(42) - Tangisan mengancam

8 1 0
                                    

Bogor, Jawa Barat

"Ini asyiknya kalau ikut touring! Menikmati indahnya alam puncak Bogor. Maklum, di desaku sana gak ada acara seperti ini. Langka kali, ya!" ungkapnya polos dihadapan teman-temannya. Yang lain asyik dengan obrolan masing-masing.

"Gini nih, kalau punya teman touring culun abis! Logat aslinya medok...! Gembrot! Tak punya body, lagi!" Dengan lagak perlente ala punk. Tubuhnya kurus terlihat dari pakaian ketat yang dikenakan. Sukanya mengejek dan merendahkan teman lainnya. Berjajar tindik di telinga dan di hidung menunjukkan keakuannya.

"Hahahahahaha...! Hahahahahaha...!" tawa teman-temannya.

8 sepeda motor di parkir di samping, terkesan tak rapi dengan standar masing-masing tak jauh dari lapak penjual buah-buah segar. Hawa dingin memberi kenikmatan tersendiri dari setiap hisapan rokoknya. Dimanja pemandangan kebun teh di lereng bukit menjelang siang. Bersenda gurau melepas lelah di ramainya lalu lalang kendaraan.

"Motormu kenapa, Lukman?" tanyanya. Ikut jongkok di samping, menghindari ejekan dan tawa teman-temannya yang memuakkan. Melihat Lukman membuka tutup busi.

"Mogok," jawabnya. Sibuk melepas busi dari rangkaian mesin.

Mobil sedan putih berhenti di depan lapak tak jauh dari mereka. Keluar seorang wanita cantik membanting pintu mobil hendak beli buah.

"Sendirian, Mem?" sapa pria punk yang dari tadi memperhatikan menghampiri.

"Iya, Mas." Terpaksa menghentikan langkah. Memperhatikan pria dihadapannya berhenti di depan kap mobilnya menghadang.

"Kasihan, sudah bunting besar kayak gini, suami kagak dampingin."

Diam tak menjawab. Hanya menyibak rambut hitam lurusnya ke belakang. Merasakan ada etiket tidak baik pada pria kurus seakan tubuhnya tak terurus.

Tiba-tiba terdengar suara mencuit (feedback) sisa frekuensi lengkingan reptilian yang terbunuh di padang rumput Sadengan Alas Purwo, mengganggu telinga orang disekitarnya.

"Eee...." Sambil mengusap-usap perut. Terasa sakit kena tendangan kaki janin yang dikandungnya. Tampak gugup pikirannya resah.

"Boleh juga tuh si Ujang! Boro-boro nyamperin si Ririn. Mau ngomong aja kagak berani! Kesambet apa kali, ya!" ucap temannya keheranan.

"Ooo..., saya tahu. Dibuntingin orang, ya? Lebih baik nikah sama saya, Mem! Saya yang akan bertanggungjawab!" Lagaknya sok jentelmen, menatap wanita di depannya tampak anggun mengenakan baju hamil makin menarik simpatinya

Wajah anggun terkesan lembut hatinya mulai berubah perangai menatap tajam. Seakan dikendalikan oleh sesuatu. Pria dihadapannya seperti tak bisa bergerak, hanya kedua tangannya mencoba melepas sesuatu yang mencekik lehernya. Melihat pria di depannya ambruk mati lemas, ekspresinya berubah jadi lembut kembali menjerit ketakutan. Cepat-cepat pergi melaju mobil sedannya. Teman sesama touring tak bisa berbuat apa-apa. Tahu dengan mata kepalanya sendiri, melihat Ujang mati mendadak.

"Tenang ya, sayang! Jangan keluar dahulu!" Tangan kanan memegang setir sambil tangan kiri membelai perut buncitnya. Tiba-tiba perut kontraksi tendangan si janin membuatnya meringis menggigit bibir bawah menahan sakit.

Mobil terus melaju menuju Jakarta. Janin yang dikandung sesekali menendang lagi ingin cepat keluar. Dibalik pintu kaca kemudi, sinar matahari timbul tenggelam terhalang atap rumah-rumah warga di pinggir jalan yang dilalui. Berhenti di depan lobi Rumah Sakit Pasar Minggu dengan seenaknya membunyikan klakson tiada henti. Menjadi perhatian orang lalu lalang, mengganggu kenyamanan pengunjung dan pasien. Termasuk petugas jaga di lobi berusaha mendekat, melihat pintu dekat kemudi sudah terbuka lebar.

"Tolong Pak! Tolong! Saya sudah tidak kuat lagi menahan jabang bayi ini." Menangis menahan sakit sambil mengelus perutnya. Darah bercampur air ketuban masih segar membasahi daster dan pahanya yang mulus kuning langsat.

"Hah...!" Spontan terperanjat. Tanpa pikir panjang mengambil ranjang dorong pasien di halaman depan IGD yang sudah tersedia. Dengan dibantu pengunjung Rumah Sakit meletakkan wanita hamil tersebut ke ranjang dorong, membawanya ke ruang IGD dan langsung ditangani dokter jaga.

Hari makin larut. Banyak keluarga berdatangan menjenguk. Menjelang pagi, jerit tangis bayi baru lahir terdengar makin kencang. Sang ibu menghela napas tersenyum lega melihat bayinya. Bayi dari hasil hubungannya dengan kepala penjahat bernama Leon yang mati di tangan Birawa.

***

Sedangkan jauh di ujung Timur Pulau Jawa, Birawa berjalan menerjang malam ditemani Katuranggan di pundak kiri sudah jauh meninggalkan Alas Purwo menuju Stasiun Kalibaru. Tiba-tiba terkesiap mendengar jerit tangis bayi tersebut. Sangat jelas terdengar tepat di atas kepala. Memecah kesunyian menjelang pagi.

"Tangisan bayi!" gumamnya. Mencoba tengadah mengedarkan pandangan yang terlihat hanya gemerlap bintang di langit.

Sekali lagi terdengar jelas, tapi kali ini tepat dihadapannya. Lewat mata ketiga terlihat jelas adanya portal teleportasi. Terlihat bayi berada di ruang NICU. Ruang perawatan intensif di Rumah Sakit. Frekuensi gelombang tangisan yang ditangkap seakan memperingatkan dirinya sebuah ancaman balas dendam. Birawa manggut-manggut menyambut tantangan tersebut. Matanya mulai melihat kilau besi rel kereta api terkena cahaya lampu rumah warga. Menuntunnya ke Stasiun Kalibaru semakin dekat. Dan portal teleportasi pun lenyap.

"Katuranggan! Tak lama lagi kita akan sampai Stasiun Kalibaru." Katuranggan diam tak menjawab.

Berjalan menyusuri rel kereta api sambil mengedarkan pandangan ke kiri menatap rimbun pepohonan di sepanjang bantaran. Rumah-rumah warga tampak di depan mata. Disambut kokok ayam saling bersautan menyambut pagi. Katuranggan tiba-tiba terbang ke rimbunnya pepohonan, bertengger di ranting tertinggi tak jauh dari Stasiun Kalibaru. Mengedarkan pandangan ke bawah dengan ketajaman matanya tampak jelas melihat petugas berseragam berjaga di jalur pemberangkatan. Masih sedikit penumpang duduk-duduk dan mondar-mandir tampak lengang.

Birawa lewat jalan pintas menuju pintu masuk Stasiun Kalibaru. Sempat melihat Katuranggan berpindah hinggap ke dahan tertinggi

"Petunjuk rasi bintang Kalajengking di malam hari tak pernah meleset. Mudah bagiku menempuh perjalanan ke tempat ini kembali. Aku harap pagi ini ada jadwal keberangkatan kereta api tujuan malang," ucap Birawa bermonolog dalam hati.

"Ku ku ruyuk...! Ku ku ruyuk...!" Sayup-sayup terdengar kokok Katuranggan menunjukkan dirinya adalah sang pejantan tangguh. Birawa menoleh menyunggingkan senyum.

***

Nusantara bangkitlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang