(49) - Kesatria bergitar

8 1 0
                                    


Suasana pagi jalan Raya Dharmawangsa, Surabaya tidak terlalu ramai. Tampak Jimmy memarkir sepeda motornya di warung kopi. Dengan tenang melangkah masuk berusaha membetulkan posisi topinya, terselempang gitar di punggung.

"Kopi tubruk satu, Mas!" pinta Jimmy setengah menunduk.

Belum sempat dijawab, seseorang dari belakang, menyapa,

"Enggar! Kopi 3! Dan tolong gorengan di depanmu bawa sini!" teriak pelanggan pada teman akrabnya.

Duduk bersama kedua temannya dalam 1 meja. Enggar mengacungkan jempol tinggi-tinggi, teriak,

"Beres." Tahu kesukaan teman-temannya.

Jimmy mendengar menoleh. Menatap 3 orang asyik ngobrol tak memperhatikan dirinya, dalam hati berkata,

"Lukman, Robert dan ooo..., rupanya kau, Panjul. Tempat ini masih seperti dahulu. Menjadi tempat berkumpul teman-teman pendaki gunung." Kembali menatap pemilik warung.

"Mas! Kopi tubruk, Mas!," pinta Jimmy sekali lagi. Melihat foto digital printing ukuran besar bergambar pemandangan gunung Arjuno dalam bentuk landscape menempel di dinding. Tepat di belakang Enggar yang sibuk menyeduh kopi pelanggan.

"Oke, Mas! Sampai lupa. Maaf, ya," jawab Enggar menatap tanpa curiga. Dikira pengamen mampir ngopi.

Jimmy duduk di bangku berjarak 5 m dari mereka bertiga. Gitar dibiarkan terselempang di belakang.

"Ini mas kopinya," sapa Enggar.

"Tolong panggilkan Robert, Lukman dan Panjul ke sini. Dan Kau Enggar jangan repot-repot melayani pembeli. Biar anak buahmu saja," pinta Jimmy lagaknya seorang atasan memanggil bawahan.

Enggar sejenak mengamati wajah orang dihadapannya dan berkata,

"Asem kau Jimmy! Benar ini kau Jim?"

Lukman dan Robert mendengar, menatap ke arah Enggar. Sementara Panjul asyik main game football nya. Robert berdiri melangkah mendekat.

"Klub Arjirang (Arjuno Welirang) masih lanjut?" tanya Jimmy. Dengan santainya terus mengunyah dan memasukkan kacang goreng ke dalam mulutnya.

"Tak pernah surut," jawab Enggar masih tetap berdiri. Robert berhenti di belakang menatap belum bisa mengenali. Tapi Enggar memberi kode gerakan kepala mengarah ke Jimmy.

Baru 3 langkah melihat Jimmy menoleh, Robert seketika pangling dengan kawan lama.

"Eeh..., ketua!" Saling jabat tangan. Enggar pun menyusul jabat tangan. Lukman merespon saat Jimmy menatapnya. Refleks tangannya menepuk punggung Panjul dengan keras sampai teriak,

"Ad... duh!" Menahan sakit.

"Kok pikir boyok iki kasur opo?" (kamu kira punggung ini kasur apa?) Membuyarkan permainan gamenya.

"Jimmy masih hidup, Njul!" Meninggalkan Panjul diam tertegun menatap Jimmy. Mulutnya yang terbuka lebar menjadi tontonan teman-temannya.

"Kalau ada pancing, mantap ini! Mata kail pasti mengenai mulut tombronya?" canda Robert mengetahui Lukman mendekat. Panjul tersenyum menyusul bergabung.

"Eealah...! Pangling aku!" celetuk Panjul dengan rambut di kuncir.

"Rambut panjangnya mana Bos? Lagi bosan?" candanya. Seakan tak percaya, Jimmy yang dahulu dia kenal kini ada dihadapannya. Mengambil kursi ikut bergabung.

"Kau ini bagai Kesatria gunung yang baru saja turun. Kami sangka kau mati, tidak tahunya muncul di sini," candanya sekali lagi.

"Tidak tepat kalau dikatakan kesatria gunung, Njul! Lebih cocok kesatria bergitar. Tuh lihat! Ke mana-mana gitar selalu dibawa!" sahut Lukman tertawa sendirian.

Nusantara bangkitlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang