(8) - Insiden

14 1 0
                                    

LIKNUS (Lembaga Ilmu Komputer Nusantara)

"Wowww...! Tempat ini tidak seperti sebuah klinik kesehatan. Dari mulai depan gedung NOS DNA, sampai masuk lobi terkesan futuristik. Disambut lukisan pemandangan menghampar sawah nan luas terlukis gubug kecil di sana. Lukisan bergaya naturalisme seakan hidup dengan ukuran 3 m X 1,5 m menempel pada dinding bercat putih. Sungguh amazing," ungkap dokter Arya bicara sendiri. Keliling lobi sekedar melihat-lihat, bersama pasien hilang ingatan disampingnya.

Di luar hujan deras mengguyur kota Malang. Jam dinding menunjukkan pukul 10:30 WIB. Silih berganti pasien dipulihkan ingatannya.

"Pasien atas nama Arya!" panggilnya. Terdengar lewat speaker di ruang tunggu.

Dokter Arya menggandeng pasien masuk. Petugas masih mencatat di lembar kertas, tak memperhatikan kehadiran pasien sudah di depan meja kerjanya. Perlahan menegakkan kepala sejenak tertegun.

"Si lah kan duduk," ucapnya berjeda. Dokter Arya diam terpaku saling pandang, mencoba mengernyitkan dahi memastikan.

"Dengan Ibu Keyna?" Tak sedetikpun berkedip memandang pipi halus nan tembam dengan rambut hitam tergerai sebahu.

"Ya." Hanya sepenggal kata terucap. Berusaha menutupi getaran hati tak berani menatap dokter Arya yang menggoda. Perlahan Arya mengambil sikap duduk.

"Makin uhhh..., cantiknya," gumamnya dalam hati memandang pipi yang mulai merah merona.

"Senyum tipisnya, uiihh...! Sungguh menawan," gumamnya sekali lagi.

Keyna melirik pasien, berusaha menghindari tatapan Arya.

"Entah mengapa hatiku merasa bergetar saat dia menatapku dengan binal," gumam Keyna dalam hati.

"Bapak Arya!" seru keyna dengan artikulasi nada suara yang kuat penuh percaya diri, guna menghindari rasa gugup.

"Ya. Seperti janjiku kemarin. Dan ini pasien saya." Tangan kirinya mengusap kepala gundul pasien bagian belakang. Pikirannya mengembara membuka kenangan lama.

"Wajahnya makin cantik. Dan manisnya tak berubah. Tapi, makin padat berisi. Mungkinkah ini tandanya wanita kalau sudah punya anak?" gumamnya dalam hati.

Pasien mulai dihinggapi rasa takut, melihat ruang kaca menyerupai potongan pipa berdiameter 3 m tertulis NOS DNA. Di dalam terdapat sebuah kursi, seperti kursi pasien sakit gigi.

"Pak Arya. Tolong barang berbahan metal yang ada pada pasien dilepas," pinta Keyna serius.

"Pasien saya bersih dari barang tersebut, Bu."

"Kalung yang dikenakan itu apa, Pak?" Penasaran mengetahui ada sesuatu yang tersemat di leher pasien.

"Ooo, kol buntet." Hampir lupa kalau pasien masih mengenakan kalung.

"Kalungnya Bapak amankan, ya? Setelah selesai, Bapak kembalikan."

"Ya, Pak." Pasrah menyerahkan kalungnya.

"Apa itu kol buntet?" tanya Keyna polos.

"Fosil siput yang sudah membatu," jawab Arya. Langsung dimasukkan ke dalam saku celana.

"Ooo...." Melangkah mendekati pasien dan berkata,

"Adik, jangan takut. Rileks saja. Saatnya masuk ruang kaca." Menuntunnya memasuki ruang kaca.

"Duduklah. Alat ini tidak membuat kamu sakit, bahkan terasa nyaman."

Memasang beberapa alat ke tubuh pasien. Sekali lagi Keyna cek ulang memastikan sudah terpasang dengan benar.

"Tetap tenang, ya!" Meninggalkan pasien sendiri.

Pintu kaca menutup dengan sendirinya. Petugas di ruangan khusus mulai memprogram untuk distimulasikan pada pasien dan klik enter. Monitor pertama terlihat tampilan NOS DNA (Nusantara Operating System DNA) dan tampilan di layar monitor kedua masih terlihat samar-samar. Makin lama makin terlihat jelas kejadian terakhir pasien mengalami kecelakaan terekam jelas.

Nusantara bangkitlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang