Brother's hatred

183 15 3
                                    

Suara petir begitu menggelegar menusuk telinga. Kilatan putih yang berulang membuat jalanan gelap terang telah basah diguyur badai hujan cukup lebat mengiringi Bugatti La Boiture Noire yang melaju kencang menyapu air di aspal.

Mobil itu mengeluarkan suara decitan rem mendadak, rumah sakit hampir saja terlewat. Mi Le kian menghentikan mobil di basement parkir rumah sakit. Menutupkan pintu mobil cukup kencang, tangan kirinya di balut jas berwarna mocca yang menyampai. Celana berwarna senada juga kemeja putihnya bercorak gelap karena basah, pun rambutnya. Tak terlalu rapih tertata karena sempat terhenti di toko bunga pinggir jalan kota yang mengharuskan dirinya menyebrang keluar dari kuda besi.

Tak pernah lupa membawakan bucket bunga. Tapi kesibukannya hari ini membuat dirinya cukup lelah hingga beberapa tangkai bunga segar yang tertata rapi dalam balutan tertinggal di kabinet pribadi perusahaan.

Membawa tungkai kaki menyusuri lorong rumah sakit yang telah sepi. Ini jam 1 dini hari, pencahayaan juga tak menerangi maksimal. Gelegar petir yang belum juga berdamai menemani langkah cepatnya dengan bucket bunga di tangan kanan, hanya suara detukan pantofel yang menghidupkan suasana rumah sakit kian. Derapan kaki terhenti di depan ruang perawatan VIP. Tangannya meraih handle pintu, matanya terpejam khawatir menaruh harapan besar jika sang terkasih telah sadarkan diri dari tidur panjangnya.

Kedua mata yang terbuka hampir dikejutkan. "Sial, hanya dokter." Mi Le melanjutkan langkah memasuki ruang yang menjadi tempat tinggal Wilona sekarang.

Pria berjas putih itu merogoh kantungnya, diambilnya sebuah stateskop, satu per satu bagian tubuh Wilona diperiksanya.

"Kondisinya makin membaik, tuan. Jika tidak mengalami penurunan, dalam 24-48 jam istrimu akan segera tersadar." Jelas seorang yang profesinya kerap di sebut sebagai malaikat berjubah putih. Setelahnya dokter itu melenggang.

Mi Le mendekat ke arah ranjang, menaruh  rumpun bunga terikat bucket di laci putih yang hanya ditempati sebuah lampu. Menjatuhkan bokongnya ke kursi di samping ranjang.

"Wilona, aku sangat lelah hari ini. Bisakah kau memeluk ku sebentar saja?"

Kedua mata nya mulai berbinar. Menahan lara hati dan otak yang tak kunjung berdamai, rasa lelah di tubuh hanya makin memperparah. Mi Le terus memandangi wajah kesayangan, tangannya menjulur mengelus lembut kening Wilona. Menatapinya dengan seribu satu harapan Wilona akan kembali ke pelukannya.

"Tenanglah, kau akan segera keluar dari mimpi buruk ini. Aku sungguh bersumpah tidak akan pernah membiarkan mu menderita. Meski setipis goresan kuku aku tidak rela kau terluk, lagi." Mi Le beranjak dari duduknya, menjatuhkan ciuman sekali lagi pada kening lantas melenggang meninggalkan Wilona terbaring sendiri. Sebetulnya Wilona tak benar benar sendiri. Dua bodyguard selalu sigap berjaga di depan pintu ruangan itu, namun Mi Le tak membiarkan seorang pun masuk tanpa izin nya.

Langkah nya terarah ke lorong pintu keluar rumah sakit, tangannya berkutat dengan benda pipih di tangan. Menggeser ikon hijau sebuah panggilan.

"Aku sudah mengirimkan lokasinya."

Jalannya yang santai berubah terburu buru. Matanya menoleh malas ke seluruh penjuru rumah sakit itu, tangannya sibuk mencopot sebuah earphone yang baru saja dikenakannya.

Tiba sudah waktunya. Besok hari akan menjadi mimpi buruk kedua kalinya jika sampai Glen yang akan mengambil alih seluruh bisnis Keluarga Louise.

Bugatti La Boiture Noire terhenti di tepi jalan yang sangat sepi dari insan. Mi Le sendiri terduduk di kursi kemudi. Mata tajamnya mengawasi sekitar seperti tengah berjaga. Beberapa saat tiga mobil jeep melintasi Mi Le. Dia langsung menyalakan mesin mobilnya dan mengejar ketiga jeep itu.

Kesayangan CEO Tampan (ON-GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang