BAB 6 Tak Sengaja

19 2 1
                                    

Aku membuka jendela kamar, sangat indah langit pagi ini. Seperti gradasi antara warna biru dan orange. Hari ini aku sangat bersemangat, kembali lagi menjalani rutinitas.

Aku mencoba menelepon ibuku sebelum berangkat sekolah, "Ah, iya HP-ku kan hilang. " Aku mendengus kesal.

Sepatu berwarna hitam dengan talinya berwarna putih, aku mengikat erat tali sepatuku. Saat ku berdiri ,sosok yang berdiri di depanku terlihat sangat bersinar akibat pancaran sinar matahari pagi. 

Aku tersenyum melihatnya, rasanya canggung dan aneh. Kamu tahulah seperti mimpi.

Aku bertanya-tanya dalam hati,"apakah tahun ini akan berbeda? Aku mungkin bisa punya ehem... Pacar."

Suaranya membuyarkan lamunanku, "Anna, mau saya antar? "

"Kak Rey emang nggak sibuk, "

"Saya Free.. "

"Ooh gitu.. Yaudah boleh, tapi kak sebelum berangkat boleh nggak aku pinjam HP, mau nelepon ibu soalnya."

Kak Reyner langsung memberikan handphone, yang ada gambar apel yang sudah digigit. Aku masih mengingat nomor ibuku dengan baik.
Kukira ini handphone baru, karena walpaper handphonenya seperti belum pernah diganti, seperti awal baru beli.

Aku mengetik angka nomor telepon ibuku, saat memanggil... Beruntungnya ibu menjawab. Suaranya terdengar lesu, aku khawatir.

"Hallo, ini dengan Siapa ya? "

"Bu, ini Anna... "

"Gimana kabarmu nak? Tapi nomor nya kok lain. Kamu sudah makan belum? "

"Bu, ibu pulang ke sini ya bu... Mereka juga sudah nggak nagih hutang lagi kok bu.. "

"Maaf nak, ibu nggak mau.. Kamu pulang saja ke mari, nanti di jemput pamanmu ya, gimana? "

"Bu, kenapa gitu.. Aku mau sekolah disini, aku juga mau tinggal disini. Aku nggak perlu jadi dokter seperti anak teman ibu, aku nggak perlu kuliah kok bu, aku bisa cari kerja buat nafkahin ibu dan adik. Bu, ini rumah kita bu, rumah yang penuh kenangan bareng ayah..hiks. " Ujarku sambil menangis.

"Ma-af... Anna,kalau kamu masih mau tinggal di rumah itu terserah kamu, Ibu udah nggak peduli lagi dengan rumah itu.. " Suara ibu berhenti diiringi bunyi panggilan ditutup.

Aku berusaha kembali tegar, berusaha sekuat tenaga agar mood yang happy hari ini tidak hilang. Namun, jiwaku kalah...

Aku merasa marah, rasanya aku benci menatap langit cerah hari ini. Aku benci.

Aku mengembalikan Handphone milik Kak Reyner yang tadi Kupinjam, "Ini.. Makasih ya Kak. "

Kak Reyner mengambil handphone dari tanganku.

"Kamu nggak papa? "

Entah kenapa aku kesal, mood ku rasanya swing pagi ini. "Nggak papa gimana,Kak Ibu.. Aku berusaha hidup kak disini, ibu malah ingin tinggal di kampung, di rumah nenek.. Rumah ini susah payah dibangun Ayah untuk aku, ibu dan adik. Tapi apa, ibu malah... Ah, aku juga kesal sama Ayah yang tiba-tiba punya hutang, tapi seperti yang kaka bilang, ayah begitu karena butuh modal usaha dan menurutku wajar apabila usahanya mengalami sedikit ke gagalan. I understand.. Tapi Ibu, malahan..."

The Language of the sky and Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang