PROLOG

1.1K 42 10
                                    

Bising deru mesin diesel terdengar memekik telinga dari lubang-lubang besar seluas hamparan tanah tandus.

Moncong-moncong pipa mengeluarkan air keruh bersamaan dengan limbah pasir. Satu pohon nyatoh pucung terlihat mati, mengering dalam uruk tailing.

Tak terlihat ada seorang pun, saat matahari sudah meninggalkan poros bumi. Semua berada di dalam lubang galian.
Tambang Inkonvensional tengah marak, bak jamur yang tumbuh subur di musim hujan.

"Tolong! Tolong!" Suara keras, memecahkan pekak suara dari dalam-dalam lubang yang diisi mesin berbahan solar tersebut.

Langkah-langkah lebar bergerak cepat. Menuju sebuah lubang yang separuhnya nyaris rata, bekas longsor masih tampak basah oleh air yang mulai mengalir.

"Woe, tulong. Woe!" (Woe, tolong. Woe!).

Lelaki dengan sekujur tubuh penuh lumpur segera meletakkan selang. Naik ke atas dengan cara merangkak. Melewati lumpur berlapis-lapis.

"Ape hale!" (Ada apa!).

"Oden kebumbun!" (Oden tertimbun!), serunya, lelaki yang berteriak meminta tolong. Seketika keduanya segera mengikuti orang terakhir yang juga berlari menuju lubang paling pinggir, tak jauh dari jalan air yang mengalir keruh oleh limbah penambangan timah.

"Sebelah mananya, Jang!" (Sebelah mana, Jang!). Satu teriak lelaki gigi rungang bagian depan.

"Ntahnya, Mang!" (Tidak tahu, Mang!), jawab pemuda yang terus mengais lumpur. Dia lebih dulu datang dengan berlari. Wajahnya terlihat panik, sama paniknya dengan sembilan orang yang terus mengais lumpur untuk menemukan orang yang tertimbun longsor, terbalut lumpur kaolin.

Sementara di tepi lubang, tiga orang terkapar. Napasnya tersengal-sengal. Tubuhnya tak ubah sebongkah lumpur kering.

Semakin banyak orang berdatangan. Suara pekak mesin diesel mendadak lenyap, berganti teriak. Beberapa perempuan yang melimbang, juga terlihat berlari menuju lubang galian.

"Macem mane pacak cem tu!" (Bagaimana bisa seperti itu!).

"Ka tingok hanen na. Longsor lebak cem tu." (Kamu lihat ke sana. Longsor lebar seperti itu).

"Kan ukan agik a lebake." (Itu bukan lebar lagi).

Ketiganya berbisik menanyakan perkara yang membuat galian dalam nyaris rata oleh lumpur bercampur pasir.

"Cepet! Woi, cari Oden! Ikak tengok tu, tanah tu ngrunyot!" (Cepat! Woe, cari Oden! Kalian lihat itu, tanahnya sudah mulai lagi longsor!).

Beberapa pasang mata memperhatikan jalan air. Tanah mulai berjatuhan. Pertanda air yang mengalir di bandar akan jebol, dikarenakan dinding tanah basah oleh resapan.

"Ada apa ramai-ramai ini, ha!" Satu teriak lelaki langsung menghempaskan motor. Berlari melewati orang yang berjajar melingkari galian. Tak ada yang menjawab.

Dengan melewati jalan di sisi kanan. Dia terlihat gusar.

"Pakde Sembodo, Oden kebumbun!" (Pakde Sembodo, Oden tertimbun!), balas satu pemuda dengan menangis.

"Di mana posisise Oden, ha!" (Di sebelah mana posisi Oden, ha!).

Semua yang mengais lumpur menggeleng. Mereka hanya berpikir untuk lekas mengais dan berharap akan menemukan Oden, yang mungkin bisa saja ada di bagian atas dari gulungan lumpur.

"Cube, Azzul! Azzul, cube ka tanyak kek die! Sape tahu die agik ngeneng di mane posisi Oden!" (Coba, Azzul! Azzul, coba kamu tanya dia! Siapa tahu dia masih mengingat di sebelah mana Oden!). Terdengar teriak lelaki paruh baya. Hanya mengenakan kolor pendek. Tubuhnya sudah dipenuhi lumpur.

Yang disebut Azzul, tertunduk. Wajahnya begitu ketakutan. Dia hanya menggeleng, saat semua mata mengarah padanya.

"Ukan anye Oden. Salma, kek adike ge kebumbum. Hu hu hu." (Bukan hanya Oden. Salma, dan adiknya juga ikut tertimbun. Hu hu hu).

"Astagfirullah ...."

"Tige orang? Tige kate ka!" (Tiga orang? Tiga katamu!).

Azzul mengangguk. Lemas seketika lutut mereka.

Lelaki yang dipanggil Pakde Sembodo, hanya bisa menangis. Separuh badannya sudah terbenam lumpur.

Kabar mengejutkan yang terlontar kalau ternyata bukan hanya Oden, yang tertimbun tanah longsor. Ada dua tubuh lainnya yang ada di bawah timbunan lumpur.

"Ku pelasah ka men bebulik!" (Kutampar kau bila berbohong!), paniknya.

"Aok nian, kek ape ku bebulik," (Benar, untuk apa aku berbohong), jawab Azzul.

Bola mata semua bergeser ke arah satu teman Azzul. Ketiganya selamat, setelah lumpur yang longsor dari tebing galian menggulung lalu melemparkan ketiganya ke sisi terbuka.

"Aok, kami ndak bebulik. Salma kek adike ade di atas, ningok kami urang begawe, rupea tanah yang die injek. Ngikutlah." (Ya, kami tidak berbohong. Salma, dan adiknya ada di atas, melihat kami bekerja. Ternyata tanah yang dia pijak ikut runtuh).

Semua terdiam. Tak tahu harus berbuat apa. Mencari orang tertimbun oleh longsor saat menambang timah bukan hal baru. Ratusan nyawa, ratusan jasad yang tak terangkat, memang benar adanya.

"Aika nak jebol oi!" (Airnya mau jebol!). Terdengar teriak lelaki yang berdiri di sisi jalan air. Seketika dia berlari saat tanah menampilkan retak menganga. Tak lama kemudian disusul suara gemuruh air yang mengalir dengan deras ke arah longsoran. Tanah basah tak mampu menahan beban air.

"Woe, lari! Lari!" Teriak lelaki yang ada di ujung tanah tinggi. Sontak semua berhamburan menyelamatkan diri. Tiga orang yang selamat cepat digotong untuk sampai ke bagian tinggi.

Air terus mengalir dan siap memenuhi lubang galian. Sudah bisa dibayangkan, dalam hitungan kurang dari satu jam, lubang akan rata kembali oleh air.

Gerabak!

Satu bongkah besar ambruk. Air yang mengalir berubah bak air terjun. Semakin cepat mengisi lubang galian. Bahkan lebih cepat dari yang mereka perkirakan.

Pakde Sembodo, lelaki itu hanya bisa menangis dalam isak. Di antara yang ada mencoba menenangkan dirinya. Dia tak sanggup menatap air yang siap mengubur selamanya.

Tiga jasad yang masih berada di dalam lumpur. Tragedi kembali terulang. 

Tambang timah akan selalu meminta korban dari ambisi mengeruk hasil perut bumi, tanpa memperhatikan kondisi tanah serta sigap dalam pengawasan. Lagi, dan lagi, tabur bunga siap dilakukan bagi jasad yang tertimbun dan tak bisa diambil. Mengubur tiga nyawa, bahkan dua di antaranya bukanlah pekerja. Mengenaskan.

****

nyatoh pucung (Pohon besar yang masuk dalam keluarga sawo, berakar banir).

tailing (Pasir sisa dari kegiatan tambang timah, masuk ke dalam kategori limbah pertambangan).

rungang (Ompong).

melimbang (Mencari timah dengan cara mengeruk pasir, lalu mencucinya menggunakan karpet, umum dikerjakan oleh para perempuan).

bandar (Aliran air).

𝗣𝗜𝗦𝗨𝗡𝗚𝗦𝗨𝗡𝗚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang