(10) - Dokter Ayu

12 1 0
                                    

Gemerlap kota Surabaya tak menyurutkan warganya beraktifitas di tengah malam. Terlihat mobil mercy hitam metalik berhenti menurunkan penumpang di depan pintu masuk perumahan mewah.

"Hei, Leon! Lama tidak kelihatan. Sudah jadi boss rupanya...!" sapa satpam perumahan mendekat.

Melihat Leon seperti tidak enak badan, bertanya,

"Kamu sakit? Wajahmu terlihat pucat!"

"Uhuk huk huk huk...! Iya, tidak enak badan. Pak Parman, tolong antar saya sampai rumah!" Pura-pura batuk berusaha menutupi wajah dengan kedua telapak tangan yang tampak menggigil kedinginan. Tak ingin diketahui efek samping dari narkotika yang dikonsumsinya.

"Oke, boss! Ojek perumahan siap melayani!" Kembali ke pos jaga mengambil motornya terparkir di samping. Leon berjalan sempoyongan mengikuti dari belakang.

Motor matix selalu bersih terawat di stater dengan mudah siap mengantar. Menatap temannya di dalam pos jaga dan berseru,

"Riko! Tolong jaga pos sebentar! Aku antar Leon ke rumahnya. Kelihatannya dia sakit."

"Siap," jawab Riko. Melihat pensiunan Angkatan Darat meninggalkan pos jaga mengantar Leon.

Menyusuri jalan perumahan mewah bergaya Eropa klasik tampak sepi ditemaramnya lampu taman depan rumah warga hingga berhenti di depan pintu pagar besi rumah mewah.

"Terima kasih, Pak," ucap Leon turun dari motor. Melihat Pak Amin ART nya terlihat menahan kantuk membukakan pintu pagar.

"Cuma terima kasih, boss!"

"Oh..., nih!"

Pak Parman membungkuk menerima uang lembaran dari tangan Leon, berkata,

"Terima kasih, Boss. Hawa dingin kayak gini enaknya dibelikan arak londo, Boss!"

"Apa itu arak londo? Kok baru dengar?" tanya Leon penasaran. Karena hampir semua minuman berbau alkohol sudah dia nikmati.

"Kata orang Jawa di jaman penjajahan Belanda, arak londo itu ya minuman beralkohol." Sekilas melirik jumlah lembar uang dalam genggaman menyunggingkan senyum. Pandangan matanya hanya sebatas mengantar Leon yang berjalan sempoyongan sampai masuk rumah.

"Leon! Sini, nak!" panggil papanya. Leon terkejut berhenti terpaku tak menoleh. Mengetahui Papanya duduk di sofa di temarannya ruang tamu. Tapi matanya tetap menatap ke depan ruang keluarga tanpa sekat di terangnya cahaya lampu. Untuk bisa sampai ke belakang kamar tidurnya.

"Besok saja, Pa. Capek." Menunggu reaksi Papanya.

"Leon!" panggilnya sekali lagi. Bangkit berdiri menatap Leon tak bergeming.

"Tidak biasanya kamu seperti ini! Kemarin sekali pergi 3 hari tidak pulang! Sekarang makin parah! 1 minggu tidak ada kabar! Tahu-tahu pulang! Sekalian tidak pulang sama sekali! Puaskan sana hawa napsumu! Papa sudah capek!" bentaknya.

Mendekati anaknya yang diam tertunduk, hatinya merasa bersalah berusaha menahan amarah. Menggapai pergelangan tangan kiri anaknya dengan lembut bertanya,

"Sebenarnya ada apa dengan dirimu? Ayo, duduk sana. Papa mau...."

"Kamu kira aku ini siapa? Hah!" potong Leon membentak. Tak tahan mendengar omelan Papanya. Berusaha berontak menarik lengan.

Bagai disambar petir di siang bolong, emosi Papanya memuncak mencengkeram makin kuat. Menampar pipi anaknya dengan keras hingga memalingkan muka. Tapi Leon seakan tak merasakan sakit. Perlahan menoleh menatap nanar balas mencengkeram.

"Aduh, sakit." rintihnya pelan. Terdengar tulang hasta dan pengumpilnya patah.

Sejenak menatap tajam tanpa belas kasihan, meninggalkan Papanya kesakitan.

Nusantara bangkitlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang