(4) - Hujan meteor di langit Penataran

24 1 0
                                    

Suara azan Ashar sayup-sayup terdengar di area Candi Penataran. Berjajar kios pernak pernik kerajinan dan oleh-oleh khas Blitar. Juga penjaja makanan dan minuman tak jauh dari pintu masuk. Birawa duduk di tumpukan batu bata penahan material pasir milik warga di samping pintu masuk Candi. Menatap lalu lalang pengunjung dengan penuh harap bergumam,

"Sudah sore, Dito dan Agung belum juga datang. Apa mungkin lupa?"

Bola matanya liar mencari kedua temannya di antara pengunjung yang datang dan pergi, tak jauh dari pintu masuk Candi Penataran yang di jaga 2 patung dwarapala raksasa. Sambil telapak tangan kanan memainkan gerakkan melingkar di atas permukaan pasir terus menerus di panas terik. Sementara penjual es degan menatap memperhatikan.

"Birawa!" teriak Pak Wito penjual es degan tetangga samping rumahnya.

Birawa menoleh tak menjawab, tetap menggerakkan telapak tangannya.

"Sudah sore! 1 jam lagi Candi Penataran akan tutup, lo!"

"Oh..., iya!" Berdiri menatap Pak Wito sambil membersihkan pasir yang menempel dengan gerakan cuci tangan.

"Terima kasih, Pak."

Pak Wito tersenyum melihat punggung Birawa makin menjauh. Tampak jelas pasir hitam masih menempel pada seluruh permukaan telapak tangan kanan Birawa, tak mengusik perhatiannya. Tapi memandang kagum, masih kecil sudah bisa membantu ekonomi keluarga. Saat mengalihkan pandangan, pasir itupun luruh dengan sendirinya.

Tak mematahkan kekagumannya pada Candi Penataran, memantapkan langkah menyusuri sisi kanan dinding candi induk. Melihat gambar relief pada batu andesit. Tak sadar dirinya masuk dipersimpangan dimensi lebih tinggi bernuansa sunyi dan hampa. Meski banyak pengunjung lalu lalang di dekatnya. Asyik dengan dunianya sendiri menyusuri sisi kiri dinding Candi induk. Langkah terhenti tatkala melihat seberkas sinar putih kebiruan bagai kunang-kunang bergerak mengelilingi jalur relief Surya Majapahit pada batu andesit. Makin lama bergerak makin cepat menyilaukan mata. Ketika hendak mendekat, sinar melesat menghantam dada.

"Addduh! Saaaakit!" erangnya.

Refleks kedua tangan mendekap dada terasa ampek dan panas. Seperti kena hantam benda keras. Sinar perlahan tenggelam dalam tubuh, menyebar melalui 10 pasang tulang rusuk menuju ruas-ruas tulang belakang dan terbenam dalam sumsum tulang belakang.

Tampak dihadapannya berdiri entitas astral sang Begawan dengan tubuh membungkuk menatap. Jubahnya putih diselimuti sinar aura putih kebiruan terpancar kewibawaan. Sementara pengunjung semakin mengular menuju pintu keluar meninggalkan Candi Penataran.

"Birawa! Candi Penataran sudah berabad-abad lamanya menunggu dalam bisu. Tapi tahu, hanya memendam kisah masa lalu. Sekarang telah mendapatkannya. Sesuatu dariku sudah kutitiskan padamu. Yaitu kekuatan energi inti berupa berkas sinar putih kebiruan."

Belum tuntas mendengar, Birawa jatuh pingsan bersandar pada dinding Candi induk. Tapi sempat menatap sosok kakek berjenggot putih penuh wibawa dengan sorot mata peneduh. Meski banyak kerutan pada kulit wajah, terpancar belas kasih. Seketika entitas astral dan dimensi yang lebih tinggi pun hilang bersama sirnanya selimut kabut tipis yang menyertai. Relief Surya Majapahit pada Candi Induk berubah menjadi relief binatang. Mendung di langit Penataran semakin gelap. Kilat akar serabut merambat di tebalnya mendung hitam, di ikuti bunyi gemuruh di angkasa. Birawa tersadar, perlahan membuka mata melihat tubuhnya basah oleh rintik hujan.

"Mimpikah ini?" Sejenak tertegun mengedarkan pandangan ke segala arah. Sepi tak ada lagi pengunjung. Derasnya hujan mengiringnya menuju pintu keluar.

"Untung pintu keluar belum ditutup," gumamnya dalam hati.

Tampak hujan meteor melintas di langit Penataran menuju Timur Laut. Bagai bara api menerjang mendung, hilang entah ke mana jatuhnya. Salah satu meteor besar terlihat terang berselimut trasparan, bagai seekor naga hilang dalam gumpalan mendung tebal.

Nusantara bangkitlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang