(35) - Stasiun Kotabaru, Malang

8 1 0
                                    

Birawa berjalan jauh meninggalkan lereng Gunung Arjuno dengan ransel di punggung sambil menenteng keris terbungkus kain hitam. Tak terasa memasuki jalanan kota Malang. Menyusuri jalur pedestrian yang sejuk kendati siang ramai kendaraan lalu lalang. Tak terlihat Katuranggan di pundak kirinya. Dari informasi yang di dapat di setiap perjalanan, mengarah ke Stasiun Kotabaru Malang semakin dekat.

"Pak, numpang tanya?" Menatap tukang parkir terkesiap. Melipat kembali koran yang sempat dibaca. Menatap pemuda dihadapannya.

Sedang temannya yang duduk disamping hanya diam menoleh melanjutkan bersuap nasi bungkus di dekat pintu keluar tempat penitipan sepeda motor yang dijaganya.

"Stasiun kotabaru Malang, apa masih jauh, Pak?" tanya Birawa sekali lagi.

"Tuh...! Lurus aja, 50 m dari sini." Telunjuknya memperjelas tempat yang dimaksud. Tapi pandangan Birawa terhalang banyak pejalan kaki di jalur pedestrian.

"Terima kasih, Pak." Dibalas dengan anggukan.

Menatap Birawa berjalan di antara banyak pejalan kaki di depannya. Di sisi kiri berjajar toko oleh-oleh dan warung makan ramai pembeli. Sebelah kanan berjajar mobil dan sepeda motor parkir di pinggir jalan raya Trunojoyo. Sedang di seberang jalan ramai tukang ojek menunggu orderan penumpang. Birawa melangkah masuk stasiun mengedarkan pandangan. Sejenak menatap bangunan besar nan luas bergaya kolonial. Mencoba ikut dalam antrian di loket, tak sengaja melihat jam dinding menunjukkan pukul 14:00 WIB.

"Petunjuk di papan keberangkatan, kereta api Tawangalun tujuan Banyuwangi berangkat pukul 16:00 WIB. Lebih baik aku menunggu di dalam," gumamnya. Tiket siap di tangan ikut antrian masuk pintu pemeriksaan.

Duduk di jalur keberangkatan dengan kedua kaki mengapit tas ranselnya. Keris terbungkus kain hitam terlihat dalam pangkuan. Tampak sepi tak banyak calon penumpang. Melihat petugas porter membantu seorang ibu bersama kedua anaknya yang masih kecil membawakan barang bawaan menuju tempat duduk di baris depan.

"Ooo..., dari pihak stasiun sudah menyediakan petugas untuk membantu kenyamanan calon penumpang," gumamnya dalam hati.

Sekali lagi memperhatikan kedua anak tersebut mondar-mandir di depan ibunya dan sesekali berlari kecil berkejaran. Mengalihkan pandangan melihat petugas Polsuska (Polisi Khusus Kereta Api) berpakaian khusus tampak rapi. Terlihat dari gerakan kepala, matanya berkeliaran mengawasi situasi keamanan di dalam stasiun. Tiba-tiba telepatinya menangkap pesan di saat kereta api Tawangalun yang membawa 5 gerbong berhenti dihadapannya. Gerbong bercat warna putih terdapat garis orange, tertempel papan nama bertuliskan KA Tawangalun.

"Terima kasih, Birawa. Aku sudah sembuh," ucap Micel di lubuk hati. Tak sengaja gelombang alfa telepatinya mengirimkan pesan itu sampai ke Birawa. Tak kedip menatap satu per satu pengunjung Museum Nasional Indonesia menuju pintu keluar dari kejauhan. Tinggal beberapa menit lagi Museum segera tutup.

"Syukurlah, Kak Micel sudah sembuh," sahut Birawa lewat telepati. Bangkit berdiri melangkah masuk gerbong kereta api yang tak lama lagi akan berangkat.

Mendengar jawaban begitu jelas dari belakang, spontan Micel menoleh ke belakang dengan wajah berseri. Namun sial, bertatap muka dengan seorang pengunjung bapak paruh baya sedang ditemani istrinya. Tertegun keduanya saling pandang tak saling kenal.

"Ada apa, nak?" tanyanya. Menyunggingkan senyum ramah, terlihat dari kumis tebal sedikit mengembang.

"Eee..., maaf."

Bapak paruh baya hanya menatap Micel menahan malu, pergi menjauh. Gerak tubuhnya mengisyaratkan pada istrinya kalau tidak kenal. Berjalan bergandengan tangan menuju pintu keluar.

***

Kereta api Tawangalun

Perlahan kereta api Tawangalun meninggalkan stasiun. Nyala lampu gerbong tampak terang. Ramai orbolan penumpang terangkum dalam suasanan. Di balik jendela, pemandangan terlihat mulai gelap. Malam makin larut. Kereta api memperlambat laju, terlihat gemerlap lampu rumah penduduk di bantaran rel kereta api yang dilewati. Kereta api terus menderu sesekali membunyikan klakson ketika hendak mencapai persimpangan jalan. Sebagian penumpang tidur lelap. Birawa merasakan suasana gerbong 3 yang ditumpangi mulai sepi.

"Kira-kira kita sudah sampai mana, Pak?" tanya Birawa. Pada pria paruh baya duduk dihadapannya. Samar terlihat hamparan sawah luas digelapnya malam dibalik jendela kaca gerbong disampingnya.

"Kita tadi baru saja meninggalkan stasiun Jember, Mas." Mencoba melihat jam di ponselnya.

"Sekarang sudah menunjukkan pukul 20:30 WIB. Sebentar lagi memasuki kawasan perbukitan hutan Gumiter." Obrolan terhenti sejenak. Sekali lagi memperhatikan Birawa membawa ransel kemah besar dan memegang sesuatu seperti tongkat terbungkus kain hitam terapit di kedua paha.

"Hendak kemah ya, Mas?"

Belum sempat menjawab kembali ditanya,

"Ke padang rumput Sadengan atau ke Alas Purwo?"

"Ke Alas Purwo, Pak." Sesekali menyandarkan kerisnya ke bahu.

Menghidupkan kembali obrolan yang sempat vakum. Tetapi pemuda yang duduk di samping kanan sudah tertidur lelap. Langit bertabur bintang. Kereta api terus menderu menarik 5 gerbong membelah gelapnya malam. Melewati hamparan tanah lapang, jauh dari rumah penduduk. Kereta api mulai menanjak mengurangi kecepatan, memasuki kawasan perbukitan hutan Gumiter.  Terlihat seekor ajag berbulu hitam keabuan melompat turun dari antara sambungan lokomotif dengan gerbong 1 .

"Bauuuuuung...!" Sayup terdengar lolongan. Diikuti lolongan saling bersautan. Seakan memanggil kawanan untuk membantu menangkap mangsanya.

Sebagian penumpang tertidur lelap diombang-ambingkan guncangan gerbong. Birawa mendengar obrolan kedua bapak paruh baya duduk dihadapannya. Keris sepanjang 110 cm masih tegak di antara kedua paha tak pernah lepas dari genggaman. Seperti memegang tongkat pramuka terbungkus kain hitam.

"Aku merasakan ada aura jahat makin mendekat. Sepertinya dari lolongan serigala-serigala lapar jauh di belakang," gumamnya dalam hati. Kereta api terus melaju membelah malam.

***

Nusantara bangkitlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang