"Tung... tung... tung... tung... tung... tung... tung... tung... tung... tung...!"
"Jam 10 malam," ucap Birawa bicara sendiri. Sempat menghitung bunyi kentongan terdengar sayup-sayup dikejauhan.
Menyusuri teras terbuka sebuah bangunan tua tepat di pinggir rel kereta api. Pada tembok atas terpampang papan nama bertuliskan Stasiun Mrawan. Tampak sepi tak ada satupun calon penumpang dan petugas yang berjaga. Kembali menyusuri bantalan rel kereta api yang mulai lengkung ke kiri makin jauh meninggalkan Stasiun Mrawan.
"Kelihatannya di depan ada terowongan kereta api lagi," gumamnya. Melihat lubang gelap di kejauhan.
Semakin mendekat terlihat jelas terowongan Mrawan terkenal akan keangkeran sekaligus terpanjang di Jawa Timur. Birawa masuk terbenam dalam gelap. Menyeruak seberkas sinar merah dari batu merah delima pada warangka keris. Cukup jauh berjalan beberapa kali kakinya menginjak genangan air dan terdengar suara tikus berkeliaran. Remang-remang ujung terowongan mulai terlihat. Semakin jauh meninggalkan ujung terowongan, melihat seseorang berjalan tertatih di remangnya lampu jalan makadam di bantaran rel. Asap rokok membumbung di atas kepalanya.
"Kek... Kakek!" seru Birawa semakin mendekat menghentikan langkahnya.
Susah payah membalikkan badan, tetapi matanya masih awas menatap pemuda tak dikenal dihadapannya.
"Kek, udara malam tidak baik untuk kesehatan."
"Ngopi di warung sambil ngobrol sampai larut malam sudah biasa, Nak."
Kulit keriput terlihat jemari tangan gemetar masih menjepit puntung rokok klobot (daun pembungkus tongkol jagung yang sudah kering jadi pembungkus tembakau) di depan dada. Sekali lagi menikmati hisapan rokok terakhir, dibuang begitu saja dekat kakinya. Tangannya berusaha membetulkan sarung yang hampir lepas, mengepul asap keluar dari hidung dan mulutnya
"Bangunan terang di depan sana, apakah Stasiun, Kek?"
"Iya, nak. Itu Stasiun Kalibaru."
"Dari sini kalau ke Alas Purwo apa masih jauh?"
"Masih jauuuh! Besok naiklah kereta api di Stasiun Kalibaru. Kamu bisa menuju ke Banyuwangi, di Stasiun pemberhentian terakhir. Kakek semasa muda pernah jalan kaki dari sini ke Alas Purwo. Lebih mudahnya, ee...," ucapnya tak tuntas. Diam sejenak menengadah menatap langit mencari petunjuk.
"Itu..., itu...! Rasi bintang kalajengking. Untung bintang bersinar terang tampak jelas. Ikuti petunjuk ekornya ke arah tenggara. Kalau kamu jalan kaki mengikuti petunjuk itu, mungkin besok sore baru sampai."
"Terima kasih, Kek."
Emmm...," ucapnya mendehem. Tetap diam berdiri menatap punggung Birawa semakin jauh.
"Plok... plok...!" Tepuk tangan Birawa memberi isyarat.
Terdengar kepak Katuranggan terbang sayup-sayup mengoyak rimbunnya dedaunan dengan elegan membentangkan sayapnya meluncur cepat dan hinggap di pundak kiri tuannya. Memantapkan langkah menyusuri bukit dan lembah, jauh meninggalkan Stasiun Kalibaru, mengikuti petunjuk rasi bintang kalajengking. Tak terasa pagi menjelang, berhenti sejenak mengedarkan pandangan.
"Katuranggan pergilah ke hutan, nanti tiba saatnya aku panggil. Di depan sana, kita sudah memasuki perkampungan." Menatap Katuranggan terbang menghilang di rimbunnya pepohonan. Mengayunkan langkah menuju warung makan dekat pangkalan ojek di pertigaan jalan desa.
"Permisi." Menunduk numpang duduk di antara bapak-bapak yang duduk di dalam warung.
"Bu, Makan! Minumnya teh hangat," pintanya.
Warung tak semata tempat orang datang untuk makan dan minum kopi saja. Lebih dari itu. Saling mengakrabkan berbagi pengetahuan dan kegotong royongan. Juga menjadi tempat tawar menawar seorang makelar untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Kepulan asap rokok makin terasa menyesakkan melebihi ambang batas polusi. Obrolan makin seru dan sesekali diselingi tawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nusantara bangkitlah
Science FictionPrototype temuan LIKNUS terinspirasi dari 2 pemikiran. Yaitu DNA dan Tower Wardenclyffe Tesla. Tercipta manusia super di bawah naungan Dephan. Berkat ilmu warisan leluhur, Birawa (18 th) resign dari Museum Trowulan mengembara mendaki gunung Arjuno...