rumah Flora. Alasannya sih simpel, aku mengajak mereka karena tidak berani pergi sendirian. Meski ujung-ujungnya Flora justru menjauh dariku karena takut kena gosip.

"Ingat Lusia?"

"Lusia anak FE itu? Yang tinggi sama pakai kacamata itu?"

Aku mengangguk. Lusia itu satu fakultas dengan ku tapi dia satu organisasi dengan Flora.

"Dia informan aku, sayang. Kebetulan dia suka sama Andre, jadi aku kasih informasi soal Andre buat dia dengan syarat dia kasih info soal kamu ke aku. Adil kan?"

"Adil darimana nya. Itu curang tahu!"

Sampai di rumah Papa dan Mama Flora, aku membantu menurunkan tas ransel dan satu dus bebek goreng yang masih hangat. Melihat kami berdua, Papa langsung menyambut kami, meninggalkan semprotan untuk memandikan burung kenari nya.

"Harusnya telpon Papa dulu biar Papa siapin papan catur nya," gurau Papa sambil menepuk bahu ku.

Mendengar ramai-ramai di depan, Mama mertuaku keluar. Di tangannya ada rujak mangga yang sepertinya baru selesai di buat, sontak saja, Flora langsung menyerbunya.

"Firasat Mama itu enggak pernah meleset. Enggak ada angin enggak ada hujan, Mama tiba-tiba pengen bikin rujak mangga. Eh, ternyata si cucu mau berkunjung." Mama memeluk Flora dan aku menyalimi tangannya.

"Flora juga tiba-tiba kangen rujak mangga nya Mama. Aku juga main catur sama Papa," ujar ku sambil menyeruput kopi.

"Nanti malam kita duel, Wa. Yang kalah traktir durian!"

"Papa, enggak boleh makan durian!" Flora menghardik Papa.

"Eh, Papa, kita berdua bawa bebek kesukaan Papa loh. Makan malam yuk!" Flora berkata dengan semangat. Bagiku senyum di bibirnya sangat berharga.

Usai makan malam, Flora pamit ingin di ajari membuat kue sama Mamanya. Katanya sih kue yang resepnya hanya di ketahui oleh keluarganya.

Sedangkan aku menepati janjiku untuk berduel di bidak catur bersama Papa.

Papa yang mendapat giliran bermain terlebih dahulu sudah mulai menjalankan pion nya.

"Jadi Ayah itu enggak ada bukunya, Wa. Kalau ada pun Papa mau beli yang banyak biar jadi Ayah yang baik buat Flora." Tiba-tiba Papa menyeletuk.

"Karena enggak ada bukunya, kamu harus tahu satu hal. Jangan pernah mengekang kebebasan anak secara berlebihan. Mengontrol itu perlu tapi mengekang itu tidak baik."

Aku mendengarkan nasehat Papa dengan seksama.

"Papa juga dulu begitu, dalihnya mengawasi anaklah, ingin yang terbaik untuk anak lah, tapi hasilnya, Flora pernah merasa terkekang. Dia pernah protes karena Papa terlalu membatasi ruang geraknya. Alhasil, Papa belajar, lewat belajarlah Papa bisa mendidik Flora sampai sekarang."

Papa menyeruput teh hijau nya."Tapi terkadang sikap posesif itu masih ada. Terbukti saat Flora pulang ke rumah dan mengaku kamu selingkuh. Maaf waktu itu memukul tanpa meminta penjelasan."

Kami berdua tertawa. Aku menyadarinya, Flora adalah anak perempuan satu-satunya. Ibarat perhiasan, Flora adalah satu permata antik yang tidak bisa di tukar dengan apapun.

"Loh serius amat sih ngobrolnya?"

Aku dan Papa menoleh ke pintu. Flora dan Mama datang sambil membawa satu piring yang isinya kudapan. Dari wanginya saja, kelenjar liur ku sudah memproduksi saliva begitu banyak.

"Kue bolu tape ala Flora dan Mama sudah siap!"

"Wah, baunya enak. Papa mau coba dulu ah!"

Rasanya benar lezat, legit dan manis yang pas. Untuk mengapresiasi usahanya, aku berbisik,"Istriku emang juara."

Flora tersipu. Rona merah di pipinya membuatku ikut tersenyum.

"Kalian belum belanja perlengkapan bayi?" Mama bertanya.

"Beberapa udah di beli sama Mas Dewa. Untuk yang lainnya kalau enggak ada kendala, kayaknya minggu-minggu ini deh."

"Mas Dewa kan hobinya belanja." Flora tersenyum jahil ke arah ku. Rupanya dia ingin mengadu.

"Papa kamu juga waktu masih muda begitu, Flo. Semuanya kayak mau di beli."

Merasa terpanggil, Papa menghentikan permainan nya.

"Papa itu dulu orangnya nggak bisa romantis. Jadi begitulah caranya supaya Mama kamu terkesan. Tapi Mama kamu malah ilfeel."

"Sama dong kayak Mas Dewa! Boros banget tahu enggak sih Pa. Beli ini, beli itu. Iya sih pakai uang sendiri, tapi kan aku yang tiap hari lihat jadi pusing."

Aku berdehem rendah. Malu juga rasanya ketahuan sikap borosku.

The Richie Hubby [Terbit Ebook]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang