6

765 48 0
                                    

"Gimana, Pak?" Aku langsung menemui Pak Harto yang berdiri di depan rumah Melia. Entah kenapa aku tidak tahu.

"Anu Bu saya enggak berani dekat-dekat. Takut di gigit! Tapi di sana sudah di jaga sama pawang nya. Cuma mereka enggak sabaran. Nanyain terus gimana nasib ular-ular yang di beli sama Pak Dewa!"

Jangan kaget. Mas Dewa ku yang super aneh, ajaib dan kurang kerjaan itu katanya membeli satu ular sanca kembang yang tiba-tiba di kirim ke rumah. Aku tidak tahu motifnya apa yang jelas perbuatan Mas Dewa kali ini tidak bisa di maafkan.

Karena tidak tega membuat kedua pawang yang bertindak sebagai seller ular tersebut menunggu, aku segera beranjak.

"Permisi, Pak. Saya Flora istrinya Pak Dewandaru. Sebelumnya saya mau tanya terlebih dahulu. Apa benar suami saya yang membeli ular sanca ini?"

Kedua seller itu kompak mengangguk.

"Kalau Ibu tidak percaya kami bisa berikan bukti transaksi nya. Di sini tertulis nama Pak Dewandaru Alfian dengan alamat yang sesuai dengan rumah ini."

Aku meremat kedua tanganku. Gila kali ya Mas Dewa.

"Bagaimana, Bu? Apa ular nya boleh di masukkan ke dalam? Sudah di persiapkan kandang nya kan?"

"Jangan dulu, Pak. Tunggu suami saya pulang dulu. Lagi jalan kesini, Pak."

Waktu berputar, beberapa menit kemudian Mas Dewa datang dengan tergopoh-gopoh. Wajah nya menyengir kuda menatap ku dengan pandangan takut.

"Pak Dewa, ini ular pesanan anda. Apa perlu bantuan untuk memasukkan ke dalam?" tanya salah seorang seller berkepala plontos.

Mas Dewa melirik ku. Nyali nya langsung menciut ketika mataku melotot kejam ke arahnya.

"Biar saya bicarakan dengan istri saya terlebih dahulu, Pak. Bisa?"

Kedua seller ular sanca kembang itu mengizinkan Mas Dewa untuk berbicara kepadaku. Setelahnya, Mas Dewa menarik lembut tanganku untuk sedikit menjauh.

"Sumpah kali ini aku enggak bisa berkata-kata lagi sama kamu, Mas. Buat apa beli ular segede itu?"

"Sebenarnya kemarin aku ingat omongan kamu soal tikus yang akhir-akhir ini sering ganggu rumah kita. Yang bikin baju kamu compang-camping di lemari lama. Kita pernah coba buat kasih jebakan kan? Tapi hasilnya tetap sama. Tikus itu bahkan gigit sprei di kamar kita."

"Terus hubungan nya tikus sama ular apa, Mas?"

Mas Dewa menelan ludah nya dengan susah payah.

"Mungkin lebih efektif kalau nangkap tikus pakai ular."

Aku melongo hingga rahang ku terasa ingin jatuh ke tanah. Ini benar Mas Dewa yang ku kenal sebagai suami ku kan.

"Astaghfirullah! Fiks, kamu perlu di rukyah, Mas!"

"Terus gimana, Flo? Kamu kasih izin enggak?"

"Pikir aja sendiri!" Aku menjawab pertanyaan Mas Dewa dengan sewot. Bisa-bisanya Mas Dewa masih meminta izin kepadaku.

Kaki tidak beranjak dari tempat semula saat Mas Dewa berjalan gontai menemui kedua seller itu. Aku hanya menebalkan telinga saja untuk mencuri dengar pembicaraan keduanya.

"Ular nya tidak jadi di tempatkan disini, Pak. Nanti saya kasih alamat salah satu teman saya. Kebetulan dia kolektor reptil. Sebagai gantinya, saya kasih uang transportasi." Mas Dewa terlihat mengubek-ubek isi dompetnya dan mengeluarkan beberapa uang berwarna merah.

***

"Lagi masak apa, sayang?"

Mas Dewa memeluk ku dari belakang. Modus baru buat minta maaf nih sepertinya.

"Masak daging cincang."

"Tumben daging nya di bikin cincang biasanya juga di rendang atau di grill." Mas Dewa masih setia memeluk ku dari belakang.

"Lagi semangat cincang-cincang." Dengan sengaja aku memotong cabai dengan keras. Bunyi perpaduan antara pisau dan talenan membuat suara yang nyaring. Perlahan, tangan Mas Dewa yang semula memeluk ku erat langsung mengendur dan akhirnya terlepas. Suaranya mendadak gugup.

"A-aku mau ambil...iya ambil hape dulu di atas!" Sejurus kemudian Mas Dewa ngacir ketakutan.

Waktu bergulir cepat, dua jenis masakan yang ku buat sudah terhidang di meja makan dengan Mas Dewa yang sudah duduk. Sebagai kewajiban, aku langsung mengambilkan nasi dan lauk pauk ke piring Mas Dewa.

Jika biasanya Mas Dewa akan banyak berceloteh ini itu, kali ini berbeda, Mas Dewa cenderung diam. Bahkan wajahnya langsung salah tingkah saat matanya tidak sengaja berpapasan dengan ku.

"Mas?"

Sendok di tangan Mas Dewa jatuh. Sontak saja aku menahan tawa agar kesan serius masih terpatri.

"I-iya Flo?"

"Aku mau kasus ular sanca kembang ini jadi pembelian unfaedah kamu yang terakhir. Titik!"

Mas Dewa diam. Aku tahu dia pasti kesulitan menjawab nya. Mas Dewa dan hobi shopping nya itu jelas tidak bisa di pisahkan lagi.

"Janji?" Aku menantang nya lagi.

Akhirnya Mas Dewa mengangguk. Aku tidak maksud untuk melarangnya ini itu tapi kebiasaan Mas Dewa itu tidak bisa di benarkan. Membuang-buang uang untuk membeli sesuatu yang tidak perlu itu mubazir .

Setelahnya aku membiarkan makan siang ini berjalan dengan normal. Hingga kami sama-sama menandaskan makanan, Mas Dewa memulai obrolan.

"Sebenarnya kalau boleh jujur alasan tikus tadi itu cuma karangan aku."

"Gimana-gimana?"

"Tadi aku bohong sama kamu soal tikus yang jadi alasan aku beli ular. Kejadian yang sebenarnya itu bermula dari teman SMA aku yang butuh uang buat pengobatan anak nya. Dia butuh uang lima ratus juta. Aku beli ular dia buat bantuin."

Mendengar penjelasan Mas Dewa, aku justru teringat dengan mobil mewah yang baru di beli kemarin. Alasannya sama kan, sama-sama menolong teman.

"Teman SMA kamu? Berarti orang Jogja dong?"

Dulu, Mas Dewa memang bersekolah di Jogja karena ikut eyang nya di sana.

"Iya, namanya Randi. Dulu aku sama dia satu geng. Makanya waktu dia minta tolong, aku langsung bantu."

Mas Dewa mengunyah puding buah sebagai penutup.

"Anaknya kena leukimia. Selama ini sudah rawat jalan, kemoterapi dan prosedural kesehatan lainnya. Bisa di bilang semua harta Randi banyak yang terpaksa di jual untuk biaya pengobatan anaknya termasuk ular sanca kembang peliharaan nya."

"Maaf aku enggak diskusi dulu sama kamu. Semuanya berlangsung cepat. Itu pun kami bertransaksi lewat ponsel dan dua orang yang tadi kesini itu sebagai perantara. Aku bayar 400 juta dari harga yang di tawarkan 375 juta. Itung-itung bantu keluarga Randi."

Kali ini aku terharu. Aku jadi tidak heran kenapa beberapa rekan Mas Dewa yang kebetulan kenal dengan ku menyebut Mas Dewa sebagai Dewa penolong. Ternyata suami ku ini benar-benar penolong. Hatinya sangat baik.

"Mas? Ini perlunya komunikasi antara suami istri. Supaya aku enggak salah sangka terus sama kamu. Trust me, everything will be fine if we get used to communication. understand?"

"Sorry for that, next time I promise to discuss with you whatever it is."

The Richie Hubby [Terbit Ebook]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang