(21) - Target

12 1 0
                                    

Museum Trowulan

Birawa menapak selangkah demi selangkah memandu pengunjung menceritakan tentang seperti apa kehidupan adat budaya, agama dan kultur peradaban Majapahit kala itu. Seakan nyata sampai larut dalam imajinasinya masing-masing. Hingga terpuaskan meninggalkan Museum satu per satu.

Museum kembali sepi. Terlihat lampu penerangan gedung dan pendopo Museum menyala di beberapa titik. Termasuk area taman, parkir dan pos sekuriti. Penerangan lampu di tembok papan nama Museum Trowulan yang menghadap jalan raya terlihat jelas di hari yang mulai gelap. Dan juga jalan Pendopo Agung di sepanjang depan Museum Trowulan tampak terang ramai kendaraan lalu lalang, walau hari makin larut. Birawa duduk termenung di atas Kasur tempat tidurnya. Tiba-tiba bayangan ibunya muncul dalam pikiran.

"Bagi ibu, kaulah mas intan itu yang selalu ibu kenang dalam baka. Tapi kaulah yang kelak menjaga ibu pertiwi itu!" ucap ibunya yang masih dikenang.

"Apa maksud ucapan Ibu waktu itu?"

Pikirannya berkecamuk tak bisa tidur. Hembusan lembut angin menerpa telinga, terngiang ucapan Sang Begawan ketika dalam tidur panjangnya di Rumah Sakit.

"Pesan Kakek, carilah pusaka kerajaan Majapahit yaitu Surya Majapahit. Dengan menggabungkan kedua ilmu tersebut, Surya Majapahit dapat kau kendalikan bahkan menyatu dalam dirimu. Rahasiakan kekuatanmu, kecuali dalam keadaan terdesak. Ingat! Pergunakan hanya untuk kebaikan.... Jadilah pengayom Nusantara dengan keanekaragaman nya...! Jadilah pengayom Nusantara dengan keanekaragaman nya...! Jadilah pengayom Nusantara dengan keanekaragaman nya...!" Terus menggaung tak terdengar lagi. Pikirannya mulai mencari tahu.

"Latihlah energi inti dalam tubuhmu tiap pagi dengan meditasi. Agar pancaran aura inti di sumsum tulang belakangmu makin kuat. Lalu, apa itu aura inti...? apa itu cakra inti...? Dan..., apa hubungannya dengan Surya Majapahit?" Pikirannya makin berkecamuk.

Lama merenung tak menemukan jawaban. Entah mengapa teringat toh besar di dada ketika di ejek teman-temannya.

"Kamu ini anak manusia atau anak genderuwo? Punya toh sebesar itu. Di dada, lagi! Hati-hati, nanti bertambah besar ditumbuhi rambut lebat. Seperti anak tetanggaku. Kabarnya sih, anak genderuwo." Kata-kata Sujud temannya yang masih diingat.

"Mungkin dalam meditasi aku bisa menemukan jawabannya," gumamnya dalam hati.

Terdengar kokok Katuranggan mengingatkan waktunya bermeditasi. Mengambil sikap bersila (padmasana) di atas tempat tidur, menjadi titik awal rutinitas sebelum bertugas membersihkan dan mempercantik Museum Trowulan hingga siap di buka untuk umum.

Jalan Pendopo Agung ramai kendaraan melintas. Birawa berdiri di depan pintu pagar Museum, melihat bongkahan-bongkahan batu andesit berjajar di sepanjang jalan Pendopo Agung. Sepi belum banyak pekerja dan pengrajin yang datang beraktivitas. Ketika mengalihkan pandangan melihat lalu lalang kendaraan, melihat truck dari arah Utara yang dikendarai Pak Prapto pekerja proyek Wahana Wisata perlahan menyeberang dan berhenti di samping Birawa.

"Mas! Mau ikut tidak, ke proyek? Kebetulan pagi ini mau kirim sebuah Arca besar ke sana." ucapnya. Tetap duduk di dalam truck memegang kemudi.

"Kalau hari kerja tidak bisa, Pak. Mungkin Senin kalau bisa." Tengadah menatap Pak Prapto.

"Oke. Kalau ada waktu saya ajak." Siap dengan perseneleng gigi satu.

"Oke." Menatap truck bergerak perlahan melawan arus di sisi kanan jalan. Berhenti tak jauh dari pandangan.

Mengalihkan pandangan melihat Pak Rudy masih berdiri di teras pos jaga. Datang mobil sedan coklat berhenti di luar pintu pagar membunyikan klakson 2 kali. Terlihat Pak Darmo menatap dibalik kaca mobil depan.

Nusantara bangkitlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang