(24) - Memenuhi undangan

15 1 0
                                    

"Kakak! Cepat mandinya! Jangan sampai terlambat ke sekolah, lo!" teriak Mamanya. Sibuk menyiapkan sarapan buat suami dan 2 buah hati.

"Sebentar lagi, Ma!" teriak Gendis dari dalam kamar mandi.

Arya keluar kamar dengan pakaian rapi siap berangkat kerja.

"Ma, hari ini aku berangkat lebih awal. Maaf ya, tidak sempat sarapan. Ada banyak pasien perlu mendapat perhatian khusus."

"Ada pasien kecelakaan lagi, Mas?"

"Iya. Info Pak Handoyo, Rumah Sakit kebanjiran pasien kecelakaan dini hari tadi. Tabrakan antara bus sarat penumpang dengan truck muat material pasir. Hampir semua penumpang luka parah. Ooo iya, Ma! Di Mojokerto ada tempat wisata baru. Namanya Wahana Wisata Kejayaan Kerajaan Majapahit. Di sana terdapat candi-candi tiruan sesuai aslinya. Cocok buat Gendis dan Galih, menjadi tempat edukasi mengenalkan sejarah Majapahit. Untuk tempat rekreasi ini, nanti kita bicarakan lagi. Papa berangkat ya, Ma!" Mencium kening istrinya. Gendis dan Galih sudah siap di samping diam menatap menunggu.

"Ooo, iya! Papa lupa!" canda Arya. Jongkok merangkul kedua buah hati yang tak sabar ingin mencium pipi papanya bergantian

"Ini Mas, rotinya. Buat makan diperjalanan. Kakak! Adik! Ayo, makannya dihabiskan! Bi... Bibi! Tolong bukakan pintu pagar!" Berjalan menemani suami sampai di pintu mobil.

Lewat pandangan mata, menghantar Arya dengan mobilnya sampai dipertigaan jalan menurun tak terlihat lagi.

***

Museum Trowulan Mojokerto

"Saya, Pak.... Ya, Pak. Siap," jawab Pak Jarwo. Meletakkan gagang telpon, mengedarkan pandangan seperti mencari seseorang. Melihat Pak Diran membersihkan taman dekat tembok papan nama Museum Trowulan.

"Pak Diran!" teriaknya.

Pak Diran sejenak menoleh. Menyandarkan sapu lidinya pada batang pohon di samping, memenuhi panggilan.

"Ya, Pak." Berjalan mendekat.

"Bapak lihat, Birawa?"

"Baru saja keluar. Mungkin ke lapaknya Pak Samuji." Menjulurkan tangan menunjukkan arah, mempertegas.

"Tolong panggilkan. Diminta Pak Darmo menghadap."

"Baik, Pak." Bergegas mencari.

Berjalan di pinggir jalan Pendopo Agung yang sudah berubah menjadi tempat lapak-lapak penjual ornament ukiran batu dan patung batu penghias taman. Semenjak kontrak dengan proyek Wahana Wisata Kejayaan Kerajaan Majapahit selesai.

"Sudah dapat bahan bakunya, Pak Sam?" sapa Birawa menghampiri. Memastikan pesanannya pengganti kerusakan pada bagian candi tiruan dari tangan tidak bertanggung jawab di Wahana Wisata yang belum lama diresmikan.

"Baru kemarin sore datang. Lewat paguyuban, kami datangkan langsung dari Blitar." Asap rokok dibiarkan keluar dari mulut dan hidungnya, melihat kedatangan Pak Diran temannya.

"Kira-kira kapan selesai, Pak?" tanya Birawa setelah menatap kedatangan Pak Diran makin mendekat.

"2 Minggu selesai. Pengerjaannya sudah kami bagi pada teman-teman dipaguyuban biar cepat selesai, Mas."

"Pagi, Kang Sam!" teriak Pak Diran menyapa. Dengan mengangkat telapak tangan di samping kepala. Dibalas sebatas menunjukkan telapak tangan kirinya. Salam sapa Pak Diran sudah menjadi kebiasaan warga lokal sekedar mengakrabkan di antara mereka.

"Tumben mampir! Kangen, nih? Kalau mau bantu, monggo. Biar tidak canggung. Sekalian cepat selesai pengerjaannya," gurau Pak Samuji pada kawan seprofesinya. Sama-sama asli warga Trowulan.

"Jangan khawatir. Nanti malam kalau Kang Sam lembur, aku bantu. Yang penting siapkan kopinya."

"Itu Pasti. Hukumnya wajib. Aku sediakan rokok sekalian biar afdol."

Birawa hanya menatap keakraban mereka berdua. Tapi tahu dibalik itu semua, gerak-gerik Pak Diran seakan hendak menyampaikan sesuatu padanya.

"Mas Birawa! Dipanggil Pak Darmo, Mas. Katanya penting."

"Terima kasih, Pak Diran. Sebentar lagi saya akan menghadap." Pak Diran hanya memberi anggukan.

"Kang Sam, nanti malam, ya?"

"Harus Itu! Aku tunggu. Jangan khawatir ada kopi dan rokok kretek kesukaanmu menanti di sini."

"Mantap." Mengangkat kedua jempol tangan di depan dada, pergi meninggalkan mereka berdua.

"Pak Sam! Saya harus kembali."

"Nanti malam ke sini, ya?"

Birawa mengangguk melangkah pergi menyusul Pak Diran yang sudah tidak terlihat lagi.

Dari arah Timur seekor ajag menyeberang jalan Pendopo Agung. Birawa menangkap aura jahat jauh di belakang melintas. Ketika membalikkan badan, seperti hilang tersapu angin. Hanya melihat lalu lalang orang dan transaksi jual beli di masing-masing lapak.

"Ahh... mungkin perasaanku saja," gumamnya. Bergegas memenuhi panggilan Pak Darmo.

"Tok tok tok!" Suara pintu diketok.

"Ya, masuk!" Semilir dinginnya udara AC dari dalam ruangan menerobos keluar dari pintu yang dibuka.

"Nak Birawa, duduklah."

"Terima kasih, Pak."

"Besok pagi kita jadi berangkat ke Jakarta memenuhi undangan Bapak Menteri. Seperti yang pernah Bapak sampaikan, akan ada undungan dari pemerintah. Semestinya jadwalnya Minggu depan. Tapi ini dipercepat. Surat undangan Bapak terima sore kemarin. Kita sudah diberi tiket pesawat pergi pulang. Saya 2 tiket dan nak Birawa 2 tiket. Kita di sana hanya 1 minggu. Nak Birawa nanti mendampingi Bapak membantu segala sesuatunya untuk presentasi. Bagaimana, siap?"

"Siap," sahutnya. Sudah mempersiapkan diri jauh hari.

"Besok pagi jam 5 Bapak jemput. Jangan lupa bawa pakaian seperlunya. Untuk hari ini kerjamu sampai jam 12 siang. Bapak minta kamu potong rambut biar rapi. Pergunakan istirahatmu dengan baik."

"Terima kasih, Pak." Pergi meninggalkan Pak Darmo di ruang kerjanya.

Berjalan melewati lobi gedung utama menatap ke depan melihat Pak Diran di taman sibuk memangkas ranting tanaman semakin mendekat. Pak Diran menoleh saling tatap menyapa,

"Hendak ke mana, Mas?" Menghentikan langkah Birawa.

"Potong rambut, Pak," jawabnya mendekat.

"Jangan lupa, nanti malam!"

"Ke Pak Samuji?" tanya Birawa memastikan. Pak Diran mengangguk membenarkan.

"Siap!" jawab Birawa tersenyum menunjukkan kesanggupan.

Menyambut kepalan tinju Pak Diran hingga saling beradu sambil berlalu. Makin menjauh terlihat rambut tergerai sampai ke bahu.

Tak terasa matahari perlahan tenggelam ke Barat. Birawa masih bercengkrama dengan Katuranggan dekat kandang. Potongan rambutnya pendek sudah tak panjang lagi.

"Katuranggan, besok aku ke Jakarta selama 1 minggu mendampingi Pak Darmo presentasi. Tolong jaga Museum, ya!" Katuranggan berkotek tak karuan.

Malam makin larut. Katuranggan tenang dalam kandang yang terlihat rapi dan bersih.

***

Nusantara bangkitlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang